Suara.com - Bagaimana rasanya menjadi kontraktor yang salah satu misinya menangani kelompok masyarakat yang selalu mendatangi proyek untuk memalak?
LUTHER sedang melayani pelanggan yang datang ke kontainer coffee shop miliknya, suatu malam.
Sesudah menanyakan selera kopi customer yang datang (robusta atau arabika), Luther memilih jenis kopinya. Sehabis itu menanyakan lagi proses penyeduhannya apakah vietnam drip, V60 atau tubruk. Selesai beberapa tahap pemrosesan, dia menuangkan air sesuai kapasitas, kemudian menyajikan kopi pesanan customer.
Luther -- bukan nama sebenarnya untuk melindungi privacy -- baru sekitar setahun terakhir ini menjalankan bisnis food beverages di perbatasan Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sebelum itu, dari tahun 2009 sampai 2020, dia bekerja pada perusahaan kontraktor bidang jaringan kabel telekomunikasi.
Baca Juga: Kisah Penjaga Makam: Menjawab Apa Saja yang Terjadi di Kuburan
Pemasangan jaringan kabel telekomunikasi, menurut pendapat banyak pihak, sering jadi sasaran empuk premanisme sejumlah kalangan yang mengatasnamakan perwakilan organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat, bahkan oknum perangkat pemerintahan desa/kelurahan.
Tanggungjawab Luther ketika masih bekerja di perusahaan kontraktor telekomunikasi, mulai dari membuat gambar alur kabel atau perencanaan kerja sebelum proyek dikerjakan tim lapangan, mengurus perizinan: terutama menangani para pemalak proyek.
Untuk mengetahui pengalaman dari perspektif kontraktor dalam menangani para pemalak proyek menjadi alasan utama saya menemui Luther pada suatu malam pekan terakhir bulan Ramadhan tahun 2021. Pengalaman Luther tentu tidak mewakili seluruh pengalaman orang-orang maupun perusahaan yang bergerak di bidang yang sama.
Kebetulan malam itu situasi kontainer coffee shop sedang sepi pengunjung dan tentu saja menjadi keberuntungan tersendiri bagi saya: Luther bisa lebih leluasa menceritakan lika-liku pengalamannya.
Di memulai cerita dari tahapan-tahapan perusahaan tempatnya bekerja mendapatkan proyek dari perusahaan provider. Dimulai dari mengikuti lelang yang diadakan provider atau penunjukan langsung, menerjunkan tim untuk survei lokasi sesuai koordinat yang ditentukan provider, pembuatan rancangan anggaran, perencanaan kerja, pembebasan lahan atau pengurusan perizinan, penentuan material yang dibutuhkan sampai ke aktivasi jaringan.
Baca Juga: Kisah di Balik Sukaria Badut Jalanan
Perizinan
Pada proses ini biasanya banyak muncul persoalan. Pengerjaan jaringan kabel di lapangan selalu bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat, terutama yang dilewati jalur proyek.
Itu sebabnya, perizinan penggalian dan pemasangan jaringan kabel secara detail menjadi sangat penting agar proyek dapat berjalan terus.
Sebagai contoh, ketika kontraktor membangun jaringan back bone yang melewati jalan raya berstatus milik pemerintah, selain karena menggunakan aset negara, pengerjaan jaringan kabel juga menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan, apalagi kalau cuaca sedang hujan.
“Jalan itu kan macam-macam pemiliknya, ada pemda, provinsi, nasional. Kita mengurusnya sesuai yang kita lewati. Pada saat jalan yang kita lewati masuk jalan nasional ya kita harus izin ke nasional (pemerintah pusat), kalau jalan kabupaten ya ke pemerintah kabupaten, intinya izinnya sesuai pemilik kewenangan. Jadi banyak sekali izin,” kata Luther.
Di atas kertas, dengan kontraktor memegang surat izin yang diterbitkan oleh pemerintah sebenarnya sudah sangat kuat, artinya sudah cukup untuk menjadi dasar pelaksanaan proyek di lapangan.
