Suara.com - Raden Saleh, seniman Jawa di balik karya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, sempat lama menetap di Maxen dan dikenal sebagai Duta Budaya. Ratusan tahun berselang, ratusan warga Jerman masih mengingatnya.
Ratusan warga Kota Maxen dan sekitarnya mendatangi Blaues Häusel atau Rumah Biru yang didirikan oleh bangsawan Jerman, Friedrich Anton Serre, pada tahun 1848.
Kehadiran mereka pada Sabtu (22/05) siang waktu setempat adalah untuk mengenang seniman pangeran Jawa yang pernah tinggal dan berkarya di kota kecil itu pada tahun 1839-1849.
Pelukis muda berbakat itu bernama Raden Saleh Sjarif Boestaman, yang lahir di Semarang tahun 1811.
Baca Juga: Sedulur Sikep Dukung Usulan Samin Surosentiko Jadi Pahlawan Nasional
"Di depan Rumah Biru ini kita memperingati kelahiran seorang pelukis Jawa 210 tahun lalu, namanya Raden Saleh. Dia pernah menjadi bagian penting dari Kota Maxen. Dia datang ke kota ini pada 1839 dan berkawan baik dengan Tuan Serre yang membangun paviliun ini tahun 1848 sebagai tanda hormat untuk Raden Saleh," kata Jutta Tronicke kepada para pengunjung.
Tronicke adalah salah satu warga Maxen yang aktif mempromosikan tokoh Raden Saleh di Jerman bersama dengan KBRI Berlin.
"Dia adalah jembatan kultur antara Indonesia dan Jerman, sehingga kedua bangsa bisa saling mengenal, mengisi, dan memperkaya," ucap pasangan Michael dan Giselle Simon.
"Bayangkan seorang Jawa bisa hadir di Maxen ratusan tahun lalu dan menjadi bagian dari masyarakat Maxen, dihormati karena karya lukisnya yang luar biasa. Dia memperkenalkan Jawa kepada orang-orang Jerman melalui karya seni," tambah mereka.
Lantunan musik angklung Sunda dan tarian tradisional Dayak yang dipertunjukkan oleh anggota Forum Masyarakat Indonesia di Dresden (FORMID) melengkapi acara peringatan hari lahir Raden Saleh.
Baca Juga: Sultan Aji Muhammad Idris Diusulkan Pemprov Kaltim Jadi Pahlawan Nasional
Makna inskripsi aksara Jawa Atas prakarsa Duta Besar RI Arif Havas Oegroseno, KBRI Berlin mendonasikan empat pohon apel yang ditanam di sepanjang jalan menuju Rumah Biru, sebagai simbol penghormatan atas jasanya "Duta Budaya" Indonesia untuk Jerman di abad ke-19.
Di bagian atas pintu paviliun Rumah Biru terukir dua inskripsi aksara Jawa dan Jerman yang artinya "Muliakan Tuhan dan Cintailah Manusia", dibuat oleh Raden Saleh. Pemilik dan pengelola Rumah Biru, Marid Helbig mengapresiasi kerja sama dan dukungan Pemerintah Indonesia melalui KBRI Berlin atas keberadaan Rumah Biru Raden Saleh di Maxen yang berstatus cagar budaya dan dilindungi Pemerintah Jerman.
Pengaruh kehidupan Eropa bagi "Pangeran dari Jawa" Beranjak dewasa, Raden Saleh mendapatkan beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk mengasah bakat seni lukisnya di Belanda pada tahun 1829. Pelukis ternama Eropa seperti Cornelis Kruseman dan Andries Schelfhout adalah gurunya.
Namun, perlakuan masyarakat Belanda yang memandang Raden Saleh sebagai warga kelas dua, mendorongnya untuk hijrah ke Jerman pada 1839. Dari Den Haag, pria peranakan Arab Jawa itu berkelana dan mengunjungi sejumlah kota di Jerman, seperti Düsseldorf, Frankfurt, Berlin, hingga akhirnya tiba di Dresden dan Maxen.
Di Maxen, Raden Saleh menetap selama 10 tahun karena merasa diterima oleh penduduk setempat yang menghormatinya sebagai manusia dan menghargai karya lukisnya. Orang-orang Jerman memberinya julukan "Pangeran dari Jawa".
Pengalaman belajar serta hidup di Eropa sangat mempengaruhi gaya melukis dan pemikiran Raden Saleh.
Kembalinya ke Indonesia, Raden Saleh masih menerima perlakuan diskriminasi, sehingga mendorongnya menciptakan karya lukis yang mengekspresikan kritik atas kolonialisme Belanda.
Kritik tersebut tertuang dalam lukisan penangkapan Diponegoro, Sebuah Banjir di Jawa, dan Pertarungan antara Banteng dan Singa. Salah satu karya Raden Saleh terjual dengan harga mencapai hampir $ 10 juta (Rp 143,5 miliar).
Lukisan-lukisan lainnya kini bisa dilihat di 43 museum di seluruh dunia, jumlah itu tidak termasuk karya yang telah dibeli oleh kolektor. ha/hp (berbagai sumber)