Suara.com - Program transmigrasi dulu begitu populer. Kontribusi transmigran diakui besar sekali dalam mendukung program-program pemerataan pembangunan. Tulisan ini mengangkat pengalaman seorang anak transmigran -- yang tentu saja tak mewakili keseluruhan pengalaman -- di salah satu kampung di Lampung Utara. Setelah bertahun-tahun lamanya bertransmigrasi, bagaimana keadaan sekarang dan mengapa dia kemudian pergi untuk merantau ke Pulau Jawa lagi.
Firman -- begitu dia minta dipanggil namanya-- sebenarnya belum merasakan seperti apa keadaan keluarganya di Trenggalek, Jawa Timur, sebelum mereka mengikuti program transmigrasi. Ketika itu Firman belum lahir. Tapi dari cerita orangtua, pemuda ini tahu keluarganya dulu masuk kategori miskin.
Di Trenggalek, orang tua Firman merupakan petani penggarap. Mereka mendapatkan bayaran dari petani lain yang membutuhkan tenaga mereka. Tapi kalau sedang tidak ada yang mempekerjakan, mereka kerja serabutan dengan penghasilan yang tak menentu.
Sampai kemudian muncul tawaran dari pemerintah untuk mengikuti program transmigrasi ke Pulau Sumatra.
Baca Juga: Kisah Kontraktor Kenyang Hadapi Para Pemalak Proyek
“Siapa sih yang nggak tergiur ditawari transmigrasi, kan diberi tanah. Terus keluarga pindah. Namanya juga manusia, ditawari gratis ya tergiur. Lebih menjanjikan,” kata Firman menjelaskan alasan keluarganya bersedia dipindahkan oleh pemerintah ke daerah lain.
Awal tahun 1980-an, orangtua Firman dan empat kepala keluarga yang masih satu kerabat diberangkatkan pemerintah ke Kabupaten Lampung Utara. Lampung Utara dulu menjadi kabupaten terluas di Provinsi Lampung, tetapi kemudian mengalami beberapakali pemekaran wilayah.
Mereka sangat antusias mengikuti program transmigrasi. Mereka pergi dengan membawa sebuah harapan di tempat baru bisa memperbaiki kesejahteraan keluarga yang kiranya sulit dicapai jika masih tetap memilih bertahan di Trenggalek.
Rombongan warga menumpang bus sampai ke sebuah pelabuhan. Lalu pindah ke atas kapal laut. Setelah berjam-jam kemudian mereka turun dan pindah lagi ke bus yang akan mengantarkan ke tanah yang dijanjikan.
Singkat cerita, sampailah mereka ke daerah tujuan program transmigrasi.
Baca Juga: Kisah Penjaga Makam: Menjawab Apa Saja yang Terjadi di Kuburan
Tempat tujuan transmigrasi masih berupa hutan dan semak ketika keluarga Firman dan rombongan datang. Mereka harus membabat hutan dari nol. Kemudian menyiapkan ladang untuk bertani.
Tapi mereka tidak terkejut dengan semua itu karena sebelum diberangkatkan sudah mendapatkan pembekalan yang sekiranya dibutuhkan di lokasi penempatan yang terpencil.
Pembekalan yang mereka terima, terutama bagaimana cara mengolah lahan pertanian di lokasi baru sehingga diharapkan cepat mudah beradaptasi, terutama dalam bercocok tanam. Selain itu juga bekal mengenal kearifan lokal.
“Ibaratnya kan dulu kita dikasih tanah toh. Kalau trans kan dikasih ladang, terus bikin rumah juga di ladang itu. Ibaratnya wong Jowo bilang mumbul. Buka ladang sendiri,” kata Firman.
Selama masa transisi di tempat baru, mereka mendapatkan jaminan hidup dari pemerintah.
Luas ladang yang boleh digarap transmigran, menurut cerita Firman, tergantung pada sekuat apa mereka membuka hutan menjadi ladang (tapi data lain menyebut luas lahan untuk tiap-tiap transmigran sudah ditentukan pemerintah).