Dengan adanya sistem satu pintu untuk tugas memberikan pelayanan perizinan, praktis pengurus pemerintah tingkat terbawah (RT, RW, kelurahan) tidak memiliki kewenangan lagi dalam hal penerbitan izin.
“Karena ibaratnya kayak jalan ini (jalan di depan tempat usaha Luther) pemiliknya kan pemda, bukan RT, RW. Walaupun kita kerja di lingkungan mereka, tetep izinnya harus dari pemda.”
Tapi kenyataannya di lapangan berbicara lain.
Ada biaya koordinasi
Walaupun kontraktor telekomunikasi sudah memegang surat izin yang dikeluarkan pemerintah, pada kenyataannya masih harus mengajukan izin lagi kepada perangkat RT atau RW yang dilewati proyek, bahasa lainnya: pemberitahuan. Dari sini kemudian muncul istilah koordinasi.
“Tetep kalau di lapangan, orang di lapangan kan beda lagi gitu kan. Harus ada koordinasi dari yang terbawah, RT, RW, kelurahan sampai kecamatan. Orang-orang yang di lingkungan setempat.”
Terminologi “koordinasi” dengan perangkat pemerintahan terkecil membangkitkan rasa penasaran. Apakah benar sebatas pemberitahuan atau sebenarnya itu modus operandi untuk pungutan liar.
Saya tanyakan kepada Luther dan dia menjelaskan, tak sepenuhnya benar kalau koordinasi dengan RT/RW dianggap cuma pemberitahuan, sebab realitas yang dialaminya, “Bisa berupa uang, bisa berupa macam-macam.” (Tidak bermaksud menggeneralisir semua RT/RW minta jatah).
Nilai dan bentuk koordinasi berbeda-beda setiap wilayah yang dilewati proyek, semuanya tergantung kehendak oknum.
Misalnya RT sedang membangun pos ronda, mau tak mau kontraktor harus mengeluarkan anggaran untuk membelikan semen atau material jenis lainnya. Kalau misalnya momentumnya sedang perayaan 17 Agustus, maka mereka harus menyumbang untuk membantu penyelenggaraan acara.
Apalagi untuk wilayah-wilayah yang masuk kategori elite, biasanya biaya koordinasi bisa sangat mahal.
Akan tetapi selama permintaan biaya koordinasi masih dalam batas sewajarnya dan bisa dinegosiasikan, perusahaan akan memenuhinya, apalagi perusahaan punya kepentingan untuk mengamankan pengerjaan proyek dari berbagai macam gangguan sehingga target penyelesaian tercapai.
“Koordinasi untuk menjaga kelancaran proyek, karena banyak warga mereka, takutnya ada komplain atau ada apa-apa pada saat kerja. Nah di situlah mereka yang akan menaungi lingkungannya.”
Dipalak ormas dan LSM
Jangan pernah mengira setelah mengeluarkan biaya koordinasi untuk oknum perangkat RT, RW, kelurahan/desa, atau kecamatan, proyek pengerjaan jaringan lantas aman karena bakal mendapatkan perlindungan dari perangkat pemerintahan tingkat bawah itu.
Dari pengalaman Luther, kontraktor masih harus menghadapi kelompok-kelompok masyarakat, seperti ormas atau LSM (tentu tidak semuanya), terkadang para jago wilayah yang dilewati proyek.
“Risikonya community case, menghadapi ormas, LSM, perizinan: permit-permit sama warga,” kata Luther.
Jatah proyek yang diminta orang-orang yang mengatasnamakan LSM dan ormas terkadang bisa lebih parah lagi dari yang sebelumnya diminta perangkat pemerintahan terkecil.
Maksudnya lebih parah, seringkali mereka lebih berani memaksa dan jumlah uang yang diminta lebih besar.
Belum lagi jumlah pengompas, terutama yang mengatasnamakan perwakilan ormas, biasanya tidak hanya satu orang atau dua orang yang datang, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Misalnya salah satu kelurahan yang dilewati proyek terdapat beberapa pos yang didirikan ormas tertentu, tiap-tiap ketua gardu akan menodong kontraktor lewat pekerja setiap mereka butuh uang dan begitu seterusnya.
