Suara.com - Setelah Mai menikah dengan suaminya pada usia 17 tahun, mertuanya melarang dia untuk bernyanyi.
Mai adalah remaja dengan bakat bernyanyi yang besar sejak usia muda.
Cita-citanya pun ingin menjadi penyanyi, tampil di muka umum.
Tapi suaminya, yang juga berusia 17 tahun ketika mereka menikah, tidak memiliki penghasilan.
Mereka harus tinggal bersama orangtua suaminya di provinsi Ha Giang, Vietnam Utara.
"Saya punya mimpi besar. Mau jadi penyanyi. Tapi ketika saya menikah, saya tidak dapat melanjutkan mimpi itu," ujar Mai kepada ABC.
"Kehidupan setelah menikah itu sangat berbeda dari yang saya bayangkan."
Mai, yang meminta nama lengkapnya tak disebutkan, juga diberi tahu oleh mertuanya, jika mereka berdua tidak perlu melanjutkan sekolah. Ia pun putus sekolah sejak itu.
Pasangan itu memiliki anak pertama tidak lama setelah menikah.
Mai mengaku tidak bisa lagi membuat keputusan sendiri, termasuk pakaian yang ingin dia kenakan atau bagaimana ia harus menata rambutnya.
"Setiap hari, semua keputusan yang saya buat harus bergantung pada suami dan mertua saya," katanya.
"Bila anak saya sakit dan saya ingin membawanya ke rumah sakit, namun mertua tidak setuju, maka saya tidak bisa berbuat apa-apa."
Sekarang di usianya yang ke-21 dan sedang mengandung anak ketiga, Mai mengaku tak lagi melihat adanya kegembiraan dalam bernyanyi.
Teknologi bisa membantu akhiri adat istiadat
Dalam laporan badan amal Plan International bulan ini, disebutkan hilangnya mata pencaharian selama pandemi telah menjadikan 13 juta anak perempuan berisiko menikah muda selama dekade mendatang.
Badan amal lainnya World Vision melaporkan COVID-19 telah mendorong lonjakan terbesar dalam pernikahan anak selama 25 tahun terakhir.
Menurut Susanne Legena, Direktur Plan International Australia, terjadi juga peningkatan praktek sunat perempuan dan kehamilan remaja selama periode ini.
Susanne mengatakan alasan yang paling umum adalah kemiskinan, persepsi yang berbeda dari anak perempuan di masyarakat tertentu dan putus sekolah, yang secara tradisional memainkan peran protektif.
"Orang sering berpikir pernikahan paksa anak-anak sebagai cara perlindungan bagi anak perempuan, menempatkan anak-anak ke keluarga yang akan merawatnya lebih baik daripada yang mereka mampu," katanya.
"Yang dipegang teguh dalam hal ini yaitu pandangan tentang peran dan kedudukan anak perempuan dan perempuan dalam budaya tersebut."
Laporan Plan International menyebutkan teknologi digital, seperti komputer dan ponsel yang terhubung ke internet, dapat menjangkau lebih banyak anak perempuan yang terdampak praktek pernikahan anak, terutama selama pandemi.
Dikatakan, anonimitas online dapat menawarkan informasi tentang hukum, dukungan dan tempat perlindungan ruang yang aman untuk menjangkau orang lain dalam situasi yang sama.
Mai menganggap perkawinan akan membantu keluarganya
Pernikahan sebelum usia 18 tahun dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, meskipun praktiknya makin meluas, menurut badan PBB untuk anak-anak UNICEF.
12 juta anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahun, terutama di wilayah Sahara Afrika dan Asia Tenggara.
UNICEF mengatakan adat istiadat tersebut dapat menyebabkan penderitaan seumur hidup, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, serta komplikasi dalam kehamilan dan persalinan untuk remaja perempuan.
Meski remaja pria juga berisiko mengalami pernikahan anak, anak perempuan lebih banyak menderita dampaknya.
"Hal ini terjadi dari generasi ke generasi sehingga sudah dinormalisasi sebagai hal yang pantas, bahkan saat ada undang-undang yang melarangnya," kata Susanne Legena.
"Biasanya ada alasan-alasan budaya dan agama yang digunakan untuk menghindari aturan hukum itu."
Sebagai contoh, di Indonesia, orangtua dapat meminta pengecualian kepada pengadilan untuk mengizinkan anak mereka menikah di bawah usia minimum 19 tahun.
Sebelum 2019, usia legal bagi anak perempuan untuk menikah di Indonesia adalah 16 tahun.
Di Vietnam, usia legal untuk menikah adalah 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk pria.
Bagi Mai, pernikahannya merupakan keputusannya sendiri karena dia jatuh cinta, meskipun orangtuanya berusaha mencegahnya.
Mai memiliki tujuh saudara yang tinggal di daerah pegunungan. Ayahnya seorang petani dan ibunya baru saja meninggal karena stroke.
Dia mengaku hidupnya "sangat sulit", dan menikah adalah cara dia membantu meringankan beban keluarganya.
"Orangtua saya tidak punya uang, jadi jika saya menikah, mereka dapat membelanjakan uang saudara-saudara saya."
Meskipun mengaku dirinya sangat pemalu, Mai sekarang aktif berbagi pengalaman dengan remaja perempuan di Vietnam, mengajar dan mendidik orang lain tentang kesetaraan gender.
"Perlu keberanian besar bagi gadis-gadis yang menjadi korban pernikahan anak untuk mau berbagi pengalaman, karena masyarakat sekitar, keluarga, dan tradisi yang menghalangi mereka," katanya.
"Jadi saya berharap orang lain akan berani dan berbagi (pengalaman mereka)."
"Anak gadis harus memikirkan diri mereka sendiri, hidup untuk diri mereka sendiri dan berani melakukan apa yang ingin mereka lakukan."
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.