Pertikaian Palestina-Israel Menjalar ke Sekolah di Indonesia

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 22 Mei 2021 | 15:47 WIB
Pertikaian Palestina-Israel Menjalar ke Sekolah di Indonesia
Mendukung Palestina [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penerapan sanksi berupa pemberhentian seorang pelajar SMA dan pemidanaan seorang warga Nusa Tentara Barat (NTB) terkait dugaan hinaan terhadap Palestina dikhawatirkan bermunculan di daerah lain di Indonesia jika pihak berwenang tak mengambil langkah bijak.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan kedua kasus semestinya direspons secara edukatif, bukan hukuman ataupun penahanan yang mestinya tidak diperlukan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpendapat, mengingat salah satu terduga adalah siswi SMA yang telah keluar dari sekolah, perlu kehati-hatian dalam mengambil tindakan agar hak pendidikan warga negara tidak dilanggar.

Menanggapi hal tersebut, kepolisian menyatakan telah mengevaluasi kasus pidana ujaran kebencian terhadap Palestina.

Baca Juga: Tiga Warga Palestina yang Diamankan Imigrasi Sudah Dibebaskan

Sedangkan, Kemendikbud Ristek mengklaim telah mendorong diskusi positif dalam penyelesaian kasus pemberhentian pelajar SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah.

HM, warga Nusa Tenggara Barat, harus mendekam di penjara beberapa hari setelah ia mengunggah postingan yang dilaporkan polisi mengandung unsur ujaran kebencian terhadap Palestina.

Sebelumnya, HM ditangkap polisi setelah dirinya dilaporkan atas kasus ujaran kebencian terhadap Palestina via akun TikTok dan Facebook pada 15 Mei lalu.

Melalui delik aduan Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45a ayat (2) UU ITE, HM terancam hukuman paling lama 6 tahun penjara.

Hal serupa juga menimpa MS (19 tahun). Pelajar SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu ini dikeluarkan dari sekolah karena dugaan penghinaan terhadap negara Palestina.

Baca Juga: Peran Indonesia di Sidang PBB dalam Menyuarakan Kemerdekaan Palestina

"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan kepada wartawan.

Menurut kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), HM dan MS bukan orang-orang yang punya pemahaman yang baik mengenai okupasi Israel atas Palestina.

Keduanya juga mengunggah postingan atas dasar reaksi ketidaktahuan dan ketidakbijakan menggunakan media sosial.

"Sehingga dalam analisis kami, yang seharusnya diberikan adalah edukasi bukan hukuman yang justru memberikan dampak yang lebih buruk kepada mereka," kata Peneliti ICJR, Sustira Dirga kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/05).

Dirga menambahkan, hukum pidana semestinya dijadikan langkah terakhir dalam penyelesaikan kasus ini. Di sisi lain, HM dan MS telah menyampaikan permohonan maaf yang disebut Dirga sebagai "cukup untuk memberikan edukasi" dan tidak perlu "eksesif menjadi kasus pidana".

ICJR juga mendorong kepolisian mengevaluasi penggunaan hukum pidana terhadap kasus ini. Terlebih, menurut ICJR, kasus-kasus serupa "tidak memerlukan intervensi hukum pidana sama sekali".

Menjadi perbincangan hangat di media sosial

Dukungan terhadap Palestina cukup masif di Indonesia. Unggahan berupa dugaan hinaan terhadap Palestina yang dilakukan HM dan MS pun dibanjiri komentar dari netizen.

Salah satu komentar terkait dengan sanksi terhadap MS pun disampaikan akun @WidyoLita, yang menyebutkan kasus ini perlu didudukan secara jernih.

https://twitter.com/WidyoLita/status/1395189794796236804

Menjalar ke sekolah

Anggota KPAI, Retno Listyarti angkat bicara dalam kasus MS, pelajar SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah. Menurutnya, langkah yang diambil sekolah telah melanggar hak pendidikan MS.

Lebih dari itu, jika kasus ini dibiarkan maka akan menjadi preseden buruk bagi sekolah-sekolah lainnya.

"Nanti anak-anak remaja lain, mungkin usianya masih anak-anak, melakukan perbuatan ini kemudian seperti ada pembenaran untuk dikeluarkan dari sekolah," kata Retno kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/05).

Selanjutnya, stigma yang buruk terhadap terduga juga membuatnya tak bisa diterima di sekolah mana pun.

"Nah, ini yang berarti [pelanggaran] hak atas pendidikannya, atau dengan kata lain, dia putus sekolah," kata Retno kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/05).

KPAI saat ini mendorong dinas pendidikan daerah, sekolah dan Komnas Perempuan untuk menggelar pertemuan merespon hal ini.

"Jadi ini memang penting untuk ditangani atau untuk jadi perhatian bagi semua pihak," tambah Retno.

Sejauh ini, pihak sekolah membantah telah mengeluarkan MS dari sekolah. Menurut Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bengkulu Tengah, Eka Saputra mengklaim orang tua MS yang menyatakan ingin memindahkan sekolah anaknya.

"Orang tuanya yang menyatakan mau pindah, ada kok surat pernyataannya," kata Eka kepada media, Kamis (20/05).

Eka menambahkan, dalam kasus dugaan hinaan kepada negara Palestina, pihaknya hanya "menitipkan MS kepada orang tuanya".

Sementara itu, Juru bicara Kemendikbud Ristek, Hendarman dalam keterangan tertulis mengatakan "pemerintah terus mendorong diskusi positif dengan pemerintah daerah dan dinas terkait agar setiap permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku".

Penangguhan sementara

Sementara itu, dalam kasus dugaan hinaan negara Palestina yang dilakukan HM, sejauh ini kepolisian NTB telah mengevaluasi kasus yang dilakukan oleh petugas kebersihan itu.

Kepolisian menyimpulkan tindakan HM telah memenuhi syarat untuk dilakukan restorative justice atau melalui pendekatan hukum yang berkeadilan.

"Kita lakukan penangguhan penahanan," kata Kabid Humas Polda NTB, Artanto Kamis (20/05).

"Karena pertama dia tidak ada niatan untuk menghina, karena dia tidak mengerti apa itu Palestina, apa itu Israel. Nggak ngerti dia," kata Artanto.

Namun, Artanto tak menjelaskan lebih rinci mengenai catatan kriminal HM apakah akan dihapuskan setelah melalui rapat restoratif justice.

"Kalau namanya catatan kriminal itu kalau yang bersangkutan sudah inkrah dalam putusan pengadilan. Namun, yang bersangkutan dalam proses penyelidikan, dengan restoratif justice itu nanti akan ada perdamaian atau kasus di luar pengadilan," katanya seperti dilaporkan wartawan Abdul Latief Apriaman untuk BBC News Indonesia.

Artanto juga menuturkan tak ada jaminan dalam kasus serupa dapat dilakukan restoratif justice, sehingga bisa saja proses hukumnya tetap berlanjut ke pengadilan.

"Kasus ini kita harus lihat konstruksi hukumnya seperti apa, apakah itu kasus ini bisa dilakukan upaya tersebut atau tidak. Nanti penyidik yang punya pertimbangan terhadap kasus tersebut," katanya.

Langkah pencegahan yang sejauh ini dilakukan kepolisian, termasuk ekspos media terhadap kasus HM sebagai "salah satu bentuk pelajaran untuk masyarakat".

REKOMENDASI

TERKINI