“Jadi ormas ini bisa melebihi RT/RW, dia merasa punya kekuasaan wilayah sendiri gitu. Batas kekuasaannya ya hanya mereka yang tahu.”
“Mereka selalu punya alasan untuk minta, ya keamanan dan macam-macam, intinya jatah premanlah. Yang jelas-jelas memang bener-bener pungli ya di situ.”
Bagi pelaksana proyek di lapangan, kehadiran ormas atau LSM sangat menyusahkan, terkadang mereka terpaksa berhenti bekerja karena diganggu terus-menerus dengan berbagai macam cara.
“Apalagi di wilayah orang lain gitu kan. Pekerja takut. Pasti nggak mau kerja kalau seandainya belum selesai urusan dengan ormas atau LSM itu, jadi ya menghambat nanti. Jadi berhenti kerja sebelum biaya koordinasi diselesaikan, gitu.”
Cara memalak
Dari pengalaman Luther selama ini, banyak sekali cara yang dipakai ketua ormas atau LSM untuk mengompas kontraktor telekomunikasi. Tetapi yang paling banyak dilakukan dengan mengajukan proposal kegiatan, sebagian lagi tanpa basa-basi, ketemu langsung di lapangan dan mengajukan permintaan.
Jumlah uang yang diminta paling kecil Rp500 ribu dan yang paling besar sekitar Rp15 juta. Tapi itu baru permintaan dari satu pos ormas, karena pos-pos ormas yang lain juga akan menodong.
“Biasanya satu gardu itu Rp500 ribu sampai Rp1 juta (paling kecil). Dan itu harus dibayar di tempat. Mereka kalau minta nggak pernah melihat apakah kalau kantor kita lagi libur atau nggak, mereka nggak peduli, pokoknya harus ada.”
“Kalau nggak membayar, nggak boleh kerja dulu.”
Di Jakarta, ada beberapa wilayah yang disebut Luther sangat terkenal dengan banyaknya ormas, LSM, dan jago yang gemar menotok kontraktor.
“Walau proyeknya kecil, itu ormas bisa nyampe puluhan, belum lagi preman yang tidak mengatasnamakan ormas. Itu macem-macem.”
Jika keinginan mereka tak dituruti, mereka tak segan-segan meneror pekerja proyek yang pesannya supaya perusahaan segera memberikan jatah jika ingin pekerjaan di wilayah mereka berlanjut.
Cara mereka meneror bermacam-macam, misalnya sering mendatangi pekerja proyek yang sedang bekerja, terkadang menyita peralatan kerja mereka sampai pimpinan proyek mau memenuhi permintaan.
“Saya selalu on call, pada saat ada masalah di lapangan, kalau anak-anak tidak bisa menyelesaikan, baru saya yang nego. Kalau masih bisa diselesaikan sama mereka (pekerja di lapangan) ya kita hanya via telepon aja.”
Apa yang dilakukan kontraktor?
Selama persoalan yang terjadi di lapangan masih bisa ditolerir dan bisa ditangani sendiri, kata Luther, “Ya saya sendiri untuk hadapi itu sampai selesai. Karena perizinan itu dari atas sampai ke bawah, termasuk premanisme. Premanisme kita semua yang handle.”
Akan tetapi kalau masalahnya sudah kompleks, misalnya teror ormas atau LSM dalam meminta jatah sudah benar-benar membahayakan, biasanya Luther meminta bantuan aparat yang membekingi perusahaannya untuk membuat para pemalak mengerti.
“Ya pada saat kita ada beking baru mereka kalah,” kata Luther.
Luther menceritakan salah satu kejadian yang berlangsung di Kemayoran, Jakarta Pusat. Suatu hari, proyek yang sedang dikerjakan didatangi beberapa ormas untuk minta jatah, dan mereka meneror para pekerja dengan sedemikian rupa.
Berbagai pendekatan komunikasi sudah dilakukan, tetapi ketua ormas tetap ngotot. Situasi pun berubah menjadi menegangkan.
“Akhirnya kita kerahkan polisi untuk bantu jaga,” kata Luther.
Setelah polisi turun tangan, situasi dapat kembali kondusif.
