Suara.com - Jumlah kasus covid-19 di Indonesia terus melonjak, terbaru, Kamis (1/7) kemarin, terjadi penambahan sebanyak 24.836 orang terpapar.
Dengan pertambahan itu, total sudah ada 2.203.108 orang yang telah terpapar virus mematikan tersebut.
Pemerintah mengambil keputusan untuk menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat di Pulau Jawa dan Bali.
Penerapan kebijakan tersebut akan dimulai pada esok hari, Sabtu (3/7) hingga dua pekan ke depan.
Baca Juga: Amukan COVID-19 di Jawa Timur, Gubernur Khofifah: Perlu Ditarik Rem Darurat
Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Brigjen TNI (Purn) dr Alexander Ginting, mengatakan sejumlah pembatasan sosial telah dilakukan pemerintah tapi tidak maksimal.
Angka kasus positif hingga kematian akibat covid-19 nyatanya terus mengalami lonjakan, terutama menjelang libur Natal dan tahun baru.
"Kemudian kita menghadapi libur Nataru, itu juga pembatasan kegiatan sosial tidak bisa maksimal juga. Akhirnya di Januari-Februari, angkanya naik. Kita cetuskan PPKM 1, juga tidak efektif. Banyak kasus baru, banyak kerumunan, bahkan untuk memakai masker di daerah kota masih pakai, begitu kumpul di tempat yang lebih privat, mereka tidak pakai masker," ungkap Alexander dalam diskusi daring, Jumat (2/7/2021).
Bahkan, kebijakan PPKM yang diterapkan antara bulan Januari hingga Februari 2021 juga tidak berjalan efektif.
Meski segala pembatasan dilakukan di pusat perbelanjaan, restoran, hingga tempat ibadah, penularan virus masih berjalan secara massif.
Baca Juga: PPKM Darurat Kabupaten Magelang, Tak Ada Bansos Tunai
"Tapi masih terjadi proses penularan. Artinya, sepanjang setahun lebih pandemi, itu akhirnya masuk ke 34 provinsi. Nah di Februari sampai Mei, muncul satu instrumen baru yang disebut PKKM Skala Mikro," jelasnya.
Dijelaskan Alexander, PPKM skala mikro merupakan pembatasan kegiatan hingga pada wilayah RT dan RW.
Dalam konteks ini, petugas Satgas Covid-19 hingga Babinsa turut membantu penanganan Covid-19 di wilayah yang lebih mengerucut tersebut.
Selain itu, contact tracing dan surveilans terus dilakukan oleh tingkat puskesmas. Hal itu dilakukan guna mengetahui siapa yang bergejala Covid-19 dan siapa yang berkontak erat dengan pasien Covid-19.
Pada kenyataannya, lanjut Alexander, banyak warga masyarakat yang berkontak erat maupun terkonfirmasi menyembunyikan diri dengan alasan isolasi mandiri.
Bahkan, ada juga warga yang tidak menyampaikan ke RT RW atau puskesmas, ada pula tidak berobat.
"Akhirnya ini yang membikin terjadi, di samping keabaian terhadap 3 M, kemudian pendampingan di tempat isolasi mandiri tidak optimal, kemudian contact tracing juga turun," ungkap Alexander.
Lonjakan Kasus
Alexander menjelaskan, lonjakan kasus Covid-19 akhirnya melonjak pascalibur hari raya Idul Fitri. Tidak tanggung-tanggung, lonjakan kasus mencapai angka 20 ribu dalam sehari.
Atas lonjakan tersebut, lanjut dia, bed occupancy rate--rata-rata keterisian tempat tidur--juga mengalami lonjakan hingga di atas 80 persen. Menurut dia, fakta tersebut menjadi sesuatu yang harus diintervensi.
"Ini membuat ada sesuatu yang harus di intervensi. Jadi pemerintah itu tidak kaku-kaku banget dalam menerapkan instrumen. Itu tetap bisa dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Inilah salah satu yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk melihat bahwa ini adalah state emergency," papar dia.
Alexander menyatakan, pandemi adalah sebuah kedaruratan medis. Dia menyebut, hal itu harus di implementasikan lebih multisektoral. Jadi, lanjut dia, pemerintah sudah menetapkan bahwa mesti ada pemberesan, baik di hulu maupun di hilir.
"Di hulu adalah penerapan PPKM Kabupaten/Kota dan kemudian PPKM skala mikro. Tapi ini tidak cukup jika melihat tingginya lonjakan kasus, angka kematian, bor. Sehingga dilakukan berbagai improvisasi terhadap instrumen yang ada yanf disebut sebagai PPKM Darurat yang dengab berbagai ukuran yang dilakukan untuk melihat di levelnya. Ada level 4,3,2,1," jelasnya.