Suara.com - Koalisi Serius Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyoroti penambahan Pasal 45c dalam UU ITE yang disertakan pemerintahan dalam rencana revisi. Pasal anyar tersebut dikhawatirkan malah disalahgunakan sama seperti pasal karet yang diprotes masyarakat sebelumnya.
Meskipun pemerintah memastikan bakal merevisi empat pasal Pasal 27 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 28 ayat (1) & (2), Pasal 29, dan Pasal 36, tetapi ada satu pasal yang bakal dimasukan ke UU ITE yakni Pasal 45C. Pasal 45C yang rencananya akan dimasukan ke dalam UU ITE itu berbunyi:
1. Setiap Orang dengan sengaja menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan melalui sarana elektronik, Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik diancam pidana dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda maksimal Rp10.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan yang tidak pasti atau yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia patut menyangka bahwa hal itu dapat menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan melalui sarana elektronik, Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Baca Juga: TII: Kembalikan UU ITE ke Tujuan Awalnya
"Penambahan satu pasal yang terakhir justru kontradiktif dengan harapan publik akan dihapusnya pasal-pasal bermasalah dan justru rentan disalahgunakan," demikian tertulis dalam keterangan Koalisi Serius Revisi UU ITE yang dikutip Suara.com, Jumat (11/6/2021).
Rentan bakal disalahgunakan karena menurut Koalisi Serius Revisi UU ITE, dalam aturan sekarang definisi berita bohong atau berita palsu sangat samar dan tidak memungkinkan orang untuk dapat mengetahui jenis perilaku apa yang dapat diterima.
Pasal tersebut juga dianggap dapat menimbulkan pelanggaran hukum manakala prakteknya tidak dapat diterapkan secara setara atau terjadi tebang pilih penindakan.
Penggunaan sanksi kriminal-berat seperti maksimal 10 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah ini tidak diperlukan dan tidak proporsional.
"Selain itu, penambahan pasal 45C akan berpotensi membuat masyarakat takut untuk berpendapat di ranah daring dan akan berpotensi memperbanyak kasus kriminalisasi atas ekspresi digital warganet yang sah," ujarnya.
Baca Juga: Disetujui Jokowi, Pemerintah Bakal Revisi UU ITE Terbatas untuk Hilangkan Pasal Karet
Dengan begitu, Koalisi Revisi Serius UU ITE mendesak pemerintah menghapuskan Pasal 45C dari rencana penambahan. Mereka mengungkap kalau Pasal 45C diadopsi dari pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946, produk hukum yang dulu dibuat zaman keadaan darurat.
"Dalam situasi normal (bukan situasi darurat atau perang), penerapan hukum semacam ini di dalam UU ITE tentu menjadi pertanyaan besar."
Sebagai informasi, Koalisi Serius Revisi UU ITE tergabung dari Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar.
Kemudian KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI).