Suara.com - Cuitan pentolan KAMI, Jumhur Hidayat, tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja yang hanya investor rakus dari China menjadi pangkal permasalahan hingga akhirnya naik ke meja hijau.
Dalam perkara ini, Jumhur didakwa dengan sengaja telah menyebarkan berita bohong yang berpotensi menimbulkan kerusuhan.
Guna merasionalisasi dakwaan tersebut, tim kuasa hukum Jumhur yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menghadirkan ekonom senior, Faisal Basri.
Dalam sidang yang berlangsung di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Faisal menjelaskan bagaimana Omnibus Law - UU Cipta Kerja mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke Tanah Air.
Baca Juga: Faisal Basri : Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Jadi Kunci Perangi Rokok
"Sehingga efeknya sampai sekarang, kemarin BPS mengumumkan ada 2.700 pekerja China yang masuk Sam Ratulangi, itu bukan turis. Ini bulan April 2.685, Sudah masuk pekerja dari China 6.658 yang masuk Sam Ratulangi, Omnibus semakin melancarkan, pekerja ini SMP, SMK, dan Sekolah Teknik, gajinya Rp16,7 juta," kata Faisal, Kamis (3/6/2021).
Faisal turut mengemukakan soal gaji pekerja dalam negeri yang relatif lebih rendah ketimbang pekerja asing yang bekerja di Tanah Air. Dengan kata lain, Faisal menyebut jika Indonesia telah diperbudak oleh asing.
"Bukan tenaga ahli, sebagian besar bukan menggunakan visa pekerja itu visa kunjungan, oleh karena itu bicara terus Indonesia sudah diperbudak oleh China," kata dia.
Merujuk pada data yang disampaikan Fasisal, disebutkan jika Indonesia masuk dalam 20 besar penerima investasi asing.
"Indonesia di dunia masuk top 20 penerima investasi asing. Saya sendiri sudah sering memberikan masukan, saya sampaikan dalam berbagai bentuk, lewat medsos, blog, kadang video isu-isu tertentu, wawancara dengan wartawan dan tulisan ataupun data analisis yang dipresentasikan ke Kemensetneg dan Kemanaker," beber dia.
Baca Juga: Kuasa Hukum: Konteks Keonaran Buntut Cuitan Jumhur Harus Benar-Benar Dibuktikan
Didakwa sebar hoaks
Sebelumnya, Jumhur didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Lewat cuitannya itu, Jumhur juga dianggap membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.