TII: Kembalikan UU ITE ke Tujuan Awalnya

Rabu, 09 Juni 2021 | 18:14 WIB
TII: Kembalikan UU ITE ke Tujuan Awalnya
Ilustrasi--Maraknya pemidanaan menggunakan pasal karet UU ITE [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kehadiran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE diharapkan dapat melindungi masyarakat di dunia digital. Namun pada realitasnya, UU ITE justru menjadi momok masyarakat untuk bebas berekspresi.

Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono mengungkap temuan studi dari TII di mana pemidanaan dengan menggunakan UU ITE semakin marak akibat polarisasi yang terjadi di masyarakat. Polarisasi itu muncul karena masifnya penggunaan politik identitas yang terjadi sejak Pemilu 2014 dan semakin kuat pada Pilkada 2017 bahkan hingga Pemilu 2019.

"Bahkan hal ini terlihat di ruang digital, misalnya dengan munculnya istilah cebong yang berarti warganet yang pro-pemerintahan Joko Widodo dan kadrun bagi para netizen yang menentang pemerintahan yang sedang berjalan," kata Anto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/6/2021).

Kuatnya polarisasi tersebut terlihat dari fenomena saling lapor dengan menggunakan beberapa pasal dalam UU ITE. Hal tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Baca Juga: Tak Hapus Pasal Multitafsir, Pemerintah Dianggap Gagal Pahami Masalah UU ITE

Menurut Anto, publik takut mengungkapkan ekspresinya, terutama terkait kritik yang ditujukan kepada pemerintah. Sebab, lritik tidak lagi dilihat sebagai masukan konstruktif bagi pemerintah, namun kritik dipandang sebagai penghinaan di mata pendukung fanatik Jokowi.

"Ini juga berlaku untuk kebalikan dari pendukung fanatik yang menentang pemerintah," ujarnya.

Berdasarkan temuan studi tersebut, Anto menganggap bahwa sesungguhnya Indonesia telah memiliki landasan hukum yang cukup untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi di Indonesia.

Akan tetapi dalam praktiknya, perlu dicatat juga terdapat permasalahan seperti adanya pasal yang multitafsir dan aparat penegak hukum dalam hal ini polisi yang selalu memaknai hukum dari perspektif positivis dan meniadakan alternatif penyelesaian perkara.

Kedua hal itulah yang kemudian membuat implementasi kebijakan bertentangan dengan tujuan dari kebijakan itu sendiri bahkan menjadi alat otoritas dalam mengekang kebebasan berekspresi.

Baca Juga: Disetujui Jokowi, Pemerintah Bakal Revisi UU ITE Terbatas untuk Hilangkan Pasal Karet

Menyikapi itu, TII mengeluarkan rekomendasi dari studi ini yang salah satunya ialah arah politik UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awalnya.

"Undang-undang ini harus dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam mengakses dan bertransaksi di internet, alih-alih menjadi alat untuk menekan kebebasan berekspresi publik," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI