Suara.com - Ketika Amina Filali berusia 15 tahun, ia memberi tahu kedua orang tuanya bahwa ia diperkosa oleh seorang pria berusia 25 tahun.
Keluarga itu, "atas anjuran pejabat hukum," terpaksa menikahkan Amina dengan pemerkosanya.
Beberapa bulan kemudian, setelah melaporkan pemukulan dan penyerangan, remaja itu bunuh diri pada usia 16 tahun dengan menenggak racun tikus.
Amina yang tinggal di kota kecil di Maroko, meninggal pada 2012. Kasusnya memicu protes dan upaya oleh kelompok perempuan di negara itu.
Baca Juga: Radikalisme Sasar Milenial, Eks Narapidana Terorisme Beri Saran Ini
Parlemen Maroko akhirnya mencabut undang-undang yang memungkinkan pelaku pemerkosaan terhindar dari jeratan hukum bila ia menikahi korbannya.
Menurut laporan tahunan PBB terkait penduduk dunia, 20 negara mengizinkan pelaku pemerkosaan menikahi korbannya agar terhindar dari tuntutan hukum.
Baca juga:
- 'Kenapa bapak yang seharusnya melindungi malah merusak?' - Gelombang perkosaan anak dalam keluarga di Indonesia
- Korban revenge porn: 'Saya berkali-kali mencoba bunuh diri'
- RUU PKS disebut urgen karena 'ribuan penyintas tak bisa akses keadilan'
Rusia, Thailand, dan Venezuela termasuk di antara negara yang mengizinkan para pelaku menikahi korban agar tuntutan terhadap mereka dicabut.
Dr Natalia Kanem, direktur eksekutif UN Population Fund (UNFPA), yang menerbitkan laporan itu pada pertengahan April lalu, mengatakan undang-undang seperti itu "sangat salah" dan "merupakan cara mengendalikan perempuan."
Baca Juga: Tertimpa Orang Bunuh Diri, Seorang Wanita Tewas saat Kencan
"Penolakan hak tak boleh terlindung di dalam hukum. Undang-undang 'Menikah dengan pemerkosamu' menggeser beban bersalah kepada korban dan seolah membersihkan satu tindakan kejahatan," katanya.
Dima Dabbous, direktur Equality Now untuk Timur Tengah dan Afrika, yang kajiannya diungkap dalam laporan UNFPA, menyatakan undang-undang itu menggambarkan budaya "yang beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya dan bahwa mereka adalah properti keluarga. Ini pendekatan kesukuan yang kuno terkait seksualitas dan martabat yang disalah artikan."
Dabbous menambahkan bahwa "sangat sulit mengubah [undang-undang ini], tetapi bukan suatu yang tidak mungkin."
Ia mengatakan undang-undang di Moroko dicabut menyusul kemarahan banyak orang setelah seorang remaja bunuh diri karenan dipaksa menikah dengan pemerkosanya. Yordania, Palestina, Lebanon dan Tunisia mengikuti langkah itu.
Tetapi, Kuwait masih mengizinkan pelaku untuk menikahi korbannya dengan izin wali.
Baca juga:
- Kawin Tangkap: Kisah perempuan diculik untuk dinikahi di Sumba, 'menangis sampai tenggorokan kering'
- Hukuman kebiri kimia pertama di Indonesia belum bisa diterapkan
- KDRT meningkat selama pandemi Covid-19: Perempuan kian 'terperangkap' dan 'tak dapat mengakses perlindungan'
Di Rusia, bila pelaku telah berusia 18 tahun dan melakukan perkosaan terhadap perempuan berusia 16 tahun, pelaku bebas dari hukum bila ia menikahinya.
Di Thailand, perkawinan dianggap sebagai penyelesaian untuk kasus perkosaan bila pelaku berusia di atas 18 tahun dan korban berusia di atas 15 tahun, bila korban "setuju" dan bila pengadilan memberikan izin pernikahan itu.
Undang-undang dan praktik yang tidak mengindahkan hak perempuan banyak terjadi dan sulit diberantas, kata UNFPA.
Badan PBB ini melaporkan ada 43 negara yang tidak memiliki hukum mengkriminalkan perkosaan bagi pasangan yang telah menikah.
Praktik ini harus dihentikan
Laporan yang memusatkan pada otonomi tubuh - kemampuan untuk membuat pilihan terkait kekerasan - menunjukkan hampir setengah perempuan (45%) yang telah menikah di 57 negara tidak memiliki hak untuk mengatakan ya atau tidak terkait hubungan seksual, penggunaan kontrasepsi atau mencari fasilitas kesehatan.
Di Mali, Niger dan Senegal, situasinya lebih memprihatinkan. Kurang dari satu dari 10 perempuan yang bisa membuat keputusan terkait kesehatan, kontrasepsi dan hak untuk menolak berhubungan seks dengan pasangan mereka.
"Fakta bahwa hampir setengah perempuan tidak dapat membuat keputusan sendiri apakah mereka bisa menolak pasangannya untuk berhungan seks, menggunakan kontrasepsi atau mencari fasilitas kesehatan untuk dirinya sendiri, harus membuat kita semua marah," kata Kanem.
"Pada dasarnya, ratusan juta perempuan tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Hidup mereka diatur oleh orang lain," tambahnya.
Lebih dari 30 negara membatasi kebebasan perempuan untuk tidak keluar rumah,sementara bagi mereka yang cacat, peluang mereka menjadi sasaran serangan seksual, hampir tiga kali lipat lebih tinggi.
Pendidikan merupakan kunci dalam mengatasi masalah ini, menurut laporan PBB tersebut. Tetapi undang-undang harus diganti dan keseteraan hak perlu ditingkatkan.
"Tak adanya hak atas tubuh merupakan pelanggaran hak dasar perempuan yang memperkuat ketidakadilan dan mengabadikan kekerasan akibat diskriminasi gender," kata Kanem.
"Praktik ini menghacurkan semangat (hidup) dan harus dihentikan," katanya.