Suara.com - Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan kegiatan buka puasa bersama selama Ramadhan dan pelarangan halal bihalal.
Namun instruksi pemerintah tersebut dianggap epidemiolog dan beberapa warganet sebagai hal yang terlambat mengingat puasa hanya sekitar satu minggu lagi dan telah terjadi klaster bukber.
Namun Kemendagri menegaskan surat edaran ini tidak telat karena merupakan kebijakan lanjutan untuk menajamkan upaya yang telah dilakukan sebelumnya, seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengatakan klaster bukber adalah satu dari klaster lain seperti perkantoran, tarawih dan mudik yang berkontribusi meningkatkan kasus Covid-19 di Bulan Ramadhan.
Baca Juga: Makan di Pinggiran saat Mudik, Pedagang Pempek Kantongi Benda Misterius
Isi surat edaran pembatasan bukber
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 800/2794/SJ tentang Pembatasan Kegiatan Buka Puasa Bersama Pada Bulan Ramadan dan Pelarangan Open House/Halal Bihalal Pada Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah/2021, Selasa (04/05).
Surat ini juga mengubah surat sebelumnya - diterbitkan Senin (03/05) - yang berisi tentang pelarangan menjadi pembatasan.
Dalam surat edaran ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta kepada kepala daerah untuk melakukan pembatasan kegiatan buka puasa bersama (bukber) dengan tidak melebihi dari keluarga inti ditambah lima orang selama Bulan Ramadan.
- Wajah para korban meninggal di Indonesia akibat Covid-19 - 'Mereka bukan sekadar data statistik'
- 'Rekor kasus Covid-19 di Indonesia karena aktivitas Lebaran', kini kapasitas penumpang transportasi umum malah dinaikkan jadi 70%
- Setahun pandemi, pramugari beralih profesi jualan tahu - 'Jangan pernah menyerah, itu harga mati'
Tito juga menginstruksikan,"kepada seluruh pejabat/ASN di daerah dilarang melakukan open house atau halal bihalal dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021," bunyi Surat Edaran Mendagri Nomor 800/2784/SJ.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan menjelaskan, surat edaran ini bertujuan untuk membatasi dan bukan melarang kegiatan bukber.
Baca Juga: Nyesek! Booking Makanan Buat Bukber Alumni, Lama Ditunggu Teman Tak Datang
"Yang dibatasi adalah bukber dengan menerapkan protokol yang ketat dan hanya keluarga ini ditambah lima kerabat. Ini untuk mencegah kerumunan dan penyebaran Covid," kata Benni.
Kemudian untuk poin kedua terkait larangan halal bihalal, Benni menjelaskan, keputusan itu diambil berkaca dari pengalaman Idul Fitri tahun lalu yang mana terjadi peningkatan tajam Covid-19 hingga 220%.
"Kita tidak mau hal-hal yang terjadi di tahun 2020 terulang kembali. Bukan tidak mungkin kalau surat edaran ini tidak diikuti akan ada lagi klaster baru seperti klaster halal bihalal. Itu yang kita antisipasi. Jangan sampai kita mendapatkan gelombang kedua yang lebih menakutkan. Kasus di negara-negara tetangga kita melonjak, bahkan paling parah di India," katanya.
Tanggapan warganet: 'Kebijakan yang telat'
Surat edaran ini mengundang kritikan di media sosial dan epidemiolog karena dianggap terlambat.
Akun twitter @LaporCovid menulis,"Larangan buka bersama kok baru H-9 lebaran ya? Puasa udah lewat 21 hari baru dikasih larangan? Selama ini kemana?"
https://twitter.com/LaporCovid/status/1389819560803508227
Cuitan ini ditanggapi beberapa nitizen, seperti @ferdymad yang mengungkapan "ini tipikal kebijakan yg Reaktif.., bukan Antisipatif sebagaimana seharusnya".
Senada dengan itu, akun @yung_tia juga mengungkapkan, "SE larangan bukber beredarnya H-8 lebaran, ntar kalo melonjak tinggal bilang lah kan sudah keluar SE, dr awal puasa udah rame paaaak orang bukber.. Harusnya menjelang masuk ramadan lah beredar."
https://twitter.com/yung_tia/status/1389543707846791184
Jika diamati dari situs analisis media sosial Spredfast, pembicaraan seputar "bukber" atau buka puasa bersama melonjak drastis pada awal bulan Ramadan, atau pada tanggal 12 April 2021. Sebelum bulan Ramadan, kata "bukber" sangat jarang disebut di Twitter.
Inisiator LaporCovid-19 Irma Hidayana mengatakan, pemerintah telat dalam mengeluarkan surat edaran tersebut.
Seharusnya, surat itu diumumkan sebelum puasa tiba dan dipersiapkan proses pengawasan hingga sanksi dalam pelaksanannya- bukan sepekan menjelang lebaran, ujar Irma.
"Mungkin halal bihalal bagus sebelum lebaran. Tapi kalau bukber, dimana-mana sudah bukber, bahkan kami mendapat undangan bukber dari pejabat negara, tapi kami tolak. Jadi ini telat," katanya.
