Suara.com - Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) memperkirakan di tengah lonjakan kasus Covid-1, stok tabung oksigen yang dibutuhkan setidaknya empat kali dari kondisi normal.
Sementara, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian menjamin bakal memenuhi kebutuhan stok tabung oksigen.
Namun para praktisi kesehatan menyebut adanya laporan menipisnya ketersediaan oksigen pada pekan lalu di tengah lonjakan kasus ini sebagai pertanda sistem kesehatan nasional yang disebut "begitu rapuh".
Mereka juga menganggap penanganan pasien Covid-19 di lapangan "mungkin kurang tepat" sehingga pasien yang datang ke rumah sakit "justru sudah dalam kondisi yang berat".
Baca Juga: COVID-19 Menggila, Ketersediaan Tabung Oksigen Pasien COVID-19 Berkurang, Ada Penimbunan?
Sebelumnya sejumlah rumah sakit di Jawa Tengah dilaporkan mengeluhkan tipisnya cadangan tabung oksigennya, meski kemudian diklaim berhasil diatasi dan aman.
Baca juga:
- Varian Delta plus, apakah lebih mematikan dari varian sebelumnya?
- Kontroversi khasiat dan izin edar Ivermectin, dari obat cacing untuk terapi Covid-19
- Varian Delta dan varian lokal mendominasi lonjakan Covid-19, epidemiolog kritik respons antisipasi pemerintah Indonesia
'Deg-degan, karena pasien terus bertambah dan butuh oksigen'
Direktur RSUD Margono Soekarjo di Purwokerto, Jawa Tengah, dokter Tri Kuncoro, menyatakan walau stok tabung oksigen hingga Minggu (27/06) masih mencukupi, dia mengaku masih was-was.
"Aman sekarang ini hitungannya bukan bulanan, tapi mingguan, bahkan hari," kataTri Kuncoro saat dihubungi wartawan Lilik Darmawan di Banyumas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Tri Kuncoro mengungkapkan, pemerintah pusat hingga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama produsen menyatakan telah menjamin ketercukupan tabung oksigen wilayah ini.
Baca Juga: Serupa India, Kelangkaan Tabung Oksigen di Jakarta Sebabkan Harga Melonjak Tinggi
Hanya saja dia tetap was-was mengingat lonjakan kasus di wilayahnya.
"Cuma kan ya tentu harus deg-degan toh, karena pasiennya bertambah terus dan selalu membutuhkan oksigen," ungkap Tri Kuncoro.
Pasalnya kebutuhan tinggi pasokan oksigen itu tak semata dialami daerahnya, Tri Kuncoro sadar, wilayah lain pun mengalami kondisi serupa. Itu sebab ia mesti berbagi jatah dengan daerah lain.
Dia menuturkan, peningkatan kebutuhan oksigen tersebut tak pelak mengakibatkan pasokan untuk rumah sakitnya berkurang sekitar 50 persen.
"Meski ada pengurangan jatah, tapi di Margono masih bisa, cuma ya kami pantau terus kebutuhan ini."
Baca juga:
- 'Indonesia sedang tidak baik-baik saja', Presiden Jokowi sebut PPKM 'pilihan tepat tanpa matikan ekonomi rakyat'
- Lonjakan Covid-19 di Indonesia, mengapa pemerintah pertahankan pembatasan skala mikro dan menolak 'lockdown'?
- Satu dari delapan pasien Covid-19 di Indonesia anak-anak, orang tua dianggap 'membuat anak berisiko'
'Stok oksigen aman hingga pekan depan'
Di Banyumas, Jawa Tengah, Wakil Direktur RSUD Banyumas, dokter Rudi Kristiyanto mengakui pada pertengahan pekan stok oksigen di daerahnya menipis, tapi bisa diatasi.
Berpatok pada imbauan Kemenkes, manajemen rumah sakitnya mengidentifikasi kekurangan oksigen dan langsung berkomunikasi dengan pihak penyedia.
