Suara.com - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengungkap sejumlah pasal dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi membunuh demokrasi di Indonesia. Mereka mencatat, setidaknya ada lima pasal yang bisa membuat demokrasi di Indonesia mandul.
Institute for Criminal Justice (ICJR), salah satu yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP membeberkan satu per satu pasal membahayakan itu.
Pertama ialah Pasal 218 yang berbunyi (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, konsep pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan dalam Pasal 134 dan Pasal 137 Ayat (1) KUHP.
Baca Juga: Wamenkumham Luruskan Beragam Anggapan Miring Soal KUHP
"Rumusan ini bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik. Pasal ini telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan 013-022/PUU-IV-2006," demikian dijelaskan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang diunggah oleh Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu melalui akun Twitternya @erasmus70 pada Senin (14/6/2021).
Lanjut ke Pasal 240 yang berbunyi Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, substansi di dalam pasal itu berlaku pada zaman kolonialisasi Belanda. Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 berdasarkan putusan MK Nomor 6/PUU-V/200 juga bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB Nomor 34 poin 38.
Kemudian Pasal 354 berbunyi Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
"Pasal ini dinilai berpotensi menjadi pasal karet karena multitafsir. Pasal ini dinilai juga bersifat subversif dan bertentangan dengan hak-hak kebebasan sipil," ujarnya.
Baca Juga: Ingin RKUHP Segera Disahkan, Wamenkumham: Selama Ini Pakai yang Tak Pasti
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menganggap kalau hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep.
Sementara, pasal lainnya yang dianggap membunuh demokrasi ialah Pasal 273. Pasal tersebut berbunyi Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggungnya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai pasal tersebut merupakan produk hukum kolonial terdapat pada Pasal 510 RKUHP dan juga terdapat di dalam peraturan era Demokrasi Terpimpin melalui UU Nomor 5/PNPS/1963 tentang Kegiatan Politik.
Pasal 273 RKUHP dianggap bisa membatasi gerak masyarakat dan bertumpu pada rust en orde atau keamanan dan ketertiban umum sebagai watak birokrasi dari pemerintah.
Kemudian pasal terakhir ialah Pasal 281 yang berbunyi Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. Setiap Orang yang pada saat sedang pengadilan berlangsung:
b. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. Tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
"Pasal 281 huruf b dan c RKUHP sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi, dan kemerdekaan Pers," ungkapnya.
Pasal 281 huruf b RKUHP dianggap dapat dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil karena melarang setiap orang untuk tidak bersikap tidak hormat seperti menuduh hakim yang berpihak.