Akan tetapi ketika itu perusahaan tetap mengeluarkan uang untuk diberikan kepada ormas, hanya saja nilainya jauh lebih kecil dari yang mereka tuntut sebelumnya.
Masalah sudah ditangani polisi, kenapa pula masih mau membayar ormas? Mereka tetap dikasih uang supaya tenang. Dalam banyak kasus, ormas akan datang lagi untuk mengganggu.
“Di lapangan itu banyak material, kita juga jaga keamanan yang kerja, jadi mau nggak mau kita daripada jadi masalah yang lebih besar, kita lebih baik mengalah, tetapi tidak terlalu besar nilainya.”
Kalau kehadiran beking aparat bisa menekan ormas atau LSM, mengapa setiap proyek tidak langsung dikawal mereka agar pelaksanaannya lancar dan perusahaan tak perlu membayar tetek bengek kepada ormas dan LSM.
“Si beking itu kadang tidak selalu standby. Biasanya beking itu on call, pada saat kita butuhkan baru dia datang. Pada saat ada masalah karena mereka bukan bagian dari karyawan, masuknya keamanan luar, kan. Dan biasanya hanya untuk masalah yang benar-benar rumit. Tapi kalau masih bisa kita selesaikan ya kita selesaikan.”
“Itu aja cara menghadangnya biar nggak terlalu besar yang diminta. Kita sih tetap ngasih, tetapi tidak terlalu banyak.”
Bagaimana cara berkomunikasi dengan ormas dan LSM?
Luther sudah paham tabiat orang-orang yang mengatasnamakan ormas atau LSM untuk menotok kontraktor. Sebagian dari mereka sebenarnya hanya pintar menggertak yang tujuan utamanya supaya keluar uang.
Mereka percaya diri mendatangi proyek karena merasa menjadi penguasa wilayah, walaupun sesungguhnya bukan siapa-siapa.
Dalam banyak kasus, asalkan pendekatan komunikasi yang dipakai tepat, pada umumnya, mereka bisa dikendalikan. Dengan kata lain, kontraktor tetap akan memberi jatah, tetapi nilainya tak perlu sebesar yang mereka mau.
“Sebenarnya mereka kayaknya sudah paham dengan melihat besarnya proyek, mereka bisa menilai. Kalau proyek besar mintanya besar, kalau proyek kecil dan dia mintanya besar ya bisa kita omongin, biasanya dia ngalah. Apalagi kalau proyek kecil, biasanya sekedar uang rokok pun bisa, nggak harus besar.”
Sebelum memberikan uang, biasanya Luther akan membuat perjanjian dengan mereka -- apakah janji bisa dipegang atau tidak nanti Luther akan cerita. Perjanjian yang dibuat, biasanya mereka diharuskan membantu menjaga keamanan area pembangunan jaringan sampai selesai.
Terkadang perusahaan tempat Luther bekerja tak perlu mengeluarkan uang untuk kelompok-kelompok semacam itu, meskipun mereka berkali-kali datang untuk mengompas. Biasanya terjadi pada proyek yang waktu pengerjaannya pendek: dua hari atau tiga hari.
Ketika didatangi ormas atau LSM untuk menagih jatah, Luther akan berdalih anggaran dari perusahaan belum ditransfer atau karena masih hari libur sehingga belum bisa memberi jatah. Tujuan Luther semata-mata untuk mengulur-ulur waktu sampai proyek selesai.
“Kita bisa kita akalin seperti itu, kita ulur-ulur waktu sampai proyek selesai. Kita tidak perlu bayar mereka.”
“Ya mereka tentu marah-marah segala macam. Tapi kan kita sudah meninggalkan lokasi. Sebenarnya kan memang bukan kewajiban kita juga bayar mereka.”
Jaga jarak dengan ormas dan LSM
Tidak semua ormas dan LSM bermental penodong. Banyak pula yang disebut Luther bersikap “baik.”
Akan tetapi dari pengalaman Luther berinteraksi dengan mereka selama bertahun-tahun, dia menarik kesimpulan jangan terlalu dekat, “Lebih jaga jarak, kita ya sebatas kenal aja, nggak usah terlalu akrab.”
