Suara.com - Saat jutaan orang di dunia mengutuk aksi militer Israel yang menyerang warga sipil Palestina, banyak warganet bersuara bahwa konflik di Papua juga punya kemiripan atas rangkaian peristiwa di Israel-Palestina.
Antara lain, aksi kekerasan terhadap orang yang dituding separatis atau teroris hingga munculnya misinformasi atau hoaks, putusnya sambungan internet di Papua, serta pemberitaan perkembangan konflik bersenjata antara pasukan gabungan TNI-Polri dan kelompok pro kemerdekaan Papua.
Meski memiliki akar yang berbeda, apa yang terjadi di Papua dan di Palestina memiliki kesamaan dari sisi kekerasan dan potensi pelanggaran HAM, menurut peneliti kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth.
Sementara, perbedaan reaksi dan tingkat empat publik terhadap apa yang di Papua dan di Palestina, menurut peneliti Center for Policy Studies di Universitas Padjajaran, Ratu Durotun Nafisah, karena "negara terlalu lama memonopoli informasi terkait Papua".
Baca Juga: Ungkit Isu HAM dan Militer, GKI: Tiap Hari Orang Papua Bersimbah Darah
Baca juga:
- Penangkapan aktivis Papua dan 'stigma teroris', 'kemunduran' solusi damai konflik
- Jenderal bintang satu TNI meninggal di Papua, pemerintah sebut 'KKB teroris'
- Wacana OPM ditetapkan jadi kelompok teror diduga bakal picu berbagai kesewenang-wenangan yang korbankan warga sipil
Apa yang dikatakan publik soal konflik di Papua dan Palestina?
Pada saat jutaan mata tertuju pada pertikaian antara Israel dan Palestina yang menyebabkan banyak korban sipil, terutama dari sisi Palestina, tensi konflik bersenjata antara pasukan gabungan TNI Polri dan kelompok pro-kemerdekaan TPNPB-OPM juga memanas.
Publik Indonesia mulai membandingkan reaksi publik atas apa terjadi di Palestina dengan konflik di Papua yang juga telah memakan korban jiwa, tak hanya dari warga sipil tapi dari dua pihak yang bertikai.
Beberapa dari mereka juga menunjukkan solidaritasnya terhadap warga Papua, seraya menegaskan apa yang terjadi di Palestinya bukanlah konflik agama.
Fitria Mutiara Sungkar, warga Indonesia yang kini tinggal di London, Inggris, mengatakan banyaknya sumber di media sosial berkaitan krisis Palestina, mempermudah dirinya untuk mencari tahu akar konflik dan apa yang terjadi di Palestina sekarang.
Baca Juga: Haris Azhar: TNI Duduki SD dan SMP di Hitadipa, Guru dan Pelajar Ketakutan
Sayangnya, akses informasi terkait Papua yang terbatas membuatnya kesulitan mendapat informasi akan konflik yang sedang berkecamuk di Papua.
"Saya sebagai warga yang nggak ngerti apa-apa, informasi yang saya dapatkan terkait Palestina itu jauh lebih banyak, dan itu sources-nya dari segala macam lini, dibandingkan kalau saya ingin cari tahu tentang isu di Papua," ujar Fitria kepada BBC News Indonesia, Selasa (18/05).
"Ketika saya mencoba untuk mencari konfirmasi di media mainstream, yang saya cuma dapatkan adalah informasi dan quote dari pihak militer Indonesia yang mengatakan itu hoaks. Terus saya harus percaya begitu saja? Mohon maaf, saya sudah diajarin oleh banyak orang untuk jangan terpaku dengan satu informasi saja," lanjut Fitria.
Namun, solidaritas terhadap warga Papua dituding sebagai simpatisan kelompok separatis, oleh sejumlah pihak.