"Pada saat itu tanggal 22 Juni saya langsung berkomunikasi dengan samator ya. Kami berkomunikasi setiap hari, sehingga saat kondisi menipis segera teratasi," ungkap Rudi.
Menipisnya persediaan tabung oksigen pasien Covid-19 pada pekan lalu juga dialami sejumlah rumah sakit di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Tapi menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Joko Hastaryo, problem kecukupan tabung oksigen itu sudah tertangani.
"Namun sekarang telah mulai terkontrol," kata Joko Hastaryo kepada Furqon yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/06).
Joko menuturkan tingginya kebutuhan oksigen dipengaruhi lonjakan jumlah pasien dan banyaknya kondisi saturasi oksigen pasien yang memburuk.
Ia mengklaim stok oksigen diperkirakan aman hingga sepekan.
"Sementara ini masih terkontrol, tapi ada kalanya mengalami kekurangan secara sporadis," aku Joko.
Baca juga:
- Semua hal yang perlu Anda ketahui soal varian baru virus corona, apa lebih berbahaya?
- Varian Delta dan varian lokal mendominasi lonjakan Covid-19, epidemiolog kritik respons antisipasi pemerintah Indonesia
- 'Indonesia sedang tidak baik-baik saja', Presiden Jokowi sebut PPKM 'pilihan tepat tanpa matikan ekonomi rakyat'
Mengapa ada kasus kekurangan stok oksigen di Jateng?
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mencatat sempat menerima laporan dari sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada pekan lalu.
Namun pada minggu ini, kondisi kekurangan stok oksigen tersebut menurut Sekretaris Jenderal PERSI Lia Gardenia, berangsur teratasi.
Dia mengklaim kebutuhan oksigen sesungguhnya masih bisa dipenuhi produsen, hanya saja dalam kasus di beberapa daerah di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, terdapat hambatan pada proses distribusi.
"Terutama keluhan yang paling mencolok itu di Jawa Tengah dan Yogyakarta, kemudian di tempat-tempat lain menyusul, tapi belum sampai mencuat seperti yang di Jawa Tengah," tutur Lia Gardenia kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (26/06).
"Sekarang juga ada beberapa rumah sakit di Jakarta yang mengeluhkan menipisnya stok oksigen. Tapi baru yang masuk ke saya dua atau tiga," imbuh dia lagi.
Lia mengakui, isu kecukupan oksigen tersebut memang tak masuk dalam pembahasan skema antisipasi.
Sehingga ketika ada lonjakan kasus dan kebutuhan oksigen, sejumlah rumah sakit tidak bisa menyiapkan dalam waktu cepat.
"Oksigen memang belum fokus (saat perencanaan mitigasinya), waktu itu yang dipikir tiga bulan itu persediaan obat dan APD, itu memang sudah disiapkan.
"Tapi yang kebutuhan oksigen itu karena kami anggap stok di dalam negeri sebenarnya cukup, mungkin tidak terpikir yang bermasalah itu di distribusinya," terang dia lagi.
Selain itu, Lia mengungkapkan, tren pasien Covid-19 pada periode lonjakan kali ini pun berbeda.
Jika sebelumnya sekitar 70-80 persen pasien tidak membutuhkan oksigen, justru pada periode lonjakan kali ini nyaris sebagian besar pasien memerlukannya.
Menurut kalkulasi PERSI, di tengah lonjakan Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia membutuhkan stok oksigen sedikitnya empat kali lipat dari kondisi normal.
Kendati Lia tak merinci angka pasti kebutuhan persediaan oksigen tersebut.
Baca juga:
- Terapi antibodi monoklonal bisa selamatkan nyawa pasien Covid-19
- Varian Delta cepat menyebar di Inggris, akankah negara-negara lain bernasib sama?
- Ahli khawatir ada 'bom waktu Covid-19' di Indonesia dalam beberapa pekan mendatang
Apa tanggapan Kementerian Kesehatan?