Keluarga Firman memiliki lima hektare lahan, begitu juga empat kepala keluarga yang berangkat ke Lampung Utara bersama mereka.
Setiap keluarga, kata Firman, bebas hendak menanam tanaman apa saja di lahan yang disediakan pemerintah.
“Tujuane kan asline ngene, dulu Lampung itu jarang penghuninya. Biar akeh penghuninya. Mungkin mendatangkan transmigran dari Jawa karena sregep,” katanya.
Orangtua Firman pada tahun-tahun pertama menggarap ladang, menanamkan singkong dan padi.
Mereka memilih komoditas tersebut, selain untuk makan, juga untuk dijual karena pada waktu itu harga di pasaran sedang bagus-bagusnya.
Tanaman singkong dari tanam sampai panen membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan, sedangkan masa hidup padi sekitar tiga bulan sampai empat bulan.
Tetapi hasil panen yang didapat pada masa transisi belum menguntungkan dan barangkali karena alasan itulah kenapa tahun-tahun pertama pemerintah memberikan jaminan hidup kepada transmigran, seperti sembako dan semacamnya.
Firman berkata, “Awalan bukaan (membuka) ladang hasil pertanian banyak yang bosok, kadang gagal. Memang begitu, awalan ya mesti ndadekne dhisik.”
Sepotong cerita kehidupan di tempat transmigrasi
Firman dilahirkan tahun 1997 di rumahnya, Lampung Utara. Proses kelahirannya dibantu seorang dukun desa. Firman anak ketiga dari empat bersaudara.
Sekarang ini, Firman menjadi satu dari sekian banyak anak transmigran yang ditempatkan di Lampung Utara yang kemudian merantau lagi ke Pulau Jawa.
Setelah beberapa kali pindah kerja (dari Jakarta sampai Tangerang), sekarang dia berdagang di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mengapa dia memutuskan merantau ke Pulau Jawa menjadi alasan utama saya menemuinya siang hari itu.
Ketika saya temui, Firman sedang sibuk melayani pelanggan lumpia dan tahu petis. Saya harus menunggu dia sampai benar-benar memiliki waktu untuk berbagi cerita.
Firman mencoba mengingat-ingat kembali masa kecilnya di Lampung Utara, kemudian seperti apa perkembangan ekonomi daerahnya yang kemudian menjadi alasan remaja-remaja seusianya memutuskan merantau ke Pulau Jawa atau Pulau Bali.
Firman mengenyam pendidikan sekolah tingkat dasar berbasis agama Islam. Seangkatan dia, murid-muridnya mayoritas anak transmigran dari Jawa, Bali, dan Lombok.
Kegiatan favorit anak-anak seusia Firman selepas sekolah, selain main kelereng atau sepak bola, adalah ngasak hasil panen: umumnya padi atau jagung. Ngasak artinya memungut sisa hasil panen di ladang-ladang.
Bagi Firman dan kawan-kawannya, setiap panen tiba merupakan rezeki tersendiri. Hasil dari ngasak diserahkan kepada orangtua dan dijual. Uangnya lumayan buat jajan atau diberikan kepada orangtua untuk tambahan belanja kebutuhan dapur.
“Itu (hasil ngasak jagung) dijual hasilnya. Dulu sekilonya Rp800.”
Desa tempat tinggal Firman semakin lama semakin berubah. Keberadaan transmigran telah mendorong pembangunan infrastruktur. Dari yang minim sekali fasilitas publik, pelan-pelan mulai muncul sejumlah fasilitas, meskipun tidak bisa juga dikatakan sudah memadai.
Dia menggambarkan pembangunan di desanya, “setelah saya SD daerah sudah berubah. Sudah bentuk desa.”
Dulu di desa tidak ada lapangan. Kalau anak-anak kecil ingin bermain sepak bola, mereka menggunakan ladang orang. Tetapi sekarang sudah lain, sekarang sudah ada lapangan, bahkan tahun 2019 dibangun sebuah gelanggang olahraga.
Penghidupan
Setiap tahun jenis tanaman pangan yang ditanam sebagian petani di ladang mereka sering berganti-ganti.
Pergantian jenis tanaman yang ditandur petani biasanya dipertimbangkan dari hasil pertanian apa yang sedang menduduki posisi harga tertinggi di pasar.
Sebagai contoh, jika harga tertinggi di sana diduduki jagung, para petani akan menanami ladang mereka dengan tanaman jagung, tanaman tahun depan bisa jadi berubah menjadi padi, kemudian tahun berikutnya singkong.
Untuk sekarang, posisi harga tertinggi di pasar dipegang oleh singkong.
Sambil menunggu panen singkong tiba, orangtua Firman menjadi buruh pertanian di ladang petani lain. Tapi jika kebetulan sedang tidak ada yang membutuhkan tenaga buruh untuk menanam, mereka ngoret. Ngoret merupakan kegiatan membersihkan rumput di ladang.
Honor ngoret sehari rata-rata Rp50 ribu. Untuk mengejar pendapatan sebesar itu, orangtua Firman berangkat dari rumah ke ladang jam 06.00 WIB, mulai bekerja jam 07.00 WIB. Biasanya selesai bekerja sehabis waktu salat Ashar.
Hasil daripada nyambi menjadi buruh pertanian atau ngoret dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Walaupun punya lahan sendiri kalau misalnya nanam singkong, kan nggak tiap hari dapat duit. Kalau cuma nungguin singkong sendiri, terus buat makan gimana. Kalau singkong kan rata-rata panen setelah tujuh bulan. Kalaupun dijual jadi duit kan itu buat kebutuhan makan dan semua-muanya,” kata Firman.
Jika sedang tidak beruntung atau tidak ada yang membutuhkan tenaga bantuan mengurus ladang, orangtua Firman, juga sebagian besar kepala keluarga yang lain, menganggur atau mengurus ladang sendiri dan itu berarti tidak ada pemasukan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapi bagi sebagian transmigran yang memiliki pohon karet di ladang mereka, tidak terlalu pusing. Keberadaan karet memberikan keuntungan bagi mereka. Frekuensi menderes getah pohon karet biasanya dilakukan petani tiga hari sekali.
“Kadang tiga hari itu ada yang dapat 60 kilo, ada yang 40 kilo, nggak mesti. Tinggal lihat lahannya berapa lebar.”
Getah karet biasanya sudah ditunggu-tunggu pembeli. Penghasilan dari nderes terbilang lumayan, apalagi kalau harga sedang bagus.
Oleh karena keluarganya tidak menanam pohon karet, Firman tidak tahu persis berapa harga getah karet sekarang, tetapi beberapa waktu yang lalu, per kilogram mencapai lebih dari Rp4 ribu.
Persoalan transmigran
Di balik kontribusi besar transmigran dalam mendukung program pemerataan penduduk dan peningkatan produksi pertanian yang dicanangkan pemerintah sejak zaman Orde Baru sampai reformasi, banyak keluh kesah yang dirasakan.
Persoalan yang dihadapi transmigran bukan karena tidak mampu menggarap ladang. Tetapi menurut pendapat Firman, masalah utama yang dialami kebanyakan transmigran adalah, “lemahnya ekonomi, keuangan.”
Dari pengalaman yang dilihat dan dirasakan Firman tahun-tahun belakangan ini, keadaan perekonomian kebanyakan transmigran di daerahnya sedang susah.
Sementara, pendapatan transmigran pada umumnya bersandar pada hasil panen dan bekerja menjadi buruh pertanian selama menunggu panen tiba.
Firman memberikan gambaran mengenai nilai hasil penuaian setelah ditunggu selama berbulan-bulan. Setelah tujuh bulan, panen singkong dari lahan satu hektare kalau dijual nilainya hanya sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta.
Uang tersebut biasanya tidak akan bertahan lama karena penduduk didesak berbagai kebutuhan, misalnya untuk biaya perbaikan rumah atau pembangunan rumah baru.
Menjadi buruh pertanian yang umumnya dilakoni transmigran menjadi alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi keluarga selama menunggu masa panen di ladang sendiri, akan tetapi pendapatan dari pekerjaan ini sifatnya tidak menentu.
“Kalau ngandelin ngoret juga kan belum tentu ada. Kadang seminggu nggak kerja.”
Sementara kebutuhan harian keluarga tidak bisa ditunda-tunda. Setiap hari harus makan, belum lagi untuk biaya jajan atau sekolah anak. Ditambah lagi pengeluaran untuk perawatan tanaman, seperti membeli obat penyemprot singkong.
“Kalau dihitung-hitung penghasilan panen dan pemasukan nggak sebanding. Pengeluaran banyak, pemasukan kadang nggak ada.”
Menurut pendapat Firman yang sekarang paling dibutuhkan transmigran adalah kestabilan harga hasil panen.
Yang terjadi selama ini harga-harga hasil panen selalu berubah-ubah, kadang naik, kadang benar-benar anjlok dan merugikan petani.
“Misalnya harga karet kadang Rp14 ribu sekilo, lalu anjlok jadi Rp4 ribu, kadang naik lagi jadi Rp7 ribu, nggak lama kemudian turun lagi. Singkong juga begitu, kadang Rp800 per kilo, lalu naik berapa hari, entar turun lagi.”
Dia meyakini jikalau harga tidak naik turun terus, dalam artian selalu memberikan keuntungan, kehidupan transmigran tak akan sesusah sekarang. Tapi masalahnya apa mungkin harga pasar bisa diharapkan selalu tetap dan selalu menguntungkan.
Persoalan-persoalan seperti itu menjadi perbincangan sehari-hari para transmigran. Firman pesimistis akan terjadi perubahan kalaupun masalah yang dirasakan para petani disampaikan ke pengambil kebijakan, “Percuma aja kayaknya ngajukan permintaan koyo ngono.”
Mengapa anak-anak muda merantau?
Pendidikan mayoritas remaja di daerah penempatan keluarga Firman adalah lulusan sekolah menengah atas. Menurut informasi Firman, hanya sebagian kecil remaja yang sampai memasuki bangku perkuliahan.
Setelah menyelesaikan pendidikan, tak banyak lapangan pekerjaan yang dapat mereka akses.
“Sehabis SMA sebagian nguli singkong, nyabut singkong, manen singkong. Kerjaan orang bujang di sana ya mayoritas gitu, kuli,” kata Firman.
Sistem pembayaran buruh, katakan saja buruh panen singkong, biasanya dihitung per ton: Rp100 ribu. Kalau empat buruh dalam sehari sanggup memanen empat ton singkong, berarti total yang mereka dapatkan hari itu Rp400 ribu dan dibagi menjadi empat orang: masing-masing mendapat Rp100 ribu per hari.
Seperti tadi telah disinggung, pekerjaan semacam ini tidak setiap hari tersedia dan kalaupun ada biasanya tak semua orang mendapat kesempatan yang sama.
“Di sana itu cari kerja susah. Belum tentu dalam satu minggu itu ada kerjaan terus,” kata Firman.
Dengan berbekal hektaran ladang dan pengalaman, mengapa Firman tidak mengembangkan kewirausahaan di kampungnya? Ketika saya tanyakan itu, jawaban Firman sudah pesimistis duluan.
Menurut dia sulit mengembangkan usaha sendiri di kampung, selain karena peluangnya sedikit dan rendahnya perekonomian di kawasan transmigrasi, juga karena luas tanah lima hektare yang dulu dimiliki keluarganya sekarang telah menyusut menjadi kurang lebih dua hektare.
Keluarga Firman -- juga sebagian keluarga lain -- terpaksa menjual sebagian tanah sedikit demi sedikit karena didesak kebutuhan ekonomi, “Namanya orang lagi kekurangan ya kadang dijual. Jual terus. Sekarang tinggal dua hektare.”
Bekerja menjadi kuli pertanian di kampung bagi mayoritas anak muda semakin lama tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan favorit. Kalau dulu berebut, sekarang mereka punya sudut pandang yang lain.
Mereka merasa perlu melecut diri lebih keras untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari sisi pekerjaan dan penghasilan.
“Bosen aja. Kerjaan kan gitu-gitu aja (di kampung). Zaman kan semakin lama semakin berkembang terus. Ibaratnya sekolah udah dapat ijazah SMA, ya buat apa sekolah kalau nggak nyari kerja lebih baik kan. Masa mau nguli terus. Carilah kerjaan, ngerantau, untuk mendapatkan yang lebih baik.”
“Itu aja sih. Ya kalau mau nurutin orang dulu ya bedalah sama zamannya sekarang. Nggak mungkinlah anak sekarang mau ibaratnya terjun langsung ke ladang.”
Rangkaian persoalan itulah yang kemudian mendorong anak-anak muda, seperti halnya Firman, kemudian memilih untuk mengadu nasib dengan merantau ke kota besar, seperti Jakarta dan Bali.
Di kampung Firman pernah berkata penghasilan dari bekerja di perantauan lebih menjanjikan ketimbang tetap bertahan di kampung dan kelak dia berhasil membuktikan ucapannya.
“Kalau di kampung kan seminggu kerja tiga hari, keempat harinya sudah nganggur lagi, duit habis buat beli ini itu.”
“Jadi ya kalau anak muda kan kadang kan pengen ini, pengen itu. Kalau cuma ngandelin kerja di sana kan susah. Jadinya ya mayoritas merantau sekarang.”
Firman mengungkapkan dengan kalimat sederhana ketika saya tanya cita-citanya ketika memutuskan merantau ke Ibu Kota Negara: “Pengen punya aja. Cita-cita saya pengen membahagiakan orang tua. Kalau untuk membahagiakan orangtua sekarang ini kayaknya belum cukup, untuk membalas masih kurang.”
Tahun ini merupakan tahun yang kelima bagi Firman bekerja menjadi pegawai dengan gaji lumayan di tanah perantauan, meskipun bukan pegawai perusahaan besar dan tanpa memiliki asuransi. Dia tidak perlu bersusah payah mengolah ladang seperti orangtuanya.
Tahun pertama, dia bekerja menjadi pegawai tempat usaha bakso. Penghasilannya Rp25 ribu per hari. Dari uang yang dikumpulkan per hari, dia bisa membantu keuangan keluarga di kampung. Sebulan sekali terkadang dia mengirim yang Rp200 ribu, terkadang Rp500 ribu, kepada bapak dan ibu.
Sesudah bekerja menjadi pegawai tempat usaha bakso, dia mencari tantangan baru lagi. Firman bekerja menjadi pegawai tempat usaha event organizer di Tangerang.
Dan sekarang dia menjadi pedagang lumpia dan tahu petis yang penghasilannya jauh lebih baik dibandingkan dua pekerjaan sebelumnya: rata-rata sehari dia bisa mendapat gaji Rp100 ribu.
Dari penghasilan yang didapat, dia bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri, mengirimkan uang untuk keluarga di Lampung Utara, dan menyisihkan sebagian lagi sebagai tabungan hari tua.
“Kalau merantau kan positif. Tiap hari kerja. Walaupun tetap ada pengeluaran kan pemasukan selalu ada walaupun sedikit. Sedangkan kalau di sana (kampung) pengeluaran banyak, pemasukan jarang.”
Setelah punya penghasilan lumayan, saya penasaran mengenai mengenai apakah Firman memiliki rencana sekolah lagi, barangkali dengan sekolah lebih tinggi akan memberikan jalan bisa naik setingkat lagi.
Akan tetapi Firman sepertinya tidak lagi menjadikan bangku sekolah sebagai prioritas yang harus diuber dalam waktu dekat. Yang dikejarnya sekarang adalah bagaimana dia bisa membantu kedua orangtua dari segi finansial.
Dengan demikian orangtua bisa hidup tenteram, fokus pada menggarap ladang sendiri seperti dulu. Firman ingin orangtuanya tidak perlu bersusah payah lagi mencari pekerjaan sebagai buruh pertanian di ladang orang lain demi mendapatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.