“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka keburukan-keburukan mereka tersebut diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Furqan: 70). “Dan orang-orang yang bertobat dan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya” (QS Al-Furqan: 71).
Sebagaimana kita ketahui bersama, semua penduduk bumi sedang diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa pandemi covid-19. Namun apa pun kondisi muka bumi ini, bagi orang beriman tetap mempunyai potensi pahala. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Sangat menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya merupakan kebaikan.
Hal tersebut tidak dimiliki siapa pun kecuali hanya dimiliki oleh orang beriman. Apabila orang beriman mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. “Jika ia tertimpa musibah, dia bersabar. Dan itu juga menjadi kebaikan baginya” (HR Muslim: 7692).
Ramadhan ini, bukanlah Ramadhan kelabu. Hari raya ini bukan hari raya yang buruk. Wabah Covid-19 yang menyebabkan sebagian daerah tidak bisa menyelenggarakan jamaah tarawih dan tadarus di masjid, sama sekali tak mengurangi keagungan Ramadhan.
Semuanya tetaplah mutiara yang bernilai tinggi bagi orang beriman. Kecuali bagi orang yang tidak bisa menghormati Ramadhan dengan mengisi amal-amal yang baik, tentu Ramadhan dan hari raya ini tidak merupakan hari raya mereka. Bagi mereka, hari raya ini adalah hari raya kelabu, penuh kemurungan.
Selain puasa, pada bulan Ramadhan, terdapat pula momen yang agung, yaitu memberikan zakat fitrah. Bagi orang mampu, zakat dan sedekah akan meringankan beban sesama, dan menghasilkan pahala yang sangat besar. Begitu pula untuk orang yang tidak mampu secara ekonomi, menerima pemberian orang kaya merupakan jasa yang sangat besar.
Orang miskin berjasa menjadi pembersih hartanya orang kaya. Ini adalah soal hak dan kewajiban. Bukan soal mana yang tinggi dan mana yang lebih rendah. Orang kaya memiliki kewajiban mengeluarkan hartanya, sementara orang miskin mempunyai hak untuk menerima itu atas ketidakmampuannya.
Orang kaya tak seharusnya merasa berjasa atas ‘pengorbanan’ harta yang memang wajib ia keluarkan. Kata Imam al-Ghazali, termasuk kategori mengungkit pemberian adalah ketika orang kaya merasa menolong orang yang miskin. Perasaan ini tidak tepat dimiliki oleh siapa saja.
Justru orang kaya harus berterima kasih kepada orang miskin. Atas jasa merekalah harta orang kaya menjadi bersih, tidak kotor. Jadi, orang kaya tidak boleh merasa mempunyai jasa berderma di hadapan orang miskin. Demikian disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam al-Arbain fi Ushulid Din.
Baca Juga: Bagaimana Bila Tertinggal Rakaat Pertama Salat Idul Fitri?
Kita sedang saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Semua menjadi ladang ibadah. Yang kaya berzakat itu ibadah, orang miskin menerima zakat, dia ikut andil membersihkan hartanya yang kaya, ini juga ibadah. Sekali lagi, bagi orang beriman, apa pun posisi dan keadaannya, bernilai kebaikan.