Suara.com - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Agus Surono memastikan kepolisian tidak bisa langsung memproses penghina presiden dan wakil presiden, sebagaimana pasal penghinaan kepada kepala negara di dalam RKUHP.
Dalam Pasal 218 di draf RKUHP, diketahui pasal tersebut masuk dalam delik aduan. Sehingga tanpa adanya aduan langsung oleh presiden atau wapres, kepolisian tidak bisa memproses pelanggar secara hukum.
"Pada prinsipnya itu adalah masuk dalam kategori delik aduan. Jadi tidak bisa serta merta kemudian yang masuk dalam kualifikasi penghinaan tadi itu langsung diproses oleh kepolisian, tidak bisa," kata Agus dalam diskusi daring, Mingu (13/6/2021).
Agus melanjutkan, nantinya presiden atau wapres juga harus membuat laporan secara langsung bila dirinya merasa dihina.
Baca Juga: Tak Sepakat Pasal Penghinaan Presiden, Gerindra: Kesankan Penguasa Ingin Bungkam Kritik
Menurut Agus dibuatnya pasal penghinaan presiden dan wapres menjadi delik aduan untuk memberikan ruang bagi kepala negara dalam mempertimbangkan membuat laporan. Pasalnya dengan delik aduan, presiden atau wapres bisa saja merasa tidak perlu melakukan laporan lantaran tidak merasa perlu.
"Sebenarnya ini untuk menghindari adanya hal-hal yang sifatnya sumir tadi. Dalam artian bahwa kalau presiden itu tidak merasa perlu untuk kemudian melaporkan ya nggak perlu. Ngapain kan urusan presiden banyak, ngapain ngurusin yang begini," kata Agus.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sharief Hiariej menjelaskan mengapa ancaman hukuman pidana penjara dalam pasal penghinaan presiden dibuat 3,5 tahun. Menurutnya hal itu agar kepolisian tidak bisa melakukan penahanan.
Seperti diketahui polisi bisa melakukan penahanan jika ancaman pidana di atas 5 tahun. Karena itu agar tidak terjadi penahanan, ancaman pidana penjara dalam Pasal 218 ayat 1 di draf RKUHP dibuat 3 tahun 6 bulan.
"Oh tidak, tidak lima tahun. 3,5 tahun. Mengapa karena agar tidak ada alasan bagi kepolisian untuk melakukan penahanan. Penahanan itu kan lima tahun," kata Eddy di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021.
Baca Juga: Aktivisme Borjuis: Kenapa Kelas Menengah Gagal Pertahanankan Demokrasi?
Eddy menegaskan pasal penghinaan presiden dan wapres itu merupakan delik aduan. Sehingga presiden dan wapres diwajibkan membuat laporan sendiri bilamana merasa harkat dan martabatnya diserang.
"Betul, harus presiden. Cuma formulasinya adalah delik aduan dan di situ ada penjelasan yang menyatakan dengan tegas bahwa berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah tidak dapat dijatuhi pidana atau tidak dikenakan pasal," kata Eddy.
Untuk diketahui draf RKUHP terbaru memuat ancaman bagi orang-orang yang menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui media sosial diancam pidana maksimal 4,5 tahun penjara.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 218
- Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.
- Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 220
- Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
- Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.