Veronica Koman, pengacara HAM yang kerap menyuarakan tentang Papua lewat sosial medianya, menyoroti hal ini lewat akun Twitternya, dan menegaskan dukungannya terhadap Papua dan Palestina dilandasi rasa kemanusiaan.
https://twitter.com/VeronicaKoman/status/1394116495878201344
"Orang kadang terlalu mengkotak-kotakkan suatu dukungan, padahal ini tentang kemanusiaan. Ini soal kemanusiaan dan kemanusiaan itu tidak terafiliasi politik," ujar Veronica kepada BBC News Indonesia.
Ia kemudian menegaskan, mendukung rakyat Papua tidak otomatis mendukung apa yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang kini dilabeli sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Indonesia.
"Yang seharusnya tidak perlu diragukan adalah bersolidaritas untuk kemanusiaan. Kita harus mengecam pembunuhan anak-anak kecil dan warga sipil di Gaza, tanpa afiliasi politik apapun," ujar Veronica.
"Dalam kasus Papua, kita tidak perlu 'Mau mendukung Indonesia atau Papua Merdeka?'. Kita tidak meminta itu, cukup bersuara untuk kemanusiaan. Ada warga sipil, termasuk TNI-Polri juga, yang jadi korban. Intinya bahwa ada nyawa yang terus-terusan mengalir di Papua," katanya.
Peneliti Center for Policy Studies di Universitas Padjajaran, Ratu Durotun Nafisah, menambahkan salah satu penyebab perbedaan reaksi dan tingkat empat publik terhadap apa yang di Papua dan di Palestina adalah karena "monopoli informasi sistemik" yang dilakukan pemerintah Indonesia.
"Kemungkinan besar dalam konteks Papua, masyarakat itu tidak mengetahui betul apa yang terjadi di Papua, akar permasalahan, dan itu disebabkan permasalahan yang sifatnya sistemik," katanya.
"Monopoli informasi itu yang menurut saya sifatnya sistemik dan dilakukan dengan berbagai cara oleh negara," ujar Ratu.
https://twitter.com/ratudnafisah/status/1392388880624623617?s=20
Apa beda konflik Papua dan Palestina?
Veronica Koman menganggap meski memiliki sejarah yang berbeda, konflik Palestina dan Papua memiliiki kesamaan bentuk kolonialisme pemukim (settler colonialism) yang bertujuan memindahkan atau menghapus masyarakat adat dengan mengambil tanah untuk digunakan oleh pemukim untuk selamanya.
"Dalam kasus Israel orang-orang Yahudi sampai menggusur orang-orang Palestina. Dalam kasus Papua, otsus (otonomi khusus) menjadi pulling factor bagi transmigran untuk tetap ke Papua karena uang banyak berputar di situ," katanya.
"Kenyataanya orang Papua sekarang termarjinalisasi, mereka saat ini minoritas di tanah sendiri. Itu adalah settler colonialism," tegas Veronica kemudian.
Namun demikian, Ketua kajian Papua LIPI, Adriana Elisabeth menganggap apa yang terjadi di Papua dan Palestina memiliki banyak perbedaan, kendati memiliki persamaan dalam hal kekerasan dan pelanggaran HAM.
Ia menjelaskan jika konflik di Palestina bersumber dari konflik antar negara, yakni Israel dan Palestina. Sementara konflik Papua merupakan konflik dalam negara.
"Banyak orang kemudian membela Palestina karena agama, sebenarnya bukan itu, tapi lebih pada hak-hak atas tanah warga Palestina. It's a never ending conflict," katanya.
"Kalau di Papua, lain lagi ceritanya. Ada isu HAM juga, tapi Papua oleh Belanda diperlakukan sebagai negara yang seakan-akan dimerdekakan. Karena keinginan untuk merdeka itu terhalang oleh hasil Pepera tahun 1969, itulah yang menjadi komplain sampai hari ini," ujar Adriana kemudian.
Apa perkembangan terbaru konflik di Papua?
Dalam perkembangan terbaru, Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan "pemerintah terus berupaya menumpas habis kelompok teroris" dalam apa yang ia sebut sebagai "pengejaran untuk menyelamatkan rakyat.
Ia menjelaskan sejak pemerintah resmi melabeli TPNPB-OPM sebagai kelompok teroris, setidaknya ada empat kontak senjata antara pasukan gabungan TNI-Polri dan TPNPB-OPM di Papua.
