Suara.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai pernyataan Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto tidak etis, terkait penolakan Bareskrim atas laporan dugaan gratifikasi Ketua KPK, Firli Bahuri yang diadukan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Diketahui Bareskrim Polri mengembalikan aduan ICW ke Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto berdalih, pihaknya tengah fokus menangani Covid-19.
"Ya, urusan Covid itu kan sudah ada satgasnya, sudah ada BNPB, sudah banyak yang mengurusi, polisi itu penegakkan hukum, jadi kalau ada laporan diterima, dan dikaji kalau bisa ditelaah, kalau bisa dilanjutkan, dilanjutkan, kalau tidak, ya tidak," kata Boyamin saat dihubungi Suara.com, Jumat (11/6/2021).
Boyamin pun mengaku khawatir penanganan Covid-19 ke depannya dijadikan Polri sebagai dalih untuk tidak menindaklanjuti laporan hukum dari masyarakat.
Baca Juga: ICW Sebut KPK Hendak Dimatikan Demi Pemilu 2024, PKS: Kemungkinan Benar
"Kalau alasan lagi serius nangani Covid, lah nanti ada perampokan, ada pencurian, ada pembunuhan masa enggak ditangani juga," ujar Boyamin.
Karena terkait laporan dari ICW itu, Boyamin mengakatakan seharusnya Bareskrim Polri tetap menindaklanjuti, terlepas terbukti atau tidaknya dugaan gratifikasi yang dilakukan Firli Bahuri.
"Jadi mestinya Bareskrim tetap menindaklanjuti soal itu. Kemudian karena lambat karena masa-masa Covid-19, ya saya maklumi. Tapi kalau jawaban itu ya tidak pas lah, tidak pada tempatnya, karena penegak hukum memang aturannya menegakkan hukum," tegasnya.
Pulangkan Laporan Kasus Firli
Diketahui beberapa waktu lalu, Bareskrim Polri menyatakan akan mengembalikan laporan kasus gratifikasi yang diduga diterima Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Kasus dugaan gratifikasi tersebut berupa diskon harga sewa helikopter.
Baca Juga: ICW Sebut Oligarki Ingin Matikan KPK Demi Pemilu 2024
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto berdalih, kekinian pihaknya tengah fokus menangani dampak kesehatan dan memulihkan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19.
"Saat ini kita fokus kepada penanganan dampak kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional dan investasi akibat pandemi Covid-19," Agus pada Jumat (4/6/2021) lalu.
Menurutnya, kasus pelanggaran etik penggunaan helikopter oleh Firli sebelumnya telah ditangani Dewas KPK. Lantaran itu juga, dia meminta Indonesia Corruption Watch (ICW) jangan menarik-narik perkara tersebut ke Polri.
"Jangan tarik-tarik Polri," ujarnya.
Diskon Sewa Helikopter
Sebelumnya, Firli Bahuri dilaporkan ICW ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim Polri. Jenderal polisi bintang dua ini diadukan atas dugaan penerimaan gratifikasi berupa diskon harga sewa helikopter dari PT Air Pasifik Utama (APU) saat berziarah dari Palembang ke Baturaja pada 2020 lalu.
Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengungkapkan, harga sewa helikopter yang dilaporkan Firli kepada Dewas KPK saat menjalani sidang etik tidak sesuai dengan aslinya. Saat itu, Firli melaporkan harga sewa helikopter tersebut berkisar Rp7 juta per jam.
"Jadi, jika ditotal dalam jangka waktu 4 jam penyewaan yang dilakukan oleh Firli ada sekitar Rp 30,8 juta yang dia bayarkan kepada penyedia heli, yang mana penyedianya adalah PT Air Pasifik Utama. Tapi kemudian kita mendapatkan informasi lain dari penyedia jasa lainnya, bahwa harga sewa per jamnya, yaitu 2.750 US Dollar atau sekitar Rp 39,1 juta (per jam)," ungkap Wana di Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (3/6/2021) lalu.
Setidaknya, kata Wana, ada selisih harga sewa sekitar Rp 141 juta dari normalnya. Selisih tersebut diduga merupakan gratifikasi berupa diskon yang diberikan oleh penyedia jasa kepada Firli.
"Jadi ketika kami selisihkan harga sewa barangnya ada sekitar Rp141 sekian juta yang diduga itu merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima oleh Firli," bebernya.
Wana menilai, gratifikasi berupa diskon harga sewa helikopter itu telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sanksi Kasus Meikarta
Belakangan, Wana menyebut salah satu Komisaris PT Air Pasifik Utama, selaku penyedia jasa sewa helikopter kepada Firli Bahuri, pernah diperiksa terkait kasus korupsi.
Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan izin Meikarta yang menyeret mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Namun, Wana belum mengetahui secara pasti ada atau tidaknya keterikatan kasus Meikarta itu dengan dugaan gratifikasi berupa diskon sewa helikopter yang diterima Firli.
"Kami lakukan investigasi, bahwa salah satu komisaris yang ada di dalam perusahaan PT Air Pasifik Utama merupakan atau pernah dipanggil menjadi saksi dalam kasusnya Bupati Bekasi, Neneng terkait dengan dugaan suap pemberian izin di Meikarta," kata dia.
Dia juga membeberkan, setidaknya ada sembilan perusahaan penyedia jasa sewa helikopter serupa dengan PT Air Pasifik Utama yang berpeluang untuk disewa oleh Firli. Sehingga, patut dicurigai apa sesungguhnya dasar atau alasan Firli lebih memilih PT Air Pasifik Utama.
"Dan kami pun mempertanyakan mengapa Dewas (KPK) tidak melakukan penelusuran lebih lanjut terhadap informasi yang disampaikan oleh Firli Bahuri," katanya.