Dilema Pengrajin Peti Mati di Masa Pandemi: Harus Bahagia atau Berduka?

Rabu, 30 Juni 2021 | 19:37 WIB
Dilema Pengrajin Peti Mati di Masa Pandemi: Harus Bahagia atau Berduka?
Pesanan peti mati makin membludak saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Jakarta. (Suara.com/Arga)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Dinding batas bertumbangan dan kematian makin akrab." Kalimat sajak Subagio Sastrowardoyo dalam buku berjudul "Dan Kematian Makin Akrab" sepertinya begitu mengusik perasaan Suherman dan Daryono, pengrajin peti mati yang banjir orderan di masa pandemi Covid-19

Keduanya hampir setiap hari bisa mengerjakan 15 sampai 20 peti yang dipesan konsumen, seiring dengan melonjaknya angka kematian akibat Covid-19 di Jakarta. 

Bukan kali pertama Suara.com datang ke markas CV Sahabat Duka di kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Pada pertengahan 2020 lalu, kami sudah berbincang banyak dengan Suherman, sang punggawa CV. Sahabat duka.

Kunjungan kedua yang berlangsung pada Jumat (25/6/2021) lalu rasanya perlu dilakukan. Sama seperti kunjungan pertama, kostum Suherman masih sama: kaos dan celana penuh dengan bercak cat.

Baca Juga: Sudah di Ambang Batas Kemampuan Tangani Covid-19, Relawan: Warga DIY Maafkan Kami...

Siang itu, kesibukan Suherman juga masih sama. Dia masih saja mengukur triplek yang hendak dipotong, mengaduk cat, hingga mengambil pesanan kayu yang baru saja datang.

Sedangkan Daryono, batang hidungnya baru terlihat di pertemuan kedua. Rupanya, dia baru saja bergabung dalam skena peti mati setelah meninggalkan kampung halamannya di Kecamatan Belik, Pemalang, Jawa Tengah.

Bersama sang istri, Daryono datang ke timur Jakarta untuk mencari peruntungan. Sebelumnya, Daryono hanya bekerja serabutan sebagai tukang bila ada orang yang hendak membangun rumah.

Proses pembuatan peti mati untuk jenazah Covid-19 di Kelurahan Pakembaran, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. [Suara.com/F Firdaus]
Proses pembuatan peti mati untuk jenazah Covid-19 di Kelurahan Pakembaran, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. [Suara.com/F Firdaus]

Kehadiran Suara.com siang itu langsung disambut oleh Daryono yang tengah beristirahat sebelum salat Jumat berlangsung.Pakaian yang dikenakan oleh Daryono juga sama seperti Suherman. Dia mengenakan kaos partai sisa-sisa Pemilu, celana bahan, dan topi -- yang tentunya juga penuh dengan bercak cat.

"Semenjak kasus melonjak, pesanan makin banyak," ujar Daryono membuka perbincangan.

Baca Juga: 70 Persen Tenaga Pengajar Tingkat SMA di Sumut Telah Divaksin Covid-19

Daryono mengaku, bisa mengerjakan 15 sampai 20 peti dalam satu hari. Baginya, kegiatan tersebut makin akrab, seperti berita kematian yang selalu dia jumpai di berita-berita yang tersiar di televisi, koran, maupun online.

Kerja sampai Loyo

Kewalahan tentunya juga melanda Daryono. Pernah dalam satu minggu, kolektif CV Sahabat Duka bisa mengerjakan hingga 250 peti mati. Sebuah jumlah yang tentunya banyak, seperti jumlah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah setiap harinya.

"Wah sampai loyo lah kalau bisa dibilang, semenjak kasus naik," ungkap Daryono.

Kematian secara tidak langsung telah akrab dengan biografi Daryono. Membuat peti mati semacam menjadi pemaknaan ulang terhadap kematian. Saya pun melontarkan sebuah pernyataan:

"Di mana ada kematian, di situ ada pundi-pundi uang ya?"

"Iya juga sih," lirih Daryono -- entah loyo karena lelah atau sedang tersentak ketika menjawab hal tersebut.

Setelah berbicara singkat, Daryono kembali bergulat pada rutinitasnya, yaitu mengecat peti mati. Bersama pekerja lainnya, kesibukan mengukur triplek kayu, mengaduk cat, hingga menjemur peti mati di bawah terik matahari pukul 14.00 WIB kembali dijalani oleh Daryono.

Kali ini giliran sang senior yang meladeni perbincangan siang itu. Suherman, (43) bercerita, pesanan peti mati kebanyakan berasal dari sejumlah rumah sakit yang ada di kawasan Jabodetabek.

