Suara.com - Gelombang pasang perubahan sosial di Indonesia, dari masa ke masa, tidak bisa dilepaskan dari peran kaum muda. Peran monumental paling mutakhir kaum muda dalam denyut nadi sejarah Indonesia adalah ketika reformasi menerpa Indonesia pada medio 1990-an.
Sejak 1998 sampai 2021, wiracarita kaum muda tersebut sudah 23 tahun berlalu. Transisi dari rezim otoritarian ke demokratis dinilai banyak kalangan sudah sukses melalui lima kali pemilihan umum.
Namun tak bisa dipungkiri, saga para pemuda tersebut kekinian tampak hanya sebagai totem yang beku. Sekadar babad yang diceritakan “para senior” kepada ABG yang baru masuk bangku perkuliahan.
Hegel, filsuf tersohor Jerman, pernah memberikan nasihat terkait pola “ceteris paribus” atau faktor-faktor konstan dalam sejarah. Menurutnya, kenyataan-kenyataan yang sangat penting dalam sejarah dunia, seakan-akan terjadi dua kali. Nasihat Hegel ini—percaya atau tidak—juga terjadi dalam sejarah anak muda Indonesia dalam pentas politik.
Baca Juga: Hidup Orang Rimba Kala Covid-19: Terhindar dari Wabah Tapi Kelaparan dalam Hutan
Setidaknya, kebenaran diktum itu bisa ditelusuri sejak pemuda terlibat dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Pascahuru-hara mereda, tak sedikit kaum muda yang terlibat aktif membangun rezim Orba. Namun, hasilnya bisa dilihat, periode tersebut disesaki segala kemalangan masyarakat. Situasi ini pula yang membuat seorang Soe Hok Gie, eksponen gerakan mahasiswa ’66, kecewa berat terhadap sohib-sohibnya yang terlibat dalam pemerintahan Soeharto.
Dalam kadar tertentu, hal yang sama juga terjadi setelah gelombang reformasi 1998 mengalami arus balik. Tak sedikit kaum muda yang terlibat reformasi memutuskan untuk tetap terjun dalam pentas politik dengan tujuan terus mengawal proses demokratisasi. Tapi—suka tidak suka, setuju atau tidak—kiprah mereka tak lagi seheroik dulu.
Bahkan, jejak langkahnya cenderung tak terlihat dalam arena pertarungan politik, persis saat demokrasi dan kepentingan masyarakat berada dalam bahaya. Alhasil terdapat ironi, yakni ketika alumnus gerakan pemuda ‘98 banyak yang terjun ke ranah politik, praktik politik transaksional, patgulipat keuangan negara, atau aksi intoleran justru semakin tumbuh kembang di tengah masyarakat.
Sebenarnya, persoalan ini tidak khas pemuda Indonesia. Pemuda mahasiswa Perancis eksponen gerakan tahun 1968 yang tersohor itu misalnya, juga berakhir seperti kasus Indonesia. Sebab, tak sedikit eksponen “soixante-huitards” Perancis menjadi politikus ataupun pemikir yang kini justru membenarkan kebijakan neoliberal di negara tersebut.
Alain Badiou, profesor matematika cum filsafat yang juga eksponen gerakan ‘68, bahkan memopulerkan kembali istilah “Thermidorian” untuk merujuk perubahan sikap politik rekan-rekannya tersebut. Thermidorian secara etimologis berasal dari kata “Thermidor”, yakni nama bulan untuk rentang pertengahan Juli sampai pertengahan Agustus dalam kalender Perancis setelah revolusi 1789.
Baca Juga: Menempuh Jalan Pikukuh, Cara Warga Adat Baduy Bebas dari Covid-19
Pada masa itu, istilah thermidorian dipakai untuk menandai masa “moderasi” atau pengkhianatan para politikus terhadap program pembaruan sosial dan politik Perancis setelah Robespierre, kepala pemerintahan de facto Perancis, dieksekusi mati.
Lantas, kenapa sejarah buram moderasi pemuda dalam panggung politik tersebut kembali terulang?
Untuk mendedah pertanyaan tersebut, penjelasan Abdil Mughis Mudhoffir, dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta dan honorary fellow di Asia Institute, University of Melbourne, patut disimak.
Tulisan Abdil Mughis ini lebih dulu terbit di Project Multatuli, dengan judul "Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?"