- 27 April 2021: Kontak senjata di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua mengakibatkan satu prajurit Brimob gugur, dua luka-luka dan lima anggota TPNPB-OPM tewas
- 13 Mei 2021: Kontak senjata di Ilaga, satu anggota TPNPB-OPM tewas
- 16 Mei 2021: Kontak senjata di Ilaga, dua anggota TPNPB-OPM tewas, satu yang lain melarikan diri dalam keadaan luka
- 18 Mei 2021: Penyerangan yang menyebabkan dua prajurit TNI meninggal dunia di Yakuhimo.
- 18 Mei 2021: Kontak senjata di Pegunungan Bintang, empat prajurit TNI luka.
"Kita sekarang akan lebih tegas khusus kepada kelompok itu ya, bukan terhadap rakyat Papua, bukan terhadap Papua. Karena Papua itu etnis, budaya dan tempat, tapi kalau teroris itu dari mana saja," ujar Mahfud MD dalam konferensi pers, Rabu (19/05).
Sorotan publik terhadap konflik Papua melonjak setelah beredar kabar ada tiga warga sipil perempuan yang menjadi korban jiwa dalam konflik bersenjata antara pasukan gabungan TNI-Polri dan TPNPB-OPM pada akhir pekan lalu.
Suara Papua, media daring yang pertama kali menerbitkan berita itu kemudian menerbitkan permohonan maaf dan mencabut berita tersebut.
Suara Papua kemudian dibombardir oleh sejumlah akun anonim yang menyebutnya "menyebarkan berita provokasi dan propaganda".
Itu adalah salah satu disinformasi terbaru tentang apa yang terjadi di Papua. Berikut ini adalah poin-poin yang menjadi perang klaim antara militer Indonesia dan TPNPB-OPM.
Benarkah tiga warga sipil menjadi korban?
Pada Minggu (16/05) Suara Papua memberitakan tiga perempuan menjadi korban dalam apa yang disebut sebagai serangan udara pasukan gabungan TNI-Polri ketika memburu kelompok TPNPB-OPM di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua.
Dalam unggahan yang kini telah dihapus, Suara Papua menyebut mendapat informasi dari "sumber mereka" bahwa ketiga perempuan bernama Neri Murib (12 tahun), Rana Tabuni (16 tahun) dan Siska Mom (20 tahun) telah menjadi korban dari serangan udara.
Pada Selasa (18/05) pagi, redaksi Papua mencabut berita ini setelah mendapat klarifikasi dari Ketua Klasis Gereja Kingmi di Ilaga Utara, Pendeta Menase Labene yang menyatakan "tidak ada perempuan yang tewas" dan "memang ada gereja yang kena peluru dan rusak".
https://twitter.com/SuaraPapua/status/1394469607054856193?s=20
Kepada BBC News Indonesia, Kepala Penerangan Kogabwilham III, Kol Czi Nyoman Suriastawa, menegaskan berita tentang warga sipil yang menjadi korban konflik adalah "hoaks" dan "bohong".
"Tidak ada kejadian seperti yang diberitakan," katanya, seraya menambahkan bahwa Suara Papua telah "berulang kali ditegur" lantaran kerap menyebar berita bohong.
Namun, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, berkukuh bahwa "warga sipil menjadi korban" dan "kampung-kampung dibakar habis oleh bombardir serangan udara militer Indonesia.
Ia menuding pihak TNI-Polri menggunakan pihak gereja "untuk menangkal" informasi yang benar.
"Kami punya pengalaman di Ndugama, pendeta digunakan TNI untuk menyangkal. Pengakuan pendeta itu kami ragukan karena di Ndugama tentara [dan] polisi pakai pendeta untuk menyangkal, tapi faktanya kan kemudian benar," tegas Sebby.
Benarkah ada serangan udara?
Dalam permintaan maaf dan pencabutan berita yang diterbitkan di situsnya, Suara Papua berkukuh "ada fakta gereja Kabuki rusak bagian kiri karena tembakan helikopter".
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom juga mengonfirmasi bahwa telah terjadi "serangan udara yang membabi-buta" dari pasukan gabungan TNI-Polri.
Menurutnya, pasukan gabungan TNI-Polri telah melakukan serangan udara menggunakan tiga helikopter milik angkatan udara pada 15-16 Mei 2021.
"Gereja-gereja semua dibakar, kena granat atau bom asap yang mereka tembak dari helikopter. Kampung-kampung dibakar habis itu. Itu fakta," katanya.
Ia mengatakan, buntut dari konflik berkepanjangan di Ilaga, ratusan warga sudah mengungsi ke kampung yang di anggap aman, sebagian ke kota Ilaga menduduki di rumah Kepala dinas Sosial, dan sebagian sudah mengungsi ke Timika dan Nabire.
Akan tetapi, Nyoman Suriastawa, Kepala Penerangan Kogabwilham III menegaskan bahwa serangan udara tersebut adalah kabar bohong.
"Kita menggunakan helikopter itu untuk mengangkut personel dalam kegiatannya," tegas Suriastawa.
Benarkah militer Indonesia menggunakan roket?
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengeklaim pasukan gabungan militer dan kepolisian Indonsia telah membombardir warga dan gereja dengan 40 roket.
Dalam konflik akhir pekan lalu, ia menuding pasukan gabungan TNI-Polri menyerang markas TPNPB-OPM dan rumah warga. Akibatnya, sejumlah rumah dan satu gereja di Dolinggame hancur oleh apa yang disebut sebagai bom tersebut.
Namun, Kepala Penerangan Kogabwilham III Nyoman Suriastawa membantah, seraya menuding serangan udara dan korban warga sipil adalah "propaganda TPNPB-OPM".
Baca juga:
- Bayi bernama Pengungsi itu lahir di bawah pohon - fakta dari konflik di Nduga, Papua
- Masa Pra-Paskah yang 'suram' bagi para pengungsi Intan Jaya
- Penembakan di Intan Jaya membuat sekitar 600 warga 'mengungsi karena takut', mengapa konflik terus terjadi?
Dijelaskan Suriastawa, TPNPB-OPM telah melakukan pembakaran terhadap bekas bangunan PT. Unggul di Kampung Kimak, pada Minggu (16/05) dan rumah warga di Kampung Paluga pada Senin (17/5).
Menurutnya, pembakaran itu dilatarbelakangi konflik antara kelompok teroris Goliat Tabuni dengan kelompok teroris Lekagak Talenggen.
Ia melanjutkan, foto selongsong apa yang disebut sebagai "rudal helikopter" oleh TPNPB-OPM, sebenarnya merupakan selongsong pelontar geranat dari persenjataan sesuai SOP yang dimiliki pasukan TNI dalam suatu operasi.
"Itu selongsong pelontar granat. Kemungkinan besar dari penyergapan terhadap pos tinjau kelompok teroris OPM di Kampung Mayuberi Distrik Ilaga, Minggu (16/5) yang menewaskan dua teroris OPM," ungkapnya
Lebih jauh, Suriastawa menjelaskan bahwa apa yang ia sebut sebagai kelompok bersenjata (KKB) itu bekerja dalam sejumlah front.
Selain front bersenjata dan politik, Suriastawa menyebut OPM berkolaborasi dengan jurnalis, media dan netizen yang aktif menyebar hoaks untuk menyudutkan pemerintah.
Verifikasi sulit karena kondisi geografis dan gangguan komunikasi
Veronica Koman, yang juga sempat mengunggah kabar warga sipil yang menjadi korban - dan telah mongoreksinya, beralasan "sangat sulit memverifikasi" insiden tersebut sebab lokasinya berjarak 30 km dari kota terdekat Ilaga dan minimnya kebebasan pers di Papua.
https://twitter.com/VeronicaKoman/status/1394481679759073284?s=20
"Kita tidak bisa serta merta mengamini ketika aparat mengatakan suatu insiden pelanggaran HAM itu hoaks karena sejarahnya mereka seperti itu terus," katanya.
