Darurat Pandemi, ICJR: Kondisi Rutan dan Lapas Luput Dari Perhatian Pemerintah

Jum'at, 02 Juli 2021 | 20:07 WIB
Darurat Pandemi, ICJR: Kondisi Rutan dan Lapas Luput Dari Perhatian Pemerintah
Ilustras- Lembaga pemasyarakatan atau Lapas yang luput dari perhatian pemerintah di tengah masa darurat pandemi. (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tiga lembaga kajian dan advokasi hukum, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) mengungkapkan kondisi Warga Binaan Permasyarakatan atau WBP yang luput diperhatikan di tengah melonjaknya kasus Covid-19.

Banyaknya WBP yang terkonfirmasi positif Covid-19 mendorong ICJR, IJRS dan LeIP mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan kebijakan penghentian penahanan dalam lembaga bagi Kepolisian dan Kejaksaan. Tiga organisasi tersebut meminta supaya penahanan bisa digantikan dengan penangguhan penahanan dengan jaminan, tahanan rumah, atau tahanan kota.

Bukan tanpa sebab, penyebaran Covid-19 di rumah tahanan/rutan maupun lembaga permasyarakat/lapas di Indonesia seolah tidak terpublikasi. Pasalnya, hingga saat ini tidak ada data pasti yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas secara update dan real time.

Adapun data terakhir yang dibuka ialah di mana 65 warga binaan di Lapas Kelas II A Kuningan terkonfirmasi positif Covid-19 pada 1 Juli 2021.

Baca Juga: Di Hari Bhayangkara, ICJR Minta Polisi Lebih Akuntabel dan Berperspektif HAM

"Satu-satunya data terbuka soal ini tersedia dari paparan Menteri Hukum dan HAM itu pun pada Februari 2021 lalu. Melaporkan terdapat 4.343 WBP, termasuk anak-anak yang telah terinfeksi Covid-19, juga terdapat 1.872 Petugas Pemasyarakatan yang terjangkit," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/7/2021).

Data itu tidak sepenuhnya dapat dipantau secara berkala oleh masyarakat dan juga intervensi penanganan Covid-19 di Lapas minim dari pengawasan publik. Itu dikarenakan sumber informasi hanya berasal dari pihak Lapas dan Kementerian Hukum dan HAM tanpa komitmen penyampaian ke publik secara berkala.

Kondisi tersebut lantas diperburuk dengan adanya overcrowding Rutan dan Lapas yang terus merangkak naik. Meski sempat berhasil ditekan hingga pada Maret-Mei 2020 lalu hingga 69 persen, nyatanya sekarang overcrowding Lapas dan Rutan terus merangkak naik bahkan lebih buruk dari sebelum kondisi pandemi.

Semisal, pada Februari 2020 overcrowding berada di angka 98 persen sedangkan pada Juni 2021 angka overcrowding mencapai 100 persen, dengan jumlah penghuni mencapai 272.000 . Sementara kapasitas hanya 135.000 orang.

"Tidak hanya dalam Rutan dan Lapas di bawah pengawasan Menteri Hukum dan HAM, kelebihan penghuni tentu saja juga pasti terjadi di tempat penahanan lainnya seperti kantor kepolisian, meskipun tidak ada data pasti seperti informasi di Rutan dan Lapas di bawah pengawasan Kemenkumham," jelas Direktur Eksekutif IJRS Dio Ashar.

Baca Juga: Kritik BEM UI ke Jokowi, The King of Lip Service, ICJR: Tidak Bisa Dijerat UU ITE Pasal 27

Kemudian, WBP dan tahanan tidak pernah menjadi prioritas vaksinasi. Tiga organisasi itu mengungkapkan kalau tidak ada program khusus pemerintah yang menjamin vaksin harus segera diberikan kepada seluruh WBP dan tahanan. Padahal mereka tidak dapat melakukan physical distancing.

"Dalam skema vaksinasi WHO, harusnya WBP dan Tahanan masuk ke kelompok prioritas kedua setelah tenaga kesehatan. Hal ini menimbulkan tanda tanya terkait komitemen Pemerintah dalam memperhatikan kesehatan WBP dan Tahanan," ungkap Direktur Eksekutif LeIP Liza Farihah.

Kalau mengacu pada ketentuan WHO, sebenarnya Kemenkumham dan aparat penegak hukum bisa memberikan prioritas utama pada kelompok anak, perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih. Apabila lebih dikhususkan maka narapidana perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih bisa ditentukan indikator-indikator penentuan kelompok yang diprioritaskan.

Kondisi tersebut menandakan kalau Pemerintah perlu segera menerapkan dan membangun sistem yang mempuni untuk adanya alternatif penahanan rutan, dan alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Penahanan dan pemidanaan dalam lembaga ini terbukti membawa masalah ketika adanya pandemi seperti ini.

Atas hal itu, ICJR, IJRS dan LeIP menyerukan Presiden Jokowi untuk melanjutkan kebijakan asimilasi di rumah untuk WBP, menerbitkan kebijakan pengeluaran WBP berbasisi kerentanan untuk WBP lansia, perempuan dengan anak atau beban pengasuhan, dengan riwayat penyakit bawaan dan pecandu narkotika.

Lalu Jokowi juga diminta untuk menerbitkan kebijakan untuk vaksinasi langsung dan segera bagi seluruh penghuni rutan dan lapas termasuk penghuni rutan selain di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Serta menerbitkan kebijakan untuk Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dengan memaksimalkan alternatif pemidanaan non pemenjaraan misalnya pidana percobaan dengan syarat umum dan syarat khusus ganti kerugian, pidana denda, rehabilitasi rawat jalan untuk pengguna narkotika.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI