Suara.com - Baru saja terpilih sebagai Presiden Iran yang baru, Ebrahim Raisi langsung membuat 'panas' kubu Gedung Putih. Tokoh ultrakonservatif itu menang telak dalam pemilihan presiden dengan tingkat partisipasi pemilih terendah.
Disadur dari laman VOA Indonesia, ketika ditanya apakah ia akan menemui Presiden AS Joe Biden setelah resmi menjadi Presiden Iran, dengan tegas Raisi menjawab, “Tidak.”
Jawaban itu tidak membuat ragu Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki.
“Dalam pandangan kami, ada seorang pengambil keputusan di Iran yang sampai sekarang belum berubah, ia adalah Pemimpin Tertinggi Iran," katanya.
Baca Juga: Pertama Sejak Dibangun, Pembangkit Listrik Nuklir Iran Tutup
Pemimpin Tertinggi Iran yang dimaksud Psaki adalah Ayatollah Ali Khamenei. Siapapun yang menjabat presiden bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi negeri itu.
AS dan lima negara lainnya tengah merundingkan sejumlah persyaratan baru dari perjanjian nuklir Iran tahun 2015, tapi Raisi mengatakan bahwa program rudal Iran “tidak dapat dinegosiasikan.” Ia juga menyalahkan AS karena melanggar janji.
Raisi mengatakan, “Anda berkewajiban untuk mencabut sanksi dan Anda tidak melakukannya; kembali dan penuhilah komitmen Anda. Dan kepada negara-negara Eropa, menurut saya mereka seharusnya tidak terus ditekan oleh kebijakan Amerika.”
Psaki menyebut pernyataan itu sebagai gertakan politik dan mengatakan bahwa sanksi-sanksi – yang diterapkan kembali oleh pemerintahan mantan Presiden Trump – merupakan bagian dari diskusi untuk menghidupkan kembali perjanjian internasional tersebut.
Jen Psaki menambahkan, “Kami tentu paham seperti kita lihat dari negosiasi sebelumnya bahwa akan ada berbagai retorika yang diluncurkan untuk menanggapi kebutuhan politik di dalam negeri. Kami paham itu, tetapi fokus kami tetap pada negosiasi-negosiasi yang kami harap bisa berlanjut.”
Baca Juga: Mantan Presiden Iran Sebut Pemilihan Presiden Kesalahan dan Tak Dukung Kandidat
Raisi sendiri tengah dikenai sanksi AS akibat perannya sebagai tersangka dalam eksekusi ribuan tahanan politik pada 1988, meski ia menyebut dirinya sebagai “pembela hak asasi manusia” dalam konferensi persnya.
Mantan tahanan Iraj Mesdaghi menyebut sang presiden-terpilih, yang menjabat posisi Hakim Agung Iran, memimpin “panel hukuman mati.” “Ia memainkan peran yang sangat aktif dibandingkan dengan anggota komisi kematian lainnya,” tukasnya.
Ketika VOA bertanya kepada Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki, tentang sanksi terhadap sang presiden-terpilih dan negaranya, Psaki menjawab, “Presiden yang baru tentu saja akan dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM di bawah pengawasannya. Ke depan, kami mendesak pemerintah Iran, terlepas siapapun yang berkuasa, untuk membebaskan tahanan politik, memperbaiki hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua warga Iran."
Raisi adalah anak didik pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pengamat memperkirakan ia tidak akan memerintah negaranya sendiri dan bahwa tantangan besar menantinya.
Farzaneh Roostaee, jurnalis Iran di Stockholm, menuturkan, “Kursi kepresidenan berada di luar kapasitasnya. Ia tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan krisis ekonomi Iran maupun JCPOA (The Joint Comprehensive Plan of Action atau perjanjian nuklir Iran, red.), yang merupakan masalah yang sangat kompleks dan sulit, bahkan mungkin tidak akan bisa dipecahkan.”
Tidak ada yang tahu kapan keenam kekuatan dunia-AS, Inggris, Rusia, Prancis, China dan Jerman – akan bertemu lagi untuk membahas perjanjian nuklir Iran. Penasihat keamanan nasional AS mengatakan masih ada kesenjangan yang lebar pada beberapa isu utama.