BANYAK PENGAMAT SERTA AKTIVIS gerakan sosial menilai rangkaian aksi protes yang menguat sejak demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi pada September 2019 adalah bukti adanya resiliensi masyarakat sipil dalam mempertahankan demokrasi dari pembajakan para elite. Argumen serupa sebelumnya telah banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para Indonesianis yang menggunakan pendekatan liberal pluralis seperti Marcus Mietzner, Michel Ford, dan Edward Aspinall. Mereka meyakini kekuatan masyarakat sipil sebagai elemen kunci ketahanan demokrasi di Indonesia. Terjadinya kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun belakangan bagi mereka lebih disebabkan oleh pemimpin politik yang menjauhi agenda reformasi serta masyarakat yang mendukung para elite politik itu.
Pandangan semacam itu melupakan aspek penting yang dapat menjelaskan mengapa sejak lama demokrasi di Indonesia sesungguhnya tak lebih dari sekadar perayaan kontestasi kekuasaan lima tahun sekali dan mengapa hukum sulit untuk ditegakkan dengan adil. Aspek ini berkaitan dengan karakteristik gerakan sosial yang cenderung mengambil bentuk aktivisme borjuis.
Kelas menengah reformis lebih berkepentingan mendorong perubahan-perubahan institusional dan melakukan perlawanan-perlawanan yang sporadis. Tidak seperti yang dibayangkan kalangan liberal pluralis, dominannya bentuk aktivisme borjuis itu membuat elemen-elemen gerakan sosial di Indonesia kurang bisa menghadirkan tantangan dan ancaman yang berarti kepada kepentingan-kepentingan yang berupaya membalik agenda demokratisasi. Tanpa kekuatan politik progresif yang koheren, tidak akan ada perlindungan hak sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh kepada warga, yang adalah aspek-aspek esensial demokrasi.
Demokrasi Pasca 1998
Bagaimana dengan kehadiran demokrasi pasca 1998? Apakah ia semata hasil desakan dari bawah, terutama yang berasal dari elemen gerakan mahasiswa? Beberapa studi – terutama dari perspektif liberal pluralis – dan tentu saja para eksponen aktivis 1998 cenderung mengglorifikasi peran gerakan mahasiswa dalam menjatuhkan rezim otoriter Soeharto yang membuka jalan bagi lahirnya demokrasi.
Padahal, terdapat sejumlah kondisi struktural yang memungkinkan terjadinya pergantian rezim. Pertama, krisis moneter telah membuka jalan adanya tekanan dari International Monetary Fund (IMF) – representasi kapitalisme neoliberal – yang tidak lagi menghendaki kekuasaan politik yang sentralistik dan terlampau interventif dalam mengatur ekonomi. Kedua, menguatnya friksi elemen pendukung rezim, terutama dari kalangan militer.
Dua faktor itu menegaskan bahwa kepentingan kapital turut berkontribusi menghadirkan institusi demokrasi di Indonesia. Di samping itu, tanpa difasilitasi faksi militer yang berseberangan dengan penguasa, hampir mustahil elemen gerakan mahasiswa 1998 dapat menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR).
Sebelumnya, aliansi serupa antara mahasiswa dan militer di tahun 1966 juga telah mengantarkan terjadinya pergantian rezim. Akan tetapi, alih-alih dapat mengawal perubahan, mahasiswa angkatan 1966 justru telah membuka jalan bagi konsolidasi militer di bawah kekuasaan Soeharto yang otoriter.
Fakta sejarah ini meruntuhkan pandangan yang melebih-lebihkan peran mahasiswa dan pemuda secara umum sebagai agen perubahan. Pada kenyataannya, kehadiran institusi demokrasi di Indonesia sangat terbatas, yakni sejauh ia tidak menghambat kepentingan kapital. Ini menunjukkan lemahnya gerakan mahasiswa dan elemen gerakan sosial lainnya dalam mendorong demokrasi untuk lebih jauh mewujudkan perlindungan hak sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh kepada warga.
Lebih jauh, gerakan mahasiswa sebagai aktor dominan dalam sejarah perubahan sosial di Indonesia pasca 1965 juga mesti dipahami dalam kaitannya dengan absennya politik kelas yang lebih berorientasi mendorong perubahan struktural.
Aktivisme Borjuis
Dominannya bentuk aktivisme borjuis bukan kasus unik di Indonesia. Tulisan-tulisan Kevin Hewison dan Garry Rodan, ilmuwan sosial yang menekuni studi tentang gerakan sosial di Asia, telah menunjukkan bahwa kecenderungan yang sama dapat ditemui di beberapa tempat seperti di negara-negara Asia Tenggara yang lahir dari kondisi struktural serupa: (1) corak kapitalisme yang menempatkan penguasaan atas akses dan kontrol institusi publik sebagai elemen pokok; serta (2) relatif absennya politik kelas warisan Perang Dingin.
Tidak adanya pengorganisasian berbasis kelas dalam arena politik ini yang kemudian melahirkan model aktivisme borjuis, terutama dalam bentuk organisasi-organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagai non-government organization (NGO), lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau civil society organization (CSO). Konsep “masyarakat sipil” menggantikan organisasi kelas yang sekaligus melunakkan tuntutan revolusi menjadi reformasi.
Kelas menengah reformis lebih berkepentingan mengadvokasi isu-isu hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, pluralisme, anti-korupsi, keadilan lingkungan, serta isu-isu sektoral lainnya dengan mendorong reformasi institusi serta membuat suatu desain kebijakan yang dianggap dapat menopang penguatan demokrasi ketimbang berkeinginan mengubah secara radikal tatanan ekonomi politik dan struktur kekuasaan. Mereka juga cenderung tidak memiliki strategi jangka panjang dalam memajukan agenda demokratisasi.
Strategi Politik yang Sporadis
Nihilnya strategi jangka panjang membuat kelas menengah reformis sangat terfragmentasi sebagai kekuatan politik. Strategi politik yang dijalankan juga cenderung elitis, sporadis, dan reaksioner.
Kelas menengah reformis menggunakan lobi-lobi – terutama saat telah bekerja di lembaga donor – atau memasuki gelanggang politik formal untuk mempengaruhi kebijakan publik meski tanpa ditopang kekuatan politik progresif yang kuat. Karena tidak memiliki kendaraan politik formal, saat pemilihan umum, elemen aktivisme borjuis kerap berharap perubahan dapat dilakukan oleh seorang politisi yang dianggap reformis. Akan tetapi, alih-alih dapat mendorong perubahan dan memajukan agenda demokratisasi, mereka yang memasuki gelanggang politik formal serta politisi reformis itu menduplikasi praktik-praktik predatorisme.
Strategi lainnya dalam memperkuat demokrasi dilakukan melalui perlawanan-perlawanan yang sporadis dan reaksioner. Bentuk perlawanan umumnya berupa aksi demonstrasi di jalanan, kampanye media, pernyataan sikap serta petisi dan tagar yang cenderung tidak memberi ancaman berarti kepada kekuatan anti-demokrasi dan karena itu mudah diabaikan.
Antara satu aksi perlawanan dengan aksi lainnya seringkali juga tidak berkait meski dilakukan oleh aktor gerakan yang sama. Tidak ada upaya mengorganisasikan berbagai elemen perlawanan itu sebagai satu kekuatan politik di bawah satu komando dengan agenda dan strategi jangka panjang. Aksi-aksi demonstrasi besar sejak #ReformasiDikorupsi tahun 2019, misalnya, cenderung cair dan tidak memiliki pemimpin. Cara ini menurut mereka untuk mencegah kooptasi gerakan oleh elite. Padahal, tanpa kepemimpinan politik, gerakan perlawanan berisiko menjadi sekadar kerumunan.
Sementara itu, beberapa elemen gerakan sosial yang mendorong adanya kepemimpinan politik memang telah membangun partai politik alternatif. Tapi sebagian besar partai ini tak punya basis sosial dan kapital yang kuat dan kurang terhubung dengan elemen gerakan sosial lainnya, yang pada akhirnya juga terjebak dalam gaya politik kelas menengah atau model partai pada umumnya. Berbagai eksperimen pembangunan partai alternatif cenderung menghadapi jalan buntu, membuat mereka hanya dikenal di lingkungan yang amat terbatas.
Namun demikian, alih-alih berefleksi, elemen-elemen gerakan sosial cenderung menilai minimnya capaian tuntutan dan target gerakan sebagai semata soal waktu. Bagi mereka, kemenangan-kemenangan kecil dapat menjadi tangga menuju kemenangan yang lebih besar. Tapi kelas menengah reformis tidak pernah punya ukuran yang jelas, kapan dan dengan cara apa pertarungan melawan kekuatan anti-demokrasi dapat dimenangkan.
Mereka kerap menyalahkan penguasa dan negara yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi secara kontradiktif tuntutan-tuntutan yang diajukan seringkali dibuat dengan mengharapkan budi baik dan belas kasihan penguasa. Padahal, secara natural negara jelas cenderung memfasilitasi kepentingan kelompok dominan. Tidak adanya kekuatan politik progresif yang mampu memberikan tekanan signifikan membuat negara dan institusi-institusi publik tidak bekerja untuk melayani kepentingan rakyat. Bentuk aktivisme borjuis juga kerap bersikukuh menempuh berbagai upaya litigasi dalam melakukan perlawanan, meski jelas berbagai instrumen hukum dan demokrasi telah dibajak.
Secara historis, kekuatan pengancam yang signifikan dalam masyarakat kapitalis terletak pada buruh yang berserikat. Posisi sosial buruh yang esensial dalam sirkulasi kapital memungkinkan mereka dapat memberikan ancaman yang serius ketika melakukan pemogokan dan sabotase. Negara-negara kesejahteraan di Eropa Barat dan Amerika Utara yang memberikan perlindungan sosial-ekonomi yang relatif menyeluruh kepada warganya, meski dengan derajat yang berbeda, adalah hasil perjuangan politik serikat-serikat buruh yang kuat. Adanya supremasi hukum dan demokrasi yang melindungi hak warga di negara-negara itu juga hasil dari perjuangan buruh.
Tapi di era neoliberal, jumlah buruh formal – mereka yang paling potensial membangun serikat – di berbagai tempat termasuk di Indonesia semakin mengecil. Jauh sebelum itu, pengalaman kekerasan negara tahun 1965 kepada kelompok yang terafiliasi dengan komunis telah menciptakan trauma sejarah berkepanjangan yang mencegah terbentuknya serikat-serikat buruh yang progresif. Sebagian besar serikat buruh yang terbentuk pasca Orde Baru cenderung konservatif dan sekadar menjadi kepanjangan tangan negara, sementara yang lain terjebak dalam politik identitas. Serikat yang lebih progresif jumlahnya terlampau kecil untuk bisa membangun pengorganisasian yang kuat sementara yang lainnya amat bergantung pada mobilisasi oleh NGO.
Situasi ini yang membuat gerakan sosial di Indonesia didominasi oleh bentuk-bentuk aktivisme borjuis. Ini juga sesuai dengan anjuran apolitis dari para teknokrat lembaga-lembaga donor yang mendorong penguatan “masyarakat sipil” – bukan gerakan buruh yang progresif – sebagai tulang punggung demokrasi. Akibatnya, demokrasi di Indonesia tidak pernah benar-benar kuat memberi perlindungan hak-hak sosial-ekonomi warga secara menyeluruh.
Menguatnya Tendensi Otoriter
Menguatnya tendensi otoriter pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, dengan demikian, adalah indikator lemahnya bentuk-bentuk aktivisme borjuis dalam mempertahankan demokrasi. Meskipun mahasiswa bersama organisasi masyarakat sipil lainnya berhasil mengorganisasikan rangkaian demonstrasi di berbagai tempat, terutama sejak demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi, gerakan ini mudah dipatahkan. Tidak satu pun tuntutan dasar mereka berhasil dicapai meski paling tidak lima mahasiswa telah mati, ratusan lainnya luka-luka serta puluhan demonstran ditangkap dan ditahan hingga kini.
Tidak adanya strategi politik jangka panjang membuat kelas menengah reformis hanya mampu melakukan perlawanan-perlawanan yang sporadis atau bergantung pada suatu desain kebijakan dan lembaga tertentu serta pada aktor politik yang dianggap reformis. Terserapnya banyak aktivis dan akademisi ke dalam kekuasaan yang juga turut mereproduksi politik identitas dan predatorisme adalah konsekuensi lebih jauh dari pendekatan gerakan berwatak kelas menengah itu. Konteks ini menjelaskan mengapa pelemahan KPK dan rangkaian kebijakan bertendensi otoriter lainnya makin intensif terjadi dalam beberapa tahun belakangan.
Abdil Mughis Mudhoffir adalah seorang dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta dan honorary fellow di Asia Institute, University of Melbourne.
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.