Tentunya, dengan banjirnya pesanan peti mati sedikit membuat para pekerja kewalahan. Bagaimana tidak, dalam sehari para pekerja bisa membuat 15 sampai 20 peti mati -- bahkan terkadang lebih.

Pesanan peti mati makin membludak saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Jakarta. (Suara.com/Arga)
Pesanan peti mati makin membludak saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Jakarta. (Suara.com/Arga)

"Kalau di pikir-pikir ya engap juga," ungkap Suherman.

Kewalahan hingga Tambah Pegawai

Dengan membludaknya pesanan peti mati, CV. Sahabat Duka yang mempunyai motto "Funeral Service & Cargo Jenazah" itu harus menambah jumlah pekerja. Dengan bertambahnya jumlah pesanan peti mati, artinya ada pula konsekuensi logis yang harus diterima oleh para pekerja. Salah satunya adalah jam kerja yang bertambah.

Suherman menyatakan, tidak semua pekerja di CV. Sahabat Duka yang terpaksa lembur. Mereka yang lembur biasanya bekerja mulai pukul 07.30 WIB hingga pukul 17.00 WIB.

"Ya kalau masalah kerja sih ya nambah, cuma ya tidak semuanya lembur. Paling sebagian saja yang pada lembur. Paling dari jam setengah 8 atau jam 8 sampai jam 5 sore," papar dia.

Untuk membuat satu peti mati, lanjut Suherman, biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit. Dengan jumlah personel yang ada, para punggawa Sahabat Duka bisa merampungkan satu peti mati dalam waktu yang cukup ringkas.

Meski kebanjiran pesanan, rupaya ada kendala juga yang harus dihadapi oleh segenap punggawa CV. Sahabat Duka. Salah satu kendala tersebut adalah bahan operasional pembuatan peti yang harus dipenuhi setiap harinya.

Dijelaskan Suherman, stok kayu maupun triplek sebagai bahan utama pembuatan peti mati masih mencukupi. Hanya saja, para pengrajin harus menunggu pesanan barang datang.

"Kalau masalah bahan susah sih tidak. Hanya, agak telat saja dia (pemasok bahan) ngirimnya. Umpama kan kaya peti yang kayu kan agak telat. Biasanya peti langsung datang, kadang telat dua hari atau sehari," jelas dia.

******

Hari ini, Rabu (30/6/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan kasus positif COVID-19 di Indonesia kembali bertambah sebanyak 21.807 orang. Sehingga, total kasus hingga detik ini menembus angka 2.178.272 orang.

Hal tersebut merupakan rekor penambahan kasus harian tertinggi selama pandemi Covid-19 di Tanah Air.Dari jumlah tersebut, ada tambahan 467 orang meninggal sehingga total menjadi 58.491 jiwa meninggal dunia.

Sudah puluhan ribu nyawa melayang akibat badai Covid-19 yang tak kunjung rampung hingga hari ini. Tentunya, hal tersebut adalah duka bagi mereka yang ditinggal pergi oleh sanak saudara.

Tahun ini adalah tahun keempat bagi Suherman dalam menyandang status sebagai tukang peti mati. Sudah hampir dua tahun, Suherman makin akrab dengan kematian. Di sisi lain, pesanan peti mati yang datang bukan hanya sekedar pundi cuan.

Ikut Sedih Covid Telan Banyak Nyawa

Suherman mafhum, meraup keuntungan di tengah kesedihan bukan sesuatu yang elok. Tapi di satu sisi, pekerjaan itu harus tetap dia jalani agar dapur di rumah tetap ngebul. Merespons kematian yang terus melonjak, Suherman memaknai pekerjaan mengerjakan peti sebagai satu dari ribuan cara dalam usaha mengatasi pandemi ini.

"Kalau bisa mah jangan sampai (melonjak terus), tapi namanya memang keadaan begini ya mau tidak mau sih kami jadi siap bantu," ungkap dia.

Sebagai seorang medioker, yang Suherman miliki adalah rasa solidaritas dan harapan. Dia berharap agar kasus positif maupun kematian akibat Covid-19 bisa berkurang. Siang itu, Suherman semacam membacakan sebuah puisi pamflet di kompleks TPU Pondok Kelapa.

"Bukannya kami ngarepin kerjaan banyak, bukan. Sama, kami kasihan juga sama orang yang ditinggal pergi keluarga gara-gara corona," tegas Suherman.

Matahari masih tampak gagah siang itu. Bersama peti-peti mati yang sedang dijemur, sebuah ambulans dari salah satu rumah sakit tiba di depan markas CV. Sahabat Duka. Artinya, ada pesanan peti mati buntut dari kasus kematian Covid-19. Wajah Suherman yang tertutup masker seperti mengirim pertanyaan:

"Harus sedih, atau bahagia?"

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI