Surya Anta: Indonesia Harus Tetapkan Status Perang Agar Warga di Papua Aman

Selasa, 18 Mei 2021 | 13:42 WIB
Surya Anta: Indonesia Harus Tetapkan Status Perang Agar Warga di Papua Aman
Ilustrasi--Pasukan gabungan TNI dan polisi tiba di Ilaga, Kabupaten Puncak, Sabtu pagi (1/5/2021). [Antara/HO-Humas Satgas Nemangkawi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saling serang antara Tentara Pembebasan Negara Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan TNI-Polri semakin sering terjadi beberapa pekan belakangan ini, hingga menyasar warga sipil di Papua.

Aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta Ginting menyebut naiknya tensi konflik bersenjata di Papua diawali oleh pemerintah Indonesia yang melabeli TPNPB sebagai teroris.

"Penambahan jumlah personil militer serta polisi beserta operasinya akan memakan korban warga sipil yang bertambah banyak. Contoh yang paling mudah diingat adalah operasi Nduga pasca serangan oleh pasukan Egianu Kogoya," kata Surya Anta saat dihubungi Suara.com, Selasa (18/5/2021).

"Jadi, lingkaran kekerasan tidak sedang dihentikan oleh pemerintah. Malah spiral kekerasannya dibuat tambah rumit," sambungnya.

Baca Juga: Keras, Pendiri OPM Sebut Veronica Koman Provokator dan Pengecut

Eks tahanan politik Papua di Jakarta itu menilai kedua belah pihak seharusnya mendeklarasikan status konflik bersenjata di Papua.

"Sudah saatnya kita menyebut bahwa status Papua sedang berada dalam konflik bersenjata. Penyebutan ini penting agar kedua belah pihak baik TNI/Polri dan TPNPB yang tengah berperang tidak menyasar warga sipil, serta ada pemantauan oleh dunia Internasional atas situasi yang tengah terjadi di Papua," ucapnya.

Sehingga jika terjadi korban salah sasaran terhadap warga sipil di Papua, mereka bisa terlindungi secara hukum.

"Setiap yang melakukan pelanggaran atas prinsip hukum humaniter ini akan dapat dibawa ke meja hijau sebagai penjahat perang," jelasnya.

Selain itu, status ini akan membua pemantauan independen dari dunia Internasional atau Persatuan Bangsa-Bangsa, serta membuka jalur jurnalis masuk ke Papua untuk menginformasikan situasi perang.

Baca Juga: Veronica Koman Sindir Media yang Kutip Pendiri OPM: Wawancara dalam Kubur

"Kalau sekarang kan gak ada 'wasitnya'. Sementara di sisi lain, media yang seharusnya bisa jadi pemantau gak bisa masuk. Jadi tidak ada keberimbangan. Alutsista, asukan, logistik, komunikasi semuanya menguntungkan TNI/Polri," tutur Surya.

"Kalau dibiarkan tanpa pengawasan, akan makin banyak warga sipil jadi korban. Makin minoritas orang asli Papua di tanah airnya sendiri," tutupnya.

Sebelumnya, Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengklaim TNI-Polri telah membombardir rumah-rumah warga sipil di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, tanggal 15 - 16 Mei 2021.

"Ada tiga helikopter milik TNI AU yang membombardir honai-honai (rumah) warga sipil. Satu gereja di Dolinggame diledakkan oleh pasukan Indonesia. Kami ada foto-foto buktinya," kata Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom dalam keterangan tertulis, Senin (17/5/2021).

Menurut Sebby, ada sebanyak 40 kali bom roket yang dilancarkan TNI dalam serangan udara tersebut, tak ada korban jiwa dari warga sipil Papua dalam operasi militer Indonesia tersebut.

Dua hari sebelumnya, Kamis (13/5) pagi, satu prajurit TPNPB, Edis Waker dinyatakan gugur dalam kontak senjata dengan TNI-Polri di sekitar Jalan Raja Kagago-Muara, Kampung Wuloni, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.

Siangnya, TPNPB menyerang balik ke TNI/Polri hingga satu anggota TNI dilaporkan tewas di tempat yang sama di Uloni Jalan Muarah, Kecamatan Kagago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI