Tak Hapus Pasal Multitafsir, Pemerintah Dianggap Gagal Pahami Masalah UU ITE

Rabu, 09 Juni 2021 | 14:40 WIB
Tak Hapus Pasal Multitafsir, Pemerintah Dianggap Gagal Pahami Masalah UU ITE
Ilustrasi--Pasal multitafsir. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Hemi Lavour Febrinandez menilai kalau pemerintah gagal memahami permasalahan yang terkandung dalam UU ITE.

Hemi menilai kalau pemerintah bukannya menghapuskan pasal multitafsir yang mengekang kebebasan berekspresi dan melindungi masyarakat di dunia digital, akan tetapi malah menambahkan satu pasal yang membuat UU ITE menjadi regulasi bersifat represif. 

"Rencana pemerintah menambahkan Pasal 45C ke dalam UU ITE yang akan mengatur pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran malah akan menambah pasal multitafsir dalam Undang Undang ini," kata Hemi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/6/2021). 

Hemi menjelaskan kalau nomenklatur baru yang diadopsi dari Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak relevan dengan perkembangan hukum dan zaman hari ini.

Baca Juga: Ditolak di Kantor Mahfud MD, Koalisi Serius Revisi UU ITE Ungkap Alasannya

"Walaupun ketentuan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih berlaku hingga saat ini, namun terdapat frasa yang dapat digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang. Hal tersebut secara langsung akan mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia," jelasnya. 

Hemi kemudian mencoba untuk menelisik frasa 'dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat' yang bakal diadopsi ke dalam Pasal 45C. Kata 'dapat' menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menunjukkan bahwa untuk delik Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran di kalangan rakyat. 

"Keonaran di kalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau suatu potensi yang dapat terjadi," ucapnya. 

Menurutnya, penggunaan frasa tersebut akan mudah ditafsirkan secara bebas oleh pelapor dan penegak hukum. Ditambah, delik tersebut dapat diterapkan terhadap sebuah perbuatan yang belum menimbulkan keonaran atau dianggap sebagai delik selesai hanya dengan sebatas potensi belaka. 

Kata Hemi, bahwa yang menjadi dorongan dari masyarakat adalah untuk menghapus pasal-pasal multitafsir yang saat ini ada di dalam UU ITE, bukan malah menambah sengkarut permasalahan dalam undang-undang tersebut.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Polisikan Pengguna Akun Twitter dengan Tuduhan UU ITE

“Awalnya pembentukan Tim Kajian untuk mengevaluasi UU ITE menjadi angin segar untuk dapat mengatasi masalah masyarakat yang saling lapor dan pemidanaan akibat pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut," terangnya. 

"Namun, jika salah satu rekomendasi yang ditawarkan adalah menambah satu lagi pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi, artinya ada yang keliru dari kerja-kerja yang dilakukan oleh tim kajian ini."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI