Suara.com - Pemimpin tertinggi Hamas mengungkapkan jika dia lebih baik mati akibat serangan Israel daripada terpapar virus Covid-19.
Menyadur Russian Today, Jumat (28/5/2021) Yehya Sinwar menyampaikan pernyataan tersebut pada Rabu (26/5), pertama kali muncul di publik pasca konflik terbaru.
"Hadiah terbesar yang bisa diberikan Israel kepada saya adalah dengan membunuh saya," katanya dalam pidato tersebut.
"Saya lebih suka mati sebagai martir karena (pesawat) F-16 daripada mati karena virus corona atau penyakit [lain]." tegasnya.
Baca Juga: Tak Jadi Dapat Nilai E, Anies: Penilaian Wamenkes Ganggu Penanganan Pandemi
Rumah pemimpin Hamas tersebut juga menjadi salah satu di antara target militer Israel selama konflik, yang terjadi hingga 11 hari lamanya.
Namun, Sinwar berhasil bertahan hidup dan tidak mengalami luka-luka karena diduga bersembunyi di terowongan bawah tanah di bawah Gaza.
Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz berjanji pada hari Sabtu bahwa negara itu pada akhirnya akan berhasil menghilangkan "semua pemimpin Hamas yang bertanggung jawab untuk menembak dan melancarkan teror terhadap warga sipil."
Sebagai tanggapan, Hamas memperingatkan bahwa mereka akan melanjutkan konflik jika Sinwar atau kepala staf kelompok itu, Mohammed Deif, diserang oleh Israel.
Dengan konflik terhenti, setidaknya untuk sementara, setelah kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi Mesir, penduduk Gaza menghadapi peningkatan risiko Covid-19.
Baca Juga: Satgas Covid-19 Mulai Hitung Kuota PNS Kemenkomarves Work From Bali
Menurut laporan UNICEF, setidaknya 72.000 warga Palestina terlantar akibat serangan Israel, yang merobohkan beberapa bangunan bertingkat.
Setidaknya dua lusin fasilitas medis, termasuk klinik Al Rimal tempat vaksinasi Covid-19 dilakukan, rusak atau terpengaruh akibat serangan Israel.
Kerusakan itu semakin membatasi sistem kesehatan yang sudah terpuruk di Gaza, yang harus menangani tidak hanya pasien virus corona, tetapi juga hampir 2.000 korban konflik.
Total sekitar 1.000 kematian akibat Covid-19 dilaporkan di Gaza pada minggu lalu. Dan kurang dari 2% dari populasi di daerah kantong yang berjumlah sekitar dua juta orang divaksinasi.
"Ini seperti bom berdetak karena orang tidak diuji, dan mereka yang terinfeksi tidak akan tahu bahwa mereka terinfeksi," kata Dr. Majdi Dhair, kepala pengobatan pencegahan di Kementerian Kesehatan Gaza.