Suara.com - Keluarga seorang pengusaha Pakistan, yang merupakan tahanan tertua di penjara Teluk Guantanamo, bersemangat menunggu kepulangannya setelah pemerintah Amerika Serikat menyetujui pembebasannya awal pekan ini.
Keluarga yang tinggal di daerah kelas atas di selatan kota pelabuhan Karachi menyambut gembira usulan pembebasan Saifullah Paracha, 73, yang ditangkap oleh personel intelijen AS dari Thailand pada 2003 karena diduga terafiliasi dengan Al-Qaeda.
Rencana pembebasan ini terjadi setahun setelah putra satu-satunya Saifullah Paracha, Uzair Paracha, dibebaskan dan dipulangkan ke Pakistan oleh otoritas AS setelah lebih dari 16 tahun dipenjara.
Pengusaha yang berbasis di Karachi itu terlibat dalam berbagai sektor bisnis, termasuk konstruksi. Dia juga memiliki bisnis dan properti di New York.
Baca Juga: Diduga Danai Kelompok Teroris, Jerman Gerebek Sebuah Organisasi Muslim
Sebelum ditangkap, mitra bisnis Amerika-Yahudi-nya dipaksa oleh CIA untuk mengundang Saifullah Paracha ke Thailand.
Pada Senin, sebuah dewan peninjau yang didirikan di bawah pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, menyatakan Saifullah Paracha "bukan ancaman berkelanjutan" bagi AS. Artinya, kecil kemungkinan dia akan kembali tergabung dalam kegiatan teroris setelah bebas.
Saifullah dituduh memfasilitasi setidaknya dua anggota Al-Qaeda yang terlibat dalam serangan teroris 9/11 di New York dan Washington secara finansial.
Saifullah, yang menderita sejumlah penyakit termasuk diabetes dan penyakit jantung, membantah keterlibatannya dalam terorisme. Dia menegaskan bahwa tidak tahu pria yang dihadapinya adalah anggota Al-Qaeda.
Beberapa bulan sebelum ditangkap, putranya, Uzair, yang berusia 37 tahun, juga telah ditangkap dengan tuduhan membantu tersangka militan untuk masuk ke AS melalui pemalsuan dokumen.
Baca Juga: Mengukur Kekuatan Al-Qaeda, Satu Dekade Setelah Tewasnya Osama bin Laden
Uzair, lulusan Institut Administrasi Bisnis Pakistan, dipulangkan ke Pakistan tahun lalu setelah pemerintah AS memutuskan untuk tidak mengupayakan pengadilan baru.
Menurut pengacara keluarga Paracha, Nisar A. Mujahid, Uzair mengunjungi New York untuk memasarkan proyek konstruksi ayahnya di Karachi ketika dia ditahan oleh FBI pada 2003.
Mujahid menuding Charles Antiby, mitra bisnis Saifullah, menyesatkan badan-badan AS tentang ayah dan anak itu.
"Uzair ditangkap di hadapan Antiby, yang kemudian membujuk Saifullah agar menemuinya di Bangkok untuk mencari cara agar putranya dibebaskan," tutur Mujahid kepada Anadolu Agency.
Keluarga Paracha
Putri Saifullah Paracha, Muneeza Paracha, menolak berkomentar soal pembebasan ayahnya.
"Saat ini kami tidak ingin membuat komentar publik tentang hal itu. Begitu kami siap, kami akan memberi tahu Anda," kata dia kepada Anadolu Agency.
Namun, menurut seorang anggota keluarga lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya, keluarga besar Paracha yang selama ini cemas menanti kepulangannya kini sangat bahagia.
"Kami selalu menantikan hari pembebasannya. Sudah lebih dari 17 tahun kami tidak melihatnya," ungkap dia.
"Uzair sudah ada di sini, dan kami berharap kepulangan Saifullah akan mengakhiri cobaan panjang keluarga kami," kata dia lagi.
Amna Masood Janjua, kepala Dewan Pertahanan Hak Asasi Manusia (DHRC), sebuah kelompok hak asasi yang berjuang untuk pembebasan orang hilang di Pakistan, mengatakan seluruh keluarga Paracha telah "sangat menderita" selama 17 tahun terakhir.
"Mereka menderita secara mental, finansial, dan emosional selama periode ini. Bisnis mereka hancur, keluarga mereka hancur. Pada akhirnya, semua tuduhan tidak ada yang terbukti," terang Janjua.
Istri dan anak perempuan Saifullah Paracha sempat berpartisipasi dalam kegiatan DHRC tetapi hanya bertahan sebentar karena mereka tidak ingin kehidupan mereka disorot media.
Dalam beberapa tahun terakhir, istri Saifullah juga dilaporkan menderita berbagai penyakit, termasuk diabetes.
"Mereka telah melewati masa-masa sulit selama lebih dari 17 tahun, tapi akhirnya ada titik terang," tambah Janjua.
Sistem Peradilan AS Dipertanyakan
Mujahid dan Janjua menyambut baik rencana Presiden AS Joe Biden untuk menutup penjara Teluk Guantanamo.
Mereka juga menyerukan peninjauan serius terhadap sistem peradilan negara yang memakan waktu lebih dari 17 tahun untuk membuktikan seorang terdakwa tidak bersalah.
"Kasus Paracha telah menimbulkan pertanyaan serius soal sistem peradilan AS. Pembebasan dan pengakuannya bahwa dia bukan ancaman bagi AS tidak bisa menghapuskan tekanan mental dan trauma yang dihadapi keluarga mereka," jelas Janjua.
"Karena, dia sudah terbukti tidak bersalah, AS harus secara terbuka meminta maaf kepada keluarga Paracha dan memberikan kompensasi kepada mereka atas kerugian finansial mereka," tegas dia.
Sementara itu, Mujahid mengatakan keluarga Paracha memiliki hak hukum untuk menuntut kompensasi pada pemerintah Pakistan dan AS.
"Sepulangnya dia ke rumah, keputusan ini sepenuhnya ada pada keluarga mereka," ujar dia.
"Ini perkembangan baik yang tak saya duga-duga. Terus terang, saya sudah pupus harapan setelah melalui pertarungan hukum selama 17 tahun," tutur pengacara itu. (Sumber: Anadolu)