Suara.com - Police virtual atau polisi virtual disebut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai alat represi baru kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit.
Hal itu disampaikan Kontras, sebagai salah satu kritik dalam memperingati 100 hari kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit di institusi Korps Bhayangkara.
“Dalam konteks perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0, Kapolri justru merealisasikan virtual police. Pemberlakukan virtual police ini justru menjadi alat represi baru di dunia digital,” kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti dikutip dari laman Kontras, Jumat (7/5/2021).
Kata Fatia, keberadaan polisi virtual membahayakan hak kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat di ruang digital.
Baca Juga: Geger! Oknum Polisi Siksa Dua Bocah di Sulteng, Kontras: Usut Tuntas!
“Karena menjadi ancaman konkret terhadap kebebasan berekspresi warga negara di media sosial,” jelasnya.
KontraS pun menyimpulkan secara keseluruhan selama 100 hari masa jabatan Listyo Sigit, tidak ada perubahan berarti di tubuh kepolisian.
“Secara umum, kami melihat tidak adanya perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja institusi Korps Bhayangkara. Hal ini bertolak belakang dengan tagline yang diusung, yaitu prediktif, responsibiltas, dan transparan berkeadilan (Presisi),” tegas Fatia.
Oleh karenanya, agar institusi kepolisian lebih menghargai kebebasan berpendapat, Kontras mendorong segera dilakukan perbaikan.
“Secara konkret, signifikan, dan revolusioner menuju kepada konsep kepolisian demokratis (democratic policing),” tutur Fatia.
Baca Juga: Militer Junta Myanmar hadir di KTT, Bentuk Penerimaan Pelanggaran HAM?