Mengapa begitu? Menurut Luther, sebagian dari mereka suka jika sudah punya koneksi dengan kontraktor, seterusnya akan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi.
“Apalagi kalau ada momen Idul Fitri gini.”
Jika mereka punya koneksi dengan orang proyek, mereka akan selalu mencari tahu dimana saja proyek yang sedang dikerjakan. Jika satu perwakilan ormas atau LSM diberitahu lokasinya, biasanya mereka akan menginformasikan lagi ke rekan-rekannya dan selanjutnya mendatangi proyek.
Pelajaran lain lagi yang dipetik Luther dari tabiat sebagian ketua ormas dan LSM, janji-janji mereka tidak bisa dipegang.
Salah satu contoh, mereka datang dengan menawarkan diri dapat memberikan bantuan pengamanan proyek dan memastikan tidak akan ada kelompok lain lagi yang akan mengganggu. Tetapi setelah anggaran yang mereka minta dipenuhi, biasanya sudah lupa dengan janji-janji yang pernah diucapkan.
“Bohong biasanya. Pada saat ada yang datang lagi, mereka nggak tanggungjawab. Makanya, pada saat satu ormas kita kasih, pasti akan ada ormas-ormas lain yang akan datang ikut minta.”
“Dan si ormas baru ini tetap maksa. Ormas baru biasanya nggak mau minta jatah ke ormas yang satu lagi (yang sudah diberi anggaran).”
Luther akan sangat sulit untuk meminta pertanggungjawaban ormas atau LSM yang pernah menjanjikan pengamanan proyek, terkadang mereka kabur entah kemana.
“Sulit juga, mereka apa ya, premanisme. Karena ya percuma juga kita mau ngusut begimanapun, ya mereka preman, nggak bisa dipegang. Dan ibaratnya walaupun ke ketuanya pun nggak bisa tanggungjawab, pasti dia akan nyalahkan lagi (menyalahkan kontraktor), kenapa dikasih. Itulah repotnya kalau sama premanisme.”
Itu sebabnya, tidak banyak kontraktor di negeri ini yang bersedia memberdayakan anggota ormas atau LSM dalam proyek-proyek yang sedang mereka kerjakan.
“Itulah, memang malas sebenarnya. Maunya nggak perlu capek, tapi dapat uang, menurut saya kayak gitu.”
Menurut pengalaman Luther, jika anggota ormas atau LSM dibandingkan dengan pengurus RT atau RW dalam konteks memegang perjanjian, RT atau RW lebih bisa dipercaya.
“Dia (RT/RW) keluarkan surat atau stempel atas nama RT, RW, biasanya warga atau lingkungan sudah paham gitu.”
Beda lagi urusan dengan pemilik area private
Selain berurusan dengan ormas atau LSM, Luther juga masih harus berurusan dengan developer atau warga perorangan kalau pembangunan jalur kabel fiber optic melewati area private dan ini beda lagi masalahnya.
Urusan minta izin mereka untuk menempatkan jaringan kabel bawah tanah maupun pembangunan tower jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan ketika berurusan dengan perangkat pemerintah dan ormas.
“Mereka (developer dan warga perorangan) merasa jalan mereka dilewati proyek yang kita kerjakan, terkadang mintanya sama lebih gila lagi daripada ormas-ormas.”
Luther menyebut sejumlah developer perumahan menerapkan sistem kontrak dengan perusahaan yang jaringan kabel atau towernya berada di lahan mereka.
“Jadi pada saat kita ada proyek di sana, berapa lama barang-barang kita di area dia, ya dihitungnya pertahun nanti. Selagi jaringan kita ada di area dia ya kita harus bayar per tahunnya. Jadi itu harganya bisa 10 kali lipat dari punya pemerintah gitu (misalnya proyek melewati jalan raya).”
Menurut Luther, biaya untuk mendapatkan izin dari developer atau individual berbeda-beda dan biasanya sangat mahal karena tidak ada ketentuan resmi yang bisa dijadikan patokan. Berbeda kalau urusannya sama instansi pemerintah yang semua ketentuan sudah tercantum dalam peraturan.