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menjamin mampu memenuhi ketersediaan stok oksigen maupun tabung oksigen medis.
Tanpa mengurai detail angka, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengklaim persediaan oksigen masih dua hingga tiga kali lipat dari produksi saat ini.
"Dengan posisi sekarang, kapasitas industri (oksigen) nasional itu baru terpakai 20-30%.
"Tapi yang kapasitas industri menggunakan nitrogen dan banyak gas-gas lainnya juga itu bisa dikonversi (jadi oksigen) kalau memang nantinya kita membutuhkan," jelas Nadia kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (26/06). Begitu juga menurut Nadia dengan kecukupan tabung oksigen.
Kemenperin: 'Tabung oksigen cukup dan tersedia'
Sementara keterangan tertulis di laman Kementerian Perindustrian menyatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Asosiasi Gas Industri Indonesia (AGII) dan pelaku industri menyiapkan ketersediaan oksigen beserta tabungnya.
"Intinya tidak ada kelangkaan tabung oksigen, karena tabung oksigen cukup dan tersedia mengantisipasi lonjakan permintaan akibat meningkatnya kasus Covid-19 di dalam negeri," ucap Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri dikutip dari laman resmi Kemenperin, Kamis (24/06).
Adapun Ketua Umum AGII, Arief Harsono menyebut masih memiliki ketersediaan stok 2.000 tabung gas oksigen untuk medis. Ia mengklaim akan ada tambahan tabung lagi pada Juli mendatang.
Kendati ketersediaan oksigen beserta tabungnya diklaim aman dan mencukupi, kembali ke Siti Nadia dari Kementerian Kesehatan yang mengimbau warga untuk tidak membeli tabung oksigen untuk keperluan jaga-jaga.
Selain menghindari kelangkaan, ia mengingatkan terapi oksigen bagi pasien Covid-19 harus dilakukan di bawah pengawasan dokter.
'Stok oksigen dibutuhkan empat kali dari kondisi normal'
Meski telah ada jaminan dari pemerintah pusat hingga para pemimpin di tingkat daerah, tapi dokter di lapangan tetap khawatir.
Tim Ahli Satgas Covid-19 Pemkab Banyumas, Yudhi Wibowo mengungkapkan para dokter masih was-was akan menipisnya ketersediaan oksigen.
"Kalau dari pimpinan daerah itu menyatakan stok cukup, tapi kalau dari teman sejawat yang langsung berhadapan merawat pasien, itu memang ketersediaannya terus menipis," ungkap Yudhi kepada Lilik Darmawan di Banyumas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/6).
"Kondisinya itu, sebagian besar pasien yang masuk RS itu sudah terlambat, kondisinya tidak bagus, saturasinya rendah di bawah 93," tambah dia lagi memaparkan.
Situasi serupa diutarakan dokter spesialis emergensi sekaligus relawan LaporCovid-19, dokter Tri Maharani yang bertugas di DKI Jakarta.
Pada periode lonjakan kasus kali ini, pasien Covid-19 yang datang ke rumah sakit kebanyakan sudah dalam kondisi yang berat.
"Hari ini kami dimintai tolong 15 orang, 13 orang saturasinya jelek. Hanya dua orang saja yang bisa kami taruh di Wisma Atlet," ungkap Tri Maharani kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/06).
Jika menurut penghitungan Tri Maharani, dalam sehari, setidaknya setiap rumah sakit saat ini idealnya harus memiliki tiga hingga lima kali lipat dari kebutuhan stok oksigen normal harian.
Dia juga mengkritik penanganan di lapangan yang disebutnya keliru, soalnya sebagian rumah sakit justru menolak pasien dengan gejala ringan dan sedang.
Padahal Tri Maharani menilai, seharusnya pasien dengan saturasi oksigen yang bagus itu lah yang harus dirawat agar jumlah pasien bergejala berat tak kian banyak.
