Walhi Sebut Program Ketahanan Pangan Sejak Soeharto Kerap Gagal karena Ada Aktor Korporasi

Senin, 28 Juni 2021 | 15:03 WIB
Walhi Sebut Program Ketahanan Pangan Sejak Soeharto Kerap Gagal karena Ada Aktor Korporasi
Pekerja menggunakan traktor saat mengolah tanah untuk tanaman singkong di areal lumbung pangan nasional 'food estate' di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (6/3/2021). [ANTARA FOTO/Makna Zaezar]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dari masa ke masa, Pemerintah Indonesia kerap membuat sebuah program yang fokus untuk ketahanan pangan nasional. Mirisnya, tidak ada satupun dari program tersebut yang berhasil memenuhi tujuannya. 

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengungkapkan, program ketahanan pangan itu dijalankan pemerintah dengan cara memberikan kesempatan bagi korporasi-korporasi besar untuk menanganinya. Cara tersebut pun terbukti gagal bahkan sejak era Presiden ke-2 RI Soeharto. 

"Jadi, jika kita lihat kalau tadi sudah disampaikan ketahanan pangan, alasan-alasan untuk menciptakan lumbung-lumbung pangan bagi masyarakat, dengan memberikan konsesi-konsesi besar kepada korporasi sudah terbukti gagal di berbagai kasus dari rezim ke rezim," kata Nur dalam sebuah diskusi virtual yang disiarkan langsung melalui YouTube WALHI Nasional, Senin (28/6/2021). 

Pada era Soeharto, dia mencontohkan, ada yang namanya proyek lahan gambut satu juta hektare atau Mega Rice Project.

Baca Juga: Food Estate jadi Ancaman Baru Warga Papua, WALHI: Ulangi Program Masa Lalu Kapitalis!

Proyek tersebut dimulai dengan mengubah lahan gambut menjadi area pertanian, harapannya dapat menghasilkan sumber daya pangan yang dibutuhkan masyarakat. 

Tetap kenyataannya, pemerintah hanya bisa melakukan satu kali panen padi. Sementara sisanya, 1,4 juta hektare hutan gambut itu hancur, kayu-kayu habis tidak tersisa dan akibatnya saat ini wilayahnya malah menjadi sumber kebakaran hutan yang tentu mengganggu kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. 

Kemudian ada juga Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau proyek ketahanan pangan yang dilakukan di Merauke. Bukan dapat untung, Suku Adat Malind justru kehilangan hak-hak hidup mereka di sana akibat adanya proyek MIFEE. 

WALHI pun mempertanyakan alasan pemerintah yang seolah tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Karena saat ini, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga tengah menggalakan ketahanan pangan atau food estate di sejumlah wilayah di Indonesia. 

Baca Juga: Walhi Jatim Gelar Aksi Damai Desak Polisi Bebaskan Dua Petani Pakel Banyuwangi

Sebenarnya, Nur sendiri sudah mengetahui jawabannya. Alasan pemerintah terus menggalakan program ketahanan pangan karena di balik itu semua terdapat aktor-aktor korporasi sama yang selalu mendapatkan keuntungan karena diberikan konsesi-konsesi tersebut. 

"Semua aktor-aktor korporasi yang selama ini memang memiliki kaitan-kaitan yang erat dengan kepentingan-kepentingan politik," tuturnya. 

Nur juga mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa tidak ada yang namanya ketahanan pangan, kedaulatan pangan yang akan terjadi dengan proyek-proyek skala besar tersebut.

Karena itu, ia menilai masyarakat perlu mendesak pemerintah untuk segera mengubah model-model pendekatannya lebih mementingkan hak-hak masyarakat. 

"Karena kita tahu ujung dari proyek-proyek semacam ini hanyalah kehancuran, bisa kita lihat di proyek lahan gambut sejuta hektare."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI