Suara.com - Pemerintah Indonesia pernah melakukan perundingan dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka, kenapa kini tak mau berdialog secara damai dengan Organisasi Papua Merdeka?
Banyak pihak di Indonesia dan dunia internasional menyerukan agar pemerintah menggelar dialog damai dengan OPM, untuk menghentikan peperangan di tanah Papua.
Seruan pendekatan melalui jalur perundingan damai dengan mediasi pihak ketiga, antara lain disampaikan Benny Giay. Ia adalah ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua dan sekaligus antropolog setempat.
Pendeta Benny Giay menuturkan semula ia berharap pemberian status otonomi khusus Papua akan berimplikasi pada penarikan pasukan militer ke barak dan akan diikuti pula dengan pola perundingan damai ala Aceh.
Baca Juga: Memanas! Tembak Mati Warga, OPM Minta Pekerja Indonesia Tinggalkan Papua
Ia merujuk pada perundingan yang diprakarsai wakil presiden RI ketika itu, Jusuf Kalla, dan berakhir dengan perjanjian damai yang diteken di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Peristiwa bersejarah itu mengakhiri konflik di Provinsi Aceh selama sekitar 29 tahun.
"Tapi itu tidak terjadi di Tanah Papua. Jadi ada semacam politik bermuka dua sehingga kami di Papua bertanya apa ini?"
"Kalau dengan Aceh yang berjuang dengan GAM dalam konteks pemerintahan Orde Baru yang sumber daya alam kaya tapi semua diambil ke Jakarta, radikalisasi GAM Aceh, negara bisa mengadakan dialog dan perundingan dengan pihak ketiga, sementara menutup mata terhadap Papua," paparnya.
Ia bersama beberapa pendeta lain yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua telah menyampaikan desakan itu pascademonstrasi menentang rasisme terhadap mahasiswa Papua pada Agustus 2019.
Kini Pendeta Benny menandaskan kembali dorongan tersebut di tengah eskalasi konflik, terlebih menyusul penetapan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris pasca pembunuhan Kepala BIN Daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, pada tanggal 25 April lalu.
Baca Juga: TPNPB-OPM: Pasukan TNI-Polri Tembak Mati 3 Warga Sipil di Ilaga Papua
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggung jawab atas penembakan itu.
Akan tetapi pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sudah menampik kemungkinan itu. Alasan utama karena tidak ada wakil masyarakat Papua yang bisa mewakili seluruh komponen.
"Kalau dialog Jakarta-Papua seakan-akan program khusus seperti pertemuan tingkat tinggi, itu tidak diperlukan lagi dan tidak akan bisa karena tidak ada yang bisa mewakili rakyat Papua," tegas Mahfud MD ketika menjawab pertanyaan BBC News Indonesia pada Jumat (28/05).
"Terus bagaimana dialognya karena mencari mediator saja tidak ada, dengan catatan mediator itu adalah tokoh, orang dalam. Kita menolak keras mediator internasional. Kalau itu gampang sekali, tinggal menunjuk mediator," ucapnya.
Oleh karenanya, ia mengintensifkan dialog dengan orang-orang Papua, mulai dari kalangan gereja, kalangan pemerintah daerah mulai dari bupati, wali kota hingga kalangan legislatif. Namun dalam serangkaian pertemuan yang digelar di kantor Menko Polhukam pada Mei, ditemukan banyak sandungan.
Mediasi internasional?
Dalam salah satu pertemuan dengan para tokoh Papua itu, muncul usulan mediator tetapi sejauh ini belum ditemukan sosok yang memenuhi kriteria utama, yakni dapat mewakili seluruh komponen masyarakat.
Sepaham dengan Pendeta Benny Giay, mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, menekankan bahwa dialog yang menyeluruh dan berarti akan memerlukan campur tangan pihak yang netral, sebagaimana dalam penyelesaian GAM yang dimediasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
Jika dalam perundingan damai Aceh, ada GAM dan pemerintah Indonesia, tambahnya, maka dialog Papua-Jakarta seharusnya melibatkan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat - yang mencakup Papua dan Papua Barat.
"Sudah pasti kami saat ini sudah mempunyai payung bangsa yaitu teman-teman yang duduk dalam ULMWP dan tentu akan dibentuk think tank oleh ULMWP untuk berbicara. Mereka ini nanti yang mengolah. Finalnya nanti disampaikan ke ULMWP untuk menyuarakan," ujarnya.
Analoginya ULMWP pimpinan Benny Wenda, yang tinggal di Oxford, Inggris itu berfungsi sebagai payung untuk menyuarakan dan bukan pengambil keputusan akhir.
"Tapi keputusan final, karena ini menyangkut hak hidup seluruh orang Papua, dikembalikan kepada rakyat Papua keputusannya bagaimana," menurut Filep Karma.
Dalam praktiknya sejauh ini langkah-langkah ULMWP dinafikkan oleh kelompok-kelompok lain yang mengusung agenda prokemerdekaan.
Salah satu contoh terbaru adalah ketika Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TNPBP-OPM) - sayap militer OPM, menolak serta merta deklarasi pemerintahan sementara Papua Barat dengan Benny Wenda sebagai presidennya pada Desember 2020.
Tak satu komando
Salah seorang tokoh yang dilibatkan dalam serangkaian dialog Papua di kantor Menko Polhukam, Jakarta adalah ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dr. H. Marsudi Syuhud.
Menurutnya, dialog skala besar tidak memerlukan campur tangan pihak luar.
"Papua secara hukum resmi memang Indonesia, di PBB diakui sebagai wilauyah Indonesia maka yang akan mendiskusikan dan mendialogkan adalah orang Indonesia. Karena ini juga urusannya Papua maka pasti Papua," jelasnya.
Adapun peneliti Gugus Tugas Papua di Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menuturkan pendekatan konflik di Papua tidak bisa disamakan dengan cara penanganan konflik di Aceh.
Pasalnya, terdapat banyak faksi pada gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sedangkan di Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hanya ada satu garis komando. GAM dikendalikan oleh pimpinan tertinggi Teungku Hasan di Tiro dari tempat tinggalnya di Swedia.
"Karena Papua aktornya beragam, isunya beragam. Intinya jangan takut diskusi dengan aktor-aktor kunci Sedangkan Papua dan orang Papua harus bisa mengikuti bagaimana dialog berjalan dalam upaya mengurai kompleksitas masalah," kata Alfath yang kini menempuh studi di Inggris dan menjadi menjadi kepala Lingkar Studi Papua PPI UK.
Bagaimanapun pengaturannya selama dalam kerangka NKRI, anggota Komisi I DPR RI dari daerah pemilihan Papua, Yan Permenas Mandenas, menandaskan pemerintah tidak perlu takut membuka dialog komprehensif dengan seluruh unsur masyarakat Papua, baik di dalam negeri maupun mereka yang luar negeri.
"Jadi apa yang kita takutkan mengundang mereka? Kita mengundang mereka untuk mencari solusi menyelesaikan masalah. Mereka ini manusia biasa juga yang bisa memahami dan bisa menerima ketika ada winwin solution yang terbaik untuk menyelesaikan masalah."
"Karena orang yang di hutan pun tidak ingin bertikai dan kontak senjata secara terus menerus dan orang yang hidup di kota pun juga ingin Papua damai," tambah Yan Permenas Mandenas dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Peneliti Gugus Tugas Papua di Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menilai pemerintah tidak ingin gegabah menggelar dialog komprehensif dan lebih terbuka, apalagi apa yang disebutnya sebagai "biaya politik" isu Papua ini amat besar.
"Sebagai contoh kasus ujaran kebencian terhadap orang asli Papua yang terjadi di Surabaya dan berkembang ke berbagai wilayah di Indnesia, sangat besar implikasinya dan menelan biaya yang tak murah.
"Jadi pemeritah masih melihat kira-kira cara yang terbaik seperti apa dan hati-hati dan bertahap."
Ditambahkan, karena kantornya turut mengawal, ia memastikan diskusi skala kecil dengan Papua terus diadakan oleh pemerintah.
Hingga kini belum ditemukan formulasi yang tepat untuk mewujudkan dialog menyeluruh yang dapat memecahkan konflik di Papua dengan beragam aktor dan aneka masalah rumit. Namun, seperti sudah disampaikan Menko Polhukam Mahmud MD, gagasan pendekatan perjanjian damai dengan mediasi pihak ketiga ala Aceh mungkin tidak akan terlaksana.
*Wartawan di Jayapura, Yulia Lantipo, berkontribusi dalam laporan ini.