Suara.com - Ahli Bahasa dari Universitas Indonesia Frans Asisi membeberkan pengertian perbedaan berbohong dengan kata keliru dalam sidang lanjutan Habib Rizieq Shihab dkk kasus swab test RS UMMI di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (19/5/2021).
Frans sendiri dalam sidang dihadirkan sebagai saksi ahli. Awalnya, salah satu kuasa hukum Rizieq bertanya dengan memberikan contoh kasus adanya seseorang yang mengaku dalam sehat namun setelah diperiksa kesehatannya oleh Dokter dinyatakan sedang sakit.
Kuasa hukum bertanya apakah dalam contoh kasus tersebut seseorang yang mengaku sedang sehat itu dapat dikategorikan sedang berbohong atau tidak.
Mendengar hal itu, Frans kemudian memberikan tanggapannya. Menurut Frans apabila seseorang yang menyampaikan kondisinya dalam keadaan sehat atau tidak benar lalu dengan niat, maka hal itu bisa dianggap berbohong.
Baca Juga: Habib Rizieq Dituntut 10 Bulan Penjara di Kasus Kerumunan Megamendung
Sementara ia mengatakan, jika seseorang mengatakan sedang sehat namun dalam kondisi tidak tahu keadaan sebenarnya atau faktanya, maka hal itu masuk kategori keliru.
"Jika dalam suatu hal seseorang itu menyampaikan sesuatu yang tidak benar tanpa ada niat karena dalam situasi tidak tahu maka tidak bisa disebut berbohong. Dia masuk kategori keliru," kata Frans dalam sidang.
Lebih lanjut, Frans mengatakan, kekeliruan biasa terjadi dalam hidup seseorang. Menurutnya hal itu manusiawi.
"Keliru selalu terjadi dalam hidup kita misalnya kalau kita keliru menyebut nama orang dan lain-lain. Jadi sangat manusiawi," tuturnya.
Untuk diketahui dalam kasus swab test RS UMMI, Habib Rizieq Shihab didakwa dianggap telah menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menyebabkan keonaran soal kondisi kesehatannya yang terpapar Covid-19 saat berada di RS UMMI Bogor.
Baca Juga: Jalani Sidang, Rizieq Hadirkan Saksi Ahli; Epidemiolog hingga Ahli Bahasa
Habib Rizieq dalam perkara tersebut didakwa dengan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.