Praktik Penyiksaan Malah Sering Terjadi di Rumah Perlindungan Warga Negara

Jum'at, 25 Juni 2021 | 14:09 WIB
Praktik Penyiksaan Malah Sering Terjadi di Rumah Perlindungan Warga Negara
Petugas memperlihatkan nomer telepon layanan aduan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) usai peresmian gedung LPSK di Kantor LPSK Jakarta
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution menyebut praktik-praktik penyiksaan kerap terjadi di tempat yang seharusnya menjadi perlindungan bagi warga negara. Dia mengemukakan, banyak faktor yang menyebabkan itu bisa terjadi, salah satunya soal mindset para aparat negara. 

Maneger mengatakan, praktik penyiksaan itu bisa terjadi di lembaga permasyarakatan, rumah tahanan ataupun sejenisnya. Itu juga menyebabkan hanya sedikit korban maupun saksi yang bisa melapor. 

"Karena ia kejahatan strukutural maka biasanya akses publik terbatas memang. Akses publik untuk mengetahui itu maupun saksi yang muncul atau mau untuk memberikan kesaksian terhadap peristiwa itu," kata Maneger dalam seminar publik Kenali dan Cegah Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OpCAT secara virtual, Jumat (25/6/2021).

Maneger mengungkapkan kalau penyiksaan kerap terjadi di tempat-tempat perlindungan itu karena ada satu pola pikir aparat penegak hukum yang seharusnya sudah bisa diubah. Pola pikir yang dimaksud ialah ketika aparat penegak hukum berpikir kalau orang berlaku jahat pantas diberi 'sentilan' ketika sudah masuk ke dalam rumah tahanan. 

Baca Juga: Temui KSAD, LPSK Bahas Soal Kendala Hak Saksi dan Korban di Peradilan Militer

Padahal dengan dijebloskan ke rumah tahanan saja sudah cukup bagi pelaku kejahatan itu menunjukkan kesalahannya. Namun karena ada pola pikir aparat penegak hukum seperti itu, maka hak dasar daripada pelaku kejahatan menjadi hilang.

Kemudian faktor perspektif juga mempengaruhi adanya praktik penyiksaan saat proses hukum berjalan. Kata Maneger, sebagai aparat penegak hukum di Indonesia itu masih menganggap kalau pengakuan itu segala-galanya. 

Dengan demikian, aparat penegak hukum pun bakal melakukan banyak hal untuk mengejar pengakuan itu, termasuk dengan cara menyiksa. 

"Padahal sebetulnya dalam paradigma hukum pidana kita yang baru sesungguhnya pengakuan tidak segala-galanya," tuturnya. 

Melihat situasi tersebut, maka LPSK merekomendasikan adanya perubahan substansi hukum di mana hulunya itu mesti ada ratifikasi terhadap Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OpCAT). 

Baca Juga: LPSK Sebut Hanya Sedikit Korban dan Saksi Kasus Penyiksaan yang Mau Melapor

Kemudian norma penyiksaan itu sebaiknya masuk pada perubahan rencana Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) dan menggalakkan edukasi terhadap para aparat penegak hukum supaya pola pikir dan perspektifnya bisa berubah. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI