Suara.com - Kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL), dulu bernama PT Inti Indorayon Utama, di Tano Batak, Sumatera Utara, memunculkan polemik tak berkesudahan dengan masyarakat adat setempat.
Berkenaan dengan itu, muncul sebuah petisi di platform change.org agar PT TPL ditutup dan tanah adat di sana dikembalikan ke masyarakat adat.
Petisi tersebut dibuat oleh Koalisi Gerakan Tutup PT TPL , Sabtu (22/5/2021), dan telah mendapatkan ratusan tanda tangan.
Bukan tanpa alasan, petisi tersebut dibuat karena keberadaan PT TPL menyisakan duka mendalam bagi masyarakat adat di Tano Batak.
Baca Juga: KPK Masa Bodoh ke Presiden Jokowi, Lakpesdam PBNU : Mau Ikuti Siapa Lagi?
"Mimpi kesejahteraan rakyat dan kemajuan yang digaungkan oleh para pendukung perusahaan ini seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan," tulis keterangan dalam petisi tersebut.
Berdasarkan narasi yang disiarkan, sejak awal kehadiran PT TPL, reaksi penolakan sudah muncul dari berbagai kalangan baik masyarakat, NGO, akademisi, tokoh gereja, maupun para pemerhati lingkungan hidup.
Pasalnya, kehadiran perusahaan tersebut akan berdampak buruk bagi ekosistem Danau Toba dan juga berpotensi menciptakan konflik agraria khususnya dengan masyarakat adat.
Diketahui perusahaan milik Sukanto Tanoto itu semula mendapatkan izin konsesi dari negara seluas 269.060 hektar berdasarkan SK No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, SK terakhir yakni SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektar.
"Fakta di lapangan wiayah konsesi bersinggungan dengan wilayah masyarakat adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini," terangnya.
Baca Juga: Tuntut Pindahkan Makam Covid-19 Tak Dipenuhi, Warga di Sumut Blokir Jalan
PT TPL bermodal izin konsesi disebut merasa paling berhak dan memaksa masyarakat adat yang sudah menetap lama untuk pindah.
Mereka mendesak agar masyarakat adat menerima bahwa PT TPL yang berhak menguasai dan mengelola wilayah adat tersebut.
PT TPL dikabarkan kerap melakukan upaya-upaya penggusuran yang selalu melibatkan aparat dan instansi pemerintahan terkait.
Bahkan, baru saja terjadi, pada Selasa (18/5/2021), masyarakat Adat Natumingka mendapatkan tindakan kekerasan dan kriminalisasi. Akibat dari itu, 12 orang mendapatkan luka cukup serius.
Kekinian, ada sekitar 23 komunitas masyarakat ada tersebar di lima Kabupaten di Kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT TPL. Total wilayah adat yang diklaim sepihak oleh T TPL sebagai konsesi perusahaan yakni sekitar 20.754 hektare.
Kehadiran PT TPL di wilayah adat menyebabkan masyarakat adat kehilangan keharmonisan relasi sosial dan terpisah dari kebiasaan sosial budayanya.
Oleh sebab itu, melalui petisi tersebut Bakumsu beminta Presiden Jokowi untuk menutup permanen perusahaan PT TPL tersebut.
"Presiden Joko Widodo harusnya menutup permanen perusahaan yang memiliki banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya," ujarnya.
Pasalnya, tidak hanya akan melukai masyarakat adat, konflik tersebut tidak akan menarik simpati wisatawan jika kearifan lokal hilang dan hanya dipenuhi industri di sekitaran kawasan Danau Toba.
Selain itu, kehadiran PT TPL juga sudah merusak harmoni sosial dan budaya di Tanah Batak. Sejak masih bersama Indorayon, perusahan itu kerap dinilai mengadu domba.
Adapun Koalisi Gerakan Tutup PT TPL memilik tuntutan antara lain:
- Pemerintah Pusat (KLHK) mencabut Izin PT. TPL
- Pemerintah Kabupaten Menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba dan menerbitkan SK Penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya.
- Hentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat adat
- Pihak kepolisian memberikan perlindungan terhadap MA di kawasan Danau Toba, dan bersikap adil dalam menegakkan hukum serta menerapkan Standar HAM sebagaimana Perkap Kapolri No.8 tahun 2009.
Untuk memberikan petisi tersebut, klik DI SINI.