Ia mencontohkan, insiden tewasnya Pendeta Yeremia Zanambani awalnya disebut sebagai kabar bohong. Namun hasil investigasi independen yang dilakukan membuktikan sebaliknya.
"Jadi sudah kondisi geografisnya sulit, tidak ada kebebasan pers lalu sekarang koneksi internet dan telpon disrupted (terganggu)," kata Veronica.
Seperti diberitakan, terputusnya kabel laut Telkom di titik 360 kilometer pada awal Mei ini membuat layanan internet milik Telkom di Jayapura dan sekitarnya mengalami gangguan.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Plate, jaringan internet di Papua baru akan pulih sepenuhnya pada Juni mendatang.
Pemerintah Indonesia memonopoli informasi?
Adriana Elisabeth dari LIPI menambahkan dalam kondisi konflik semestinya publik tidak hanya mencari informasi dari satu sumber.
Namun kondisi gangguan internet di Papua, menurut Adriana, membuat "akses untuk mendapatkan informasi yang up to date menjadi terhalang."
"Siapa yang punya akses gampang, ya pihak keamanan karena mereka punya fasilitas".
Baca juga:
- Investigasi BBC: Ini cara kerja jaringan bot penyebar informasi palsu tentang Papua
- Mengapa ratusan akun 'palsu' berbahasa Belanda muncul mendukung Otsus Papua?
- Eksklusif: Investigasi ungkap perusahaan sawit Korsel 'sengaja' membakar lahan di Papua
"Sementara pasti pihak-pihak yang tidak setuju dengan pelabelan teroris ini berupaya mencari informasi untuk mengkonfirmasi bahwa pelabelan itu telah menimbulkan dampak masif kepada masyarakat sipil," jelas Adriana.
Menurut Adriana, hal serupa juga marak terjadi di Papua pada saat gelombang anti-rasialisme yang berujung kerusuhan di sejumlah kota terjadi pada 2019.
"Polanya jadi ada kontra-narasi terus menerus."
Namun, tudingan itu ditampik oleh Kepala Penerangan Kogabwilham III, Kol Czi Nyoman Suriastawa.
"Kalau dibilang monopoli oleh aparat, dari mana monopoli? Kita mendapat informasi berdasar fakta yang ada. Sumber-sumber berita kita sekarang kebanyakan masyarakat dewan gereja."
"Kalau kita sendiri yang ngomong bahwa berita itu bohong, ya masih kuat-kuatan urat saraf lah," tegasnya.
Ratu Durotun Nafisah dari Center for Policy Studies di Universitas Padjajaran menggambarkan insiden pemberitaan Suara Papua adalah salah satu contoh betapa "media lokal Papua saja kesulitan untuk melakukan verifikasi".
Hal itu, menurutnya, karena miniminya akses bagi jurnalis dan keengganan negara untuk melakukan investigasi independen dalam banyak kasus.
"Kita jadi tidak bisa memverifikasi kebenaran dari suatu informasi, baik itu pembunuhan atau insiden yang dilakukan KKB, maupun yang dilakukan oleh tentara. Ini salah satu bentuk monopoli informasi," katanya.
"Publik Indonesia dibiarkan menerka-nerka tentang apa yang terjadi di Papua, yang menurut saya bisa jadi anak muda atau akademisi atau mahasiswa pelajar mereka merasa tidak yakin untuk menentukan keberpihakan. Siapa yang benar? mereka tidak tahu," ujar Ratu kemudian.
Kesulitan mencari tahu info yang benar tentang Papua diamini oleh Fitria Mutiara Sungkar, warga Indonesia yang hampir setahun terakhir tinggal di Inggris namun selalu ingin tahu dengan apa yang terjadi di Papua.
"Kita tahu akses informasi terhadap Papua itu sangat sulit sekali untuk didapatkan. Jadi saya kebingungan sebagai warga, ini yang saya harus ikuti yang mana? Ini benar atau tidak?," keluhnya.