Suara.com - Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengkritisi rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 15 persen pada 2022 mendatang. Kamrus menilai kenaikkan PPN sebesar 5 persen dari sebelumnya 10 persen itu membebani.
Selain itu, dikatakan Kamrussamad rencana tersebut menunjukkan kegagalan Kementerian Keuangan dalam pengelolaan APBN.
"Rencana menaikkan PPN 15 persen di tengah kelesuan daya beli masyarakat, menunjukkan kegagalan Kemenkeu dalam menjadikan APBN kebijakan fiskal sebagai instrumen dalam penciptaan sumber ekonomi baru," kata Kamrussamad, Rabu (12/5/2021).
"Ini sama dengan berburu di kebun binatang, binatang sedang sakit pula, karena musim paceklik," sambungnya.
Baca Juga: Menkeu Mau Kerek Tarif PPN, INDEF: Beban Ekonomi Masih Besar Imbas Pandemi
Ia mengatakan situasi pandemi membuat ekonomi tidak bisa didorong berjalan sebagaimana situasi normal. Apalagi saat ini kebutuhan anggaran untuk bantuan sosial membengkak, dampak dari pandemi yang tidak berujung.
Belum lagi alokasi anggaran kesehatan yang turut meningkat. Di mana upaya pencegahan maupun penanganan kesehatan terutama terkait Covid-19 membutuhkan alokasi anggaran.
"Sayangnya pemerintah tidak memiliki peta jalan yang sejalan dengan prioritas di tengah pandemi. Berbagai insentif digelontorkan lewat APBN. Lebih banyak didominasi untuk penyelamatan ekonomi," kata dia.
Beban Pandemi Masih Besar
Kementerian Keuangan sedang menyusun skema kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 15 persen dari saat ini 10 persen pada tahun 2022 mendatang, kebijakan ini dalam rangka upaya reformasi perpajakan.
Baca Juga: Tarif PPN Diwacanakan Naik, Daya Beli Masyarakat Diprediksi Makin Lesu
Namun rencana ini mendapat kritikan keras dari para ekonom, karena menilai pandemi Covid-19 berpeluang besar masih ada dan bisa menjadi beban berat bagi ekonomi nasional.
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid dalam sebuah diskusi virtual, bertajuk 'PPN 15%, Perlukah di Masa Pandemi' Selasa (12/5/2021).
"Jika pandemi masih ada, beban ke ekonominya masih besar dan ditambah lagi dengan rencana kenaikan PPN saya pikir akan menjadi persoalan yang cukup serius," papar Tauhid.
Menurut dia kondisi ekonomi pada tahun depan belumlah 100 persen pulih akibat pandemi, apalagi dari survei yang dilakukan sejumlah lembaga keuangan dunia seperti World Bank yang merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,8 persen.
"Bahkan saya berkeyakinan bahwa ini akan kembali lagi direvisi, setahun bisa 2 kali dengan melihat perkembangan Covid-19 dan program vaksin," paparnya.
Sehingga kata dia pada tahun depan kondisi perekonomian belumlah pulih 100 persen, sehingga rencana kenaikan tarif PPN ini dinilainya sangat bertentangan dengan teori ekspansi fiskal.
"2022 kita itu belum pulih, tapi kenapa dibebankan dengan kebijakan katakanlah dengan kenaikan pajak ini," pungkasnya.