“Kalau pemerintah, itu angkanya ngacunya ke perda, seandainya perdanya sebut Rp5.000 per meter ya kita bayar segitu. Tapi kalau untuk developer, ya tergantung peraturan mereka, bisa ratusan juta.”
“Tapi kalau soal itu ya kita kembalikan lagi ke perusahaan.”
Daya tawar yang dimiliki perusahaan rendah jika negosiasi dengan developer atau warga perorangan terdampak jalur kabel. Mereka biasanya akan memberikan pilihan, bersedia membayar sesuai permintaan mereka atau pindah ke wilayah lain.
“Itu biasanya orang akan bilang kalau nggak mau lewat sini ya udah cari jalur lain, kalau mau lewat sini ya mau bayar berapa, dan itu angkanya sama nggak jelas, sama kayak ormas.”
Bagaimana rasanya sering menghadapi pemalak?
Tadinya saya mengira setelah bertahun-tahun berinteraksi dengan pemalak, membuat Luther tak lagi menganggap mereka sebagai beban. Tetapi ternyata perkiraan saya salah, tetap saja mereka menjadi ganjalan.
“Pasti nggak tenang setiap ada masalah. Paling terganggu itu kalau malam ditelepon, karena jam berapapun mereka butuh pasti dia telepon.”
“Karena ormas-ormas itu kadang nggak tahu diri, orang istirahat jam berapa, kantor lagi libur atau apa, dia tetep pada saat di lapangan ada yang kerja, dia tetep minta jatah. Itu yang bikin mengganggu banget.”
Ormas atau LSM mendapatkan nomor telepon Luther biasanya dari pekerja yang berada di lapangan. Pekerja memberikan nomor Luther karena sudah tidak bisa menangani para penodong.
“Kalau mereka masih bisa handle, ditalangi dulu sama tim di lapangan, ya udah masalah selesai. Tapi seandainya orangnya masih keras, akhirnya mereka (tim lapangan) nyerah ya dikasihkan nomor saya, barulah saya yang ngadepin gitu.”
Sudah menjadi tanggungjawab Luther menangani pemalak-pemalak berjubah ormas dan LSM, bagaimanapun caranya. Bagi dia yang terpenting jangan sampai pekerja di lapangan terganggu sehingga menghambat progress proyek yang memiliki target ketat.
“Yang bikin stres, kadang-kadang kita pada saat ditarget kerjaan harus selesai, terbentur dengan ormas. Ormas main stop kerjaan untuk minta uang yang tinggi. Sedangkan kalau dari perusahaan itu dia nggak mungkin naikin budget, ibaratnya dari tender ini budget untuk ormas hanya Rp10 juta, pada saat di lapangan misalnya mesti keluar anggaran lebih, kantor sudah nggak mau tanggungjawab, harus segitu.”
Luther mengatakan mengurus perizinan membutuh waktu dan benar-benar menguras kesabaran.
“Bagian yang lama itu sebenarnya perizinan.”
Mendapatkan izin resmi dari pemerintah untuk satu proyek saja membutuhkan waktu sekitar dua bulan sampai tiga bulan, padahal pengerjaan proyek biasanya hanya sekitar satu bulan.
Belum lagi mengurus perizinan untuk private area (developer atau perorangan) bisa lebih rumit lagi.
“Kalau perorangan ini kan tergantung mood dia, terlalu kita kejar, dia bete dan malas nanggepin. Kita diemin khawatirnya tidak diproses. Jadi serba salah, sementara kita ini kan ada batas waktu proyek.”
Ditambah lagi urusan dengan ormas, LSM, maupun berbagai premanisme di lapangan.
Tahun 2020, di usia 36 tahun Luther memutuskan untuk pensiun dari dunia kontraktor telekomunikasi, walaupun harus merelakan kedudukan yang bagus serta fee yang menarik setiap bulannya. Dia benar-benar sudah muak menghadapi para pemeras.
“Intinya saya sudah lelah, sudah bosan dengan dunia kontraktor,” katanya seraya kembali meracik kopi, melayani customer.