Suara.com - Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Bobby Rizaldi, menyebut pihaknya mendukung rencana Kementerian Pertahanan (Kemhan) membeli alutsista.
Bobby menilai kondisi alutsista yang dimiliki Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh.
"Jadi kita kalau di DPR itu dalam hal kebatinnya pasti mendukung. Tetapi ini tentu juga harus dilandasi oleh alasan-alasan rasional," kata Bobby dalam diskusi yang digelar Investasi Alutsista Demi Proteksi Kedaulatan Nasional di Masa Depan secara virtual, Senin (7/6/2021).
Bobby menuturkan, alasan DPR mendukung pembelian alutsista ialah karena secara posturnya sudah tertinggal sejak 1998 hingga 2008.
Baca Juga: Klarifikasi Kemhan Soal Utang ke Luar Negeri Buat Pengadaan Alutsista
Ia menyebut pada periode tersebut tidak ada modernisasi yang dilakukan negara terhadap alutsista yang dimiliki.
"Sehingga ada beberapa senjata yang diawaki itu sudah lewat masa pakainya, tingkat kesiapan rendah yang harusnya itu tingkat kesiapan bisa dilakukan pembelian baru atau ada extended life atau macam-macam istilahnya," ujarnya.
Upaya modernisasi itu sempat dilakukan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuat program Minimum Essential Forces (MEF). Program MEF itu artinya anggaran pertahanan bakal ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai pemenuhan kebutuhan esensial.
"Jumlah prajurit berdasarkan jumlah penduduk, jumlah alutsista berdasarkan luasan wilayah dan itu ada rasio-rasionya. Oleh karenanya percepatan-percepatan ini dituangkan dalam kebijakan fiskal dalam badan penganggaran," tuturnya.
Berbicara soal pembelian alutsista untuk pemenuhan upaya modernisasi, Kemhan bakal menggunakan dana pinjaman dari luar negeri.
Baca Juga: Soal Pinjaman Luar Negeri untuk Pengadaan Alutsista, Begini Penjelasan Kemenhan
Menurut Bobby, hal tersebut lazim dilakukan negara karena memang Indonesia tidak bisa kemudian menggunakan dana dan memproduksinya sendiri mengingat kemampuannya yang masih terbatas.
"Dari dulu emang pembelian alutsista itu pinjaman luar negeri, itu sih tidak ada yang berubah karena kan kita masih belum bisa memiliki teknologi yang setingkat dengan negara-negara produsen dan juga teknologi material kita, kalau kita coba buat dalam negeri itu masih tidak efisien."