Menteri LHK dan Menteri KKP Kolaborasi untuk Blue Carbon Bermutu

Kamis, 06 Mei 2021 | 15:07 WIB
Menteri LHK dan Menteri KKP Kolaborasi untuk Blue Carbon Bermutu
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono mendengarkan pendapat dan masukan dari para ahli secara virtual dalam diskusi bertajuk "Execuive Brief: State of The Art Blue Carbon di Indonesia". (Dok: KLHK)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono mendengarkan pendapat dan masukan dari para ahli secara virtual dalam diskusi bertajuk "Execuive Brief: State of The Art Blue Carbon di Indonesia pada Rabu, (5/5/2021). Kegiatan ini merupakan bentuk kolaborasi antara KLHK dan KKP dalam upaya memasukan Blue Carbon menjadi salah satu strategi penurunan emisi untuk memenuhi target NDC (Nationally Determined Contributions) di tahun 2030.

Para ahli yang dimintai pendapatnya oleh kedua menteri tersebut adalah, Prof. Daniel Murdiyarso dari CIFOR – IPB yang menjelaskan Blue Carbon dalam perspektif pengelolaan lahan basah nasional dan global. Kemudian Dr. Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardani dari Pusat Riset Kelautan KKP, yang memberikan masukan terkait Potensi carbon sink dan acid generation pada ekosistem laut.

Selanjutnya ada Prof. Rohani Ambo Rappe dari UNHAS yang memberikan keterangan terkait Potensi padang lamun (seagrass) dalam mitigasi perubahan iklim. Terakhir ada Prof. (Ris). Dr. Haruni Krisnawati dari Badan Litbang dan Inovasi KLHK yang memaparkan Potensi kontribusi mangrove terhadap target penurunan emisi GRK (gas rumah kaca) Indonesia.

Dalam sambutannya, Siti Nurbaya mengatakan, masukan dari para ahli, sangat dibutuhkan oleh para eksekutif, khususnya di KLHK dan KKP untuk dapat dijadikan sebagai sumber ilmiah terhadap suatu kebijakan. Sebab, Ekosistem Blue Carbon memiliki peran yang sangat penting.

Baca Juga: KLHK Patroli Pohon Pinus Mengering di Taman Nasional Gunung Ciremai

Menurut Siti Nurbaya, Blue Carbon memiliki peran yang penting, dan proses inventarisasi GRK sudah harus membedakan antara Ekosistem Blue Carbon dan ekosistem hutan daratan, agar Blue Carbon memiliki tempat khusus dan perkiraan penyerapan emisi GRK dan pelaporan emisi GRK akan menjadi lebih akurat pada tingkat nasional.

“Pertemuan ini sangat penting, karena akan menjadi titik tolak langkah awal untuk meningkatkan langkah-langkah kita dalam pencapaian NDC maupun dalam mengatasi emisi karbon,” terang Siti Nurbaya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono meminta, agar secara bersama-sama dapat merumuskan dan menyepakati kebijakan terkait Blue Carbon di Indonesia dengan ekosistem berupa mangrove, padang lamun dan rawa payau.

Pria yang karib disapa Trenggono itu juga mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut terkait Blue Carbon yang dilakukan KLHK, KKP, LIPI dan lembaga penliti lainnya, untuk dijadikan dasar ilmiah dalam suatu kebijakan. Dia berharap, ekosistem laut dan pesisir dapat dijaga kelestariannya, agar dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

“Kita juga harus melihat bahwa Blue Carbon juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menciptakan nilai ekonomi melalui perdagangan carbon. Kita juga harus bersama-sama memastikan bahwa indeks kesehatan laut Indonesia dapat meningkat. Saat ini, indeks ada di angka 65 atau menempati ranking 137 dari 221. Ke depan, harapannya angka tersebut dapat meningkat hingga 76 pada tahun 2024,” terang Trenggono.

Baca Juga: Cegah Karhutla, KLHK Gelar Patroli di Taman Nasional Gunung Ciremai

Sementara itu, Prof. Daniel Murdiyarso menyampaikan, bahwa nilai ekonomi dari ekosistem Blue Carbon sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah mangrove yang nilainya dapat mencapai lebih dari 90.000 Dolar Amerika per hektar. Nilai ini bukan hanya dari kemampuan mangrove dalam menyerap karbon, tetapi juga jasa lingkungan yang dapat diberikan seperti pencegah abrasi dan kenaikan tinggi muka air laut, industri perikanan, dan ekowisata.

“Ekosistem Blue Carbon menyediakan barang dan jasa lingkungan dengan spektrum yang lebar, karbon salah satunya dan itu sangat penting bagi Indonesia dan dunia. Kerangka peraturan dan tata kelola perlu disusun berdasarkan data dan informasi yang handal, dan mengarusutamakan Blue Carbon ini memerlukan political will yang kuat agar dapat mencapai tujuan agenda global dan nasional,” terang Prof. Daniel Murdiyarso.

Hal senada disampaikan oleh Prof. (Ris). Dr. Haruni Krisnawati pada kesempatan ini. Dia menerangkan bahwa laju pertumbuhan mangrove yang tinggi (3,6 ± 1,1 Mg C/ha/thn, Sasmito et al., 2020), ditambah dengan kondisi anaerobik, tergenang air, yang akan berdampak pada proses pembusukan yang lambat, sehingga akan menghasilkan penyimpanan karbon jangka panjang yang besar. Mengingat peran mangrove yang signifikan sebagai penyerap karbon yang besar, mencegah hilangnya mangrove menjadi strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif. Maka dari itu, upaya rehabilitasi mangrove akan meningkatkan kontribusi mangrove dalam penurunan emisi GRK.

“Terdapat tantangan berupa dinamika perubahan luas hutan mangrove, seperti ekspansi pembangunan kawasan pesisir, tambak, pemenuhan kebutuhan kayu, arang, seringkali menjadi faktor pendorong berkurangnya luasan hutan mangrove yang akan berdampak pada meningkatnya emisi GRK,” terang Prof. Haruni.

Prof. Rohani Ambo Rappe membagikan pengetahuan dan pengalamannya terkait padang lamun. Dia menjelaskan, bahwa kumpulan dari tumbuhan berbunga yang membentuk padang tersebut sepenuhnya dapat hidup terbenam di perairan laut. Lamun juga berperan sebagai penyedia makanan dan habitat berbagai organisme laut termasuk yang bernilai ekologi dan ekonomi penting, seperti penyu, dugong, kepiting, udang, dan berbagai juvenil ikan. Lamun memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dari atmosfir (fotosintesis), sehingga dapat memitigasi perubahan iklim dari penyebab emisi karbon yang berlebihan.

Sementara itu, Dr. Anastasia menungkapkan bahwa laut menyerap lebih banyak panas matahari sebanyak 93 persen daripada yang dapat diserap oleh daratan. Melalui sirkulasi arus, panas terdistribusi dari lintang rendah ke lintang tinggi, dan ke laut dalam, menentukan pola hujan dan temperatur permukaan, yang kemudian berpengaruh terhadap iklim regional.

Mengakhiri pertemuan ini, Menteri Siti Nurbaya menegaskan, KLHK akan melanjutkan diskusi bersama para ahli untuk mendapatkan pemahaman yang sama dan kolaborasi antara Kementerian/Lembaga terkait dalam mengimplementasikan konsep Blue Carbon. Konsep ini harus diketahui secara bersama, demikian juga batasan-batasan dan tantangan yang ada, sehingga masukan para narasumber terkait konsep dan strategi pengembangan Blue Carbon di Indonesia ini sangat penting bagi pengambil keputusan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI