Suara.com - Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman mengaku tidak sepakat dengan keberadaan pasal penghinaan presiden di RKHUP. Ia menilai pasal tersebut cenderung mengesankan penguasa berupaya membungkam kritik.
Meski dalam praktiknya belum diketahui, namun Habiburokhman merasa pasal penghinaan presiden sudah lekat dengan stigma tersebut.
"Keberadaan pasal ini di dalam KUHP bisa mengakibatkan tuduhan kepada siapapun yang menjadi presiden atau siapapun yang berkuasa, menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik," kata Habiburokhman dalam diskusi daring, Minggu (13/6/2021).
Wakil Ketua Umum Gerindra itu mencontohkan, misalnya Presiden Jokowi yang dianggap tidak menghiraukan kritik yang datang kepada dirinya. Jokowi disebut tidak terbawa perasaan dan marah kepada para pengkritiknya.
Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden: Isi Pasal, Fakta Menarik hingga Polemik yang Muncul
"Kalau saya cek ya ke orang orang deketnya Pak Jokowi, misalnya, Pak Jokowi tuh orangnya gak pernah makan hati, gak pernah baper dikritik. Beliau gak pernah marah, beliau bahkan orangnya besar hati," ujar Habiburokhman.
Kendati begitu Habiburokhman menegaskan stigma negatif terhadap pasal penghinaan presiden tidak akan lepas. Keberadaa pasal itu tetap dirasa merupakan upaya penguasa membungkan kritik masyarakat kepada pemimpinnya, dalam hal ini kepala negara.
"Proses peradilan lewat kejaksaan dan kepolisian kalau itu pidana di pasal 218 di RKUHP itu, itu tetap saja menimbulkan tuduhan seobjektif apapun proses penyidikan dan penuntutan," kata Habiburokhman.
Dialihkan jadi Perdata
Menurut Habiburokhman, pasal penghinaan presiden lebih baik dialihkan ke perdata, bukan pidana.
Baca Juga: Sempat Ditanya Mahfud MD Soal Pasal Penghinaan Presiden, Jokowi: Terserah Legislatif
Pengalihan pasal penghinaan presiden menjadi perdata, kata Habiburokhman agar tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif dalam menyelesaikan perkara.
"Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa, paling benci ini pasal. Saya rasa kalau saya ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata," kata Habiburokhman dalam rapat antara Komisi III dengan Kemenkumham, Rabu (9/6/2021).
Habiburokhman mengatakan selama pasal penghinaan presiden masih masuk ranah pidana maka akan timbul pandangan, pasal tersebut digunakan ubtuk pihak yang bersebrangan dengan pemerintah.
"Tujuan bahwa pasal ini digunakan utk melawan atau menghabiskan orang yang bersebrangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya," kata Habiburokhman.
"Karena apa? Karena kepolisian dan Kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif," sambungnya.