Suara.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga diarahkan sebagai upaya harmonisasi atau menyesuaikan KUHP terhadap perkembangan hukum pidana yang bersifat universal.
Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat menyelesaikan salah satu permasalahan hukum di Indonesia, yaitu overkapasitas pada lembaga pernasyarakatan (lapas).
Edward menuturkan mengenai overkapasitas lapas yang terjadi di Tanah Air tidak dapat terlepas dari perlunya pembaruan hukum pidana secara holistik. Hal itu karena meskipun pidana penjara diakui sebagai pidana pokok, tetapi pidana penjara itu seharusnya menjadi jalan terakhir.
"Karena meskipun pidana penjara diakui sebagai pidana pokok, pidana penjara seharusnya merupakan alternatif terakhir atau ultimum remidium yang dijatuhkan disamping pidana lain, seperti pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial," kata Edward dalam acara diskusi publik RUU Hukum Pidana yang disiarkan melalui YouTube Humas Ditjen AHU pada Senin (14/6/2021).
Baca Juga: Wamenkumham Luruskan Beragam Anggapan Miring Soal KUHP
Sistem pemidanaan tersebut menganut sistem pemidanaan di Eropa yang memberikan modifikasi terhadap pidana yang dapat dijatuhkan. Modifikasi tersebut diaplikasikan dengan tujuan untuk menghindari adanya stigmatisasi terhadap terpidana.
"Lapas seyogyanya dapat mempersiapkan terpidana untuk kembali dan diterima di masyarakat, tidak mengulangi perbuatannya, dan dapat bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya.
Selain itu, Edward menjelaskan kalau RUU KUHP juga mengatur mengenai standar pemidanaan bagi hakim yang digunakan sebagai acuan untuk menjatuhkan pidana apa yang pantas untuk dijatuhkan sehingga tidak selalu pidana penjara yang dijatuhkan.
Dalam praktiknya RUU KUHP mengatur mengenai Rechterlijk Pardon yang telah diatur dalam KUHP Belanda sejak 1983 serta Afdoening Buiten Process atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Ketentuan-ketentuan itu lah yang akan menghasilkan hukum pidana nasional dengan paradigma modern, tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi berorientasi pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Baca Juga: Covid-19 Tersebar di Lapas Narkotika Sleman, Diduga dari Petugas yang Pulang Kampung
Atas dasar permasalahan tersebut, Edward menyebut kalau pemerintah berupaya untuk mewujudkan sistem pemidanaan yang sistematis dan harmonis.
"Dengan mengintegrasikan perkembangan hukum pidana yang terjadi ke dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan melakukan upaya rekodifikasi yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi peraturan hukum pidana baik vertikal maupun horizontal."