“Bahkan, ada yang habis menguburkan jenazah, [kemudian] meninggal,” paparnya. “Cerita ini selalu diceritakan dari generasi ke generasi.”

Faktor Pendukung
Pencapaian nol kasus Covid-19 sepintas mustahil terwujud, lebih-lebih jika melihat bagaimana realitas di Indonesia saat ini, di mana mitigasi selalu terlambat, pencatatan data yang amburadul, hingga inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Semua berkelindan, membentuk satu masalah besar yang menempatkan Indonesia pada posisi—serta situasi—serba rentan: mulai dari ancaman kolapsnya sistem kesehatan hingga gelombang kedua yang mengerikan, seperti halnya yang melanda India.
“Kita sekarang berada di level parah, yakni community transmission. Penyebaran virus ada di tingkat komunitas, sulit dilacak, dan itu bukan kasus impor. Dengan situasi seperti itu, sulit rasanya bilang bahwa satu daerah, apalagi dengan kemampuan tes yang sedikit, disebut atau masuk dalam zonasi hijau. Indikatornya belum banyak terpenuhi, mulai dari tes, pelacakan, semuanya segitu-gitu aja,” tutur Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI, think tank kesehatan yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah.
Meski begitu, Olivia bilang, kemungkinan untuk mencapai nol kasus di suatu daerah, seperti Kanekes, masih terbuka lebar, asalkan “sejak awal tidak pernah terpapar pandemi.”
“Itu masih memungkinkan. Sudah ada studi yang menyebut bahwa infeksi rendah ada di masyarakat rural. Ini berhubungan dengan exposure hingga kepadatan penduduk,” imbuhnya.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, bilang terdapat faktor lain yang cukup krusial yang membuat Baduy bisa berhasil membendung Covid-19 masuk ke desa mereka.
“Mereka diuntungkan karena mereka tinggal di lokasi di mana aktivitas outdoor jauh lebih sering dilakukan. Satu fakta yang mendukung berisiko [terpapar virus] rendah. Aktivitas outdoor ini ditambah, namanya masyarakat adat, dari sisi jumlah penduduk tentu jauh lebih sedikit yang mobile,” ujar Dicky kepada saya.
Baca Juga: Asal Usul Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Sejak Kesultanan Banten
“Sementara dari sisi kualitas ventilasi udara di kampung atau pedesaan jauh lebih bagus. Ini tentu sangat berdampak mengingat Covid-19 itu airbone disease, penyakit yang ditularkan lewat udara,” Dicky menambahkan.
Selain itu, mobilitas masyarakat Baduy tak kelewat tinggi, tak seperti orang-orang yang tinggal di kawasan dengan setting perkotaan. Ditambah, yang kerap mereka jumpai pun juga orang-orang dengan mobilitas rendah.
“Sejauh-jauhnya mereka beraktivitas, ya, jalan kaki, apalagi Suku Baduy. Artinya, secara aktivitas atau mobilitas, mereka nggak seperti orang kota, yang bisa pergi ke Yogyakarta, Jakarta, atau Singapura,” terang Dicky.
“Beda lagi dengan orang di kota. Di bandara itu, misalnya, ada orang dengan mobilitas tinggi dari mana-mana. Potensi memaparkannya [virus] besar.”
Pencapaian di kawasan Baduy tentu memantik pertanyaan: dapatkan kondisi serupa, nol kasus, muncul di kawasan perkotaan? Hampir semua narasumber yang saya hubungi, yang selama ini fokus pada isu penanganan pandemi, memiliki argumen yang senada: nyaris tidak bisa.
“Dengan kepadatan di Jakarta, lockdown lokal sangat sulit. Jalan kaki sedikit, misalnya, sudah nyeberang ke RW sebelah. Sulit dilakukan, kecuali kalau memang lockdown semua sekaligus,” ungkap Olivia.