"Mereka datang sudah terlambat, karena ketika mereka masih ringan-sedang, ditolak di tempat isolasi. Kayak ada salah satu pasien, saturasinya 95 itu disuruh pulang lagi, akhirnya saturasinya 80, siapa yang mau menolong?" tukas Tri Maharani.
"Mestinya ketika 95 itu ditolong sehingga bisa sehat lagi, jangan nunggu dia datang lagi dengan saturasi 80. Salah toh. Konsep-konsepnya itu terbalik-balik. Jadi ini yang harusnya diluruskan lagi," ia melanjutkan.
Baca juga:
- Lonjakan kasus Covid-19, hoaks, dan apatisme warga yang 'belum percaya 100%'
- Lonjakan Covid-19 di Indonesia diprediksi sampai awal Juli, daerah lain bisa menyusul Kudus
- Lonjakan Covid-19 Indonesia: 'Tak ada pilihan lain selain rem darurat', kata peneliti
IAKMI: 'Sistem kesehatan nasional Indonesia rapuh'
Lonjakan kasus selama dua pekan terakhir membuat sistem kesehatan di Indonesia disebut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra berada di ambang kolaps.
Kelangkaan tabung oksigen di berbagai daerah hanyalah salah satu indikator. Belum lagi, tambah Hermawan, over kapasitas fasilitas kesehatan.
"Kita menuju kolaps, dengan over capacity seluruh fasilitas kesehatan.
"Karena terus terang, kalau berpacu dengan Covid-19 ini, seberapapun penambahan tempat tidur ruang-ruang perawatan tidak akan mampu mengikuti kecepatan penularan kasus," ungkap Hermawan kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/06).
Merespons keluhan menipisnya ketersediaan stok oksigen di berbagai daerah, dia mengingatkan pemerintah untuk segera membuat kajian perkembangan dan pemetaan lonjakan kasus beberapa pekan terakhir.
Hermawan khawatir, penyebaran berbagai varian baru corona - termasuk varian delta - sebetulnya bukan saja mempercepat penularan melainkan juga berisiko memperberat risiko pasien.
Sementara yang terburuk, menurut Hermawan, dari rapuhnya sistem kesehatan nasional Indonesia adalah apa yang disebutnya "kelelahan akut" bukan saja pada fasilitas kesehatan, tetapi juga pada tenaga kesehatan.
Ia pun mengingatkan, penambahan fasilitas kesehatan memang seolah mampu mengatasi lonjakan kasus Covid-19. Tapi Hermawan menekankan hal tersebut bukan solusi yang sesungguhnya.
"Itu hanya sementara, kalau kita lihat penambahan kasus harian yang lebih 20 ribu dalam beberapa waktu, itu tandanya begitu rapuh sistem kesehatan nasional kita," imbuh dia.
Para pakar mengingatkan agar pemerintah Indonesia bergegas memberlakukan pemberlakuan sosial berskala besar (PSBB) ketat, sebagaimana penguncian wilayah atau lockdown diberlakukan di negara-negara lain yang mengalami lonjakan kasus seperti negara tetangga Malaysia.
Namun sejauh ini pihak berwenang Indonesia berketetapan mempertahankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro di tingkat daerah.
"Yang paling logis adalah lockdown regional. Tujuannya itu memutus mata rantai Covid-19, bukan lagi melandaikan.
"Kebijakan yang ada ini hanya menunda dan kita tidak akan mampu mengikuti kecepatan penularan," ucap Hermawan dari IAKMI—satu dari beberapa organisasi ahli dan profesi yang mendesak pemerintah menerapkan PSBB ketat serentak.
"Satu-satunya cara adalah memutus mata rantai penularan kita butuh waktu dua tiga minggu untuk kompak secara nasional.
"Dan dengan sendirinya faskes akan terelaksasi, nakes akan kembali refresh, sehingga sistem kesehatan kita bisa terukur dan terkontrol," pungkas Hermawan.