Irma menambahkan, kebijakan yang disebut telat ini menunjukan tidak adanya niat yang sungguh dalam menekan penularan Covid-19, melainkan lebih pada "nanti kalau diaudit, ditanya ada larangannya tidak? Sudah dibuat kok," ungkap Irma.
Senada dengan itu, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra juga menyebut surat edaran ini terlambat.
"Idealnya sejak awal dibatasi atau dilarang bukber. Sekarang kita lihat di area pusat kuliner, perbelanjaan, fenomena bukber cukup meluas dan hampir semuanya tidak menaati protokol kesehatan sehingga resiko penularan tinggi," katanya.
Sementara itu itu, Menteri Agama juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2021 tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 2021, salah satu poinnya adalah "dalam hal kegiatan Buka Puasa Bersama tetap dilaksanakan harus mematuhi pembatasan jumlah kehadiran paling banyak 50% dari kapasitas ruangan dan menghindari kerumunan."
Mengapa bukber berbahaya?
Hermawan Saputra mengatakan, bukber memiliki potensi besar dan berbahaya menularkan Covid-19 karena membuat abai masyarakat dalam pelaksanaan protokol kesehatan.
"Bukber itu terjadi satu waktu, di satu tempat, dengan banyak orang berkumpul. Orang akan buka masker, makan serentak, lalu setelah itu salat berkerumun, dan berbincang-bincang. Ini titik kritis. Mereka pun jadi luput dengan protokol," kata Hermawan.
Walaupun terlambat, Hermawan berharap melalui surat edaran ini, di sisi sekitar sepekan puasa, pelaksanaan protokol kesehatan dapat diperketat dan pelaksanaan bukber juga diminimalisir.
"Pengawasan harus dioptimalkan, kalau hanya aturan-aturan saja maka tidak akan maksimal," ujarnya.
Menurut epidemiolog dari Universitas Padjajaran, Deni Kurniadi Sunjaya, berdasarkan survei yang telah dilakukan, sekitar 30-40% masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan.
Kurangnya ketaatan masyarakat, kata Deni, dikarenakan oleh lemahnya pemahaman masyarakat akan penularan virus corona, ketidakpercayaan akan bahaya virus ini, hingga provokasi dari tokoh masyarakat dan agama tentang virus corona.
"Ditambah lagi kita melakukan pelonggaran yang menyebabkan penyebaran lebih banyak. Itu wajar akibat pelanggaran pasti ada kenaikan," kata Deni.
Sebelumnya Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan klaster bukber adalah satu dari klaster lain seperti perkantoran, tarawih dan mudik yang berkontribusi meningkatkan kasus Covid-19 di Bulan Ramadan.
Menurut Siti saat bukber, masyarakat melepas masker dan berbicara yang kemudian meningkatkan resiko terpapar.
"Berbicara pada saat makan bersama menjadi faktor yang sangat memungkinkan terjadinya penularan virus corona," kata Siti, Jumat (30/04).
Siti juga menambahkan bukber dan tarawih memungkinkan terjadinya superspreader.
Di Indonesia, terjadi kenaikan kasus, dari yang biasanya sekitar lima ribu kasus konfirmasi, mencapai 5.833 kasus pada 29 April dengan peningkatan kasus kematian sebanyak 20%.
Senada dengan itu, Ketua tim mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi, dalam suatu diskusi, menyebut bukber menjadi salah satu penyebab kenaikan kasus di perkantoran Jakarta. Berdasarkan datan Pemprov DKI Jakarta, sebelum puasa terdapat 157 kasus yang tersebar di 78 perkantoran. Jumlah itu meningkat menjadi 425 hanya dalam sepekan.
Penajaman dari kebijakan sebelumnya
Kapuspen Kemendagri Benni Irwan menolak tanggapan jika surat edaran itu disebut telat.
"Surat edaran ini tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya di hampir semua kementerian dan lembaga. Kita berperang dengan musuh yang tidak terlihat dan daya serang luar biasa," kata Benni.
Benni mencontohkan, Kemendagri telah melaksanakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang kini memasuki tahap kesembilan.
Kebijakan itu dipertajam dengan PPKM mikro - sudah dalam tahap ketujuh yang melibatkan 30 provinsi.
"SE ini tidak lepas dari itu (PPKM) sebenarnya. Ini untuk menajamkan saja, intervensi, antisipasi, menajamkan ruang lingkup dan waktunya. Saya pikir tidak terlambat karena kegiatan Ramadan belum berakhir. Ke depan tinggal kita disiplin dan sadar melaksanakannya," kata Benni.
Berdasarkan data hingga Rabu (05/05), terjadi penambahan kasus positif Covid-19 sebesar 5.285 orang sehingga total menjadi 1.691.658 kasus.
Kasus terbanyak hari ini ditemukan di Jawa Barat sebanyak 995 kasus dan DKI Jakarta 845 kasus.