Suara.com - Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka, menegaskan tidak pernah menyerang warga sipil pendatang.
Karena itulah, Dewan Diplomatik TPNPB-OPM mempertanyakan sikap Presiden Jokowi yang justru menyematkan label teroris kepada mereka.
Amatus Akouboo Douw, Ketua Dewan Diplomatik TPNPB-OPM yang berbasis di Australia, mengatakan justru TNI dan Polri yang diklaimnya kerap menyasar warga asli Papua di daerah-daerah konflik.
"Berbeda dengan militer Indonesia, pejuang kemerdekaan TPNPB tidak pernah menyerang penduduk sipil Indonesia," kata Amatus Akouboo Douw dalam pernyataan sikap tertulis yang diteirma Suara.com, Senin (3/5/2021).
Baca Juga: Update Covid-19: Australia Siap Penjarakan Pendatang dari India
Ia mengatakan, kalau tentara Indonesia terus melanjutkan program teror dan genosida terhadap penduduk sipil Papua, maka bisa saja TPNPB memperluas target ofensif.
"Kalau TNI dan Polri terus meneror serta melakukan genosida atau pemusnahan massal warga asli Papua, kami juga bisa berkampanye melawan warga sipil Indonesia di tanah leluhur kami," kata dia.
Sebab, kata Amatus, warga sipil Indonesia di tanah Papua terbilang ilegal, mencuri tanah suci serta sumber daya alam. Itu sama seperti warga sipil kolonial Belanda saat menjajah Indonesia dulu.
Ia menegaskan, klaim bahwa Indonesia melakukan genosida terhadap warga asli Papua bukan pepesan kosong.
"Sebagaimana dirinci dalam laporan berbagai sarjana hukum, akademisi, organisasi hak asasi manusia internasional bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara Indonesia sedang melakukan program dugaan genosida terhadap rakyat Papua," kata Amatus.
Baca Juga: Label Teroris Bisa Membunuh Warga Asli Papua di Bumi Cendrawasih
TPNPB-OPM juga menyebut Amerika Serikat, melalui badan intelijennya yakni CIA, ikut bertanggung jawab atas jatuhnya Papua ke tangan Indonesia melalui Freeport.
"CIA Amerika bertanggung jawab untuk mendirikan kediktatoran militer pro-AS di Indonesia dan transfer ilegal West Papua atas nama perusahaan Rockefeller Freeport untuk mengeksploitasi deposit emas terbesar dunia di Papua Barat."
TPNPB - OPM menantang pemerintah Indonesia untuk maju ke Mahkamah Internasional, untuk membuktikan pendudukan di Papua Barat tersebut legal atau tidak.
"OPM mengundang Indonesia untuk meminta putusan dari Mahkamah Internasional, apakah pendudukan Indonesia yang sedang berlangsung di Papua Barat adalah legal," ajak TPNPB-OPM.
TPNPB-OPM juga meminta masyarakat internasional, melalui PBB "Untuk menempatkan status hukum Papua Barat dalam agenda Dewan Perwalian dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa."
"OPM juga mengundang Indonesia untuk memberikan akses kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, diplomat asing dan jurnalis ke Papua Barat seperti yang dijanjikan Presiden Widodo pada tahun 2015, namun hingga saat ini gagal," kata Amatus.
TPNPB - OPM, kata dia, juga menganjurkan pasukan keamanan PBB, Uni Eropa, negara-negara kawasan Afrika-Karibia-Pasifik, dan semua anggota PBB untuk ikut mengadvokasi persoalan Papua.
"Hal itu sesuai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2621 (XXV) tentang Program Aksi untuk Implementasi penuh dari Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Kolonial."
Berikut 10 poin pernyataan Bagian Diplomatik TPNPB-OPM:
- Sebagaimana dirinci dalam laporan berbagai sarjana hukum, akademisi, organisasi hak asasi manusia internasional bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara Indonesia sedang melakukan program dugaan genosida terhadap rakyat Papua.
- Pengalihan West Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1962 dan kemudian Indonesia pada tahun 1963 adalah pelanggaran hukum internasional yang diatur oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Indonesia, PBB, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain menyadari sepenuhnya bahwa Barat Status hukum Papua bergeser menjadi Trust Territory.
- CIA Amerika bertanggung jawab untuk mendirikan kediktatoran militer pro-AS di Indonesia dan transfer ilegal West Papua atas nama perusahaan Rockefeller Freeport untuk mengeksploitasi deposit emas terbesar dunia di Papua Barat.
- Meskipun Indonesia telah gagal meratifikasi perjanjian yang mengatur Pengadilan Kriminal Internasional, OPM mengundang Indonesia untuk meratifikasi perjanjian ini dan meminta keputusan dari Pengadilan ini, apakah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau Genosida terjadi di Papua Barat dan juga menanyakan apakah Indonesia atau OPM sedang melakukan terorisme.
- OPM mengundang Indonesia untuk meminta putusan dari Mahkamah Internasional, apakah pendudukan Indonesia yang sedang berlangsung di Papua Barat adalah legal.
- OPM juga mengundang Indonesia untuk memberikan akses kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, diplomat asing dan jurnalis ke Papua Barat seperti yang dijanjikan Presiden Widodo pada tahun 2015 namun hingga saat ini gagal.
- OPM mencari negara-negara anggota PBB untuk menempatkan status hukum Papua Barat dalam agenda Dewan Perwalian dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
- Karena ketidakmampuan dan ketakutan militer Indonesia untuk berperang melawan Pejuang Kemerdekaan OPM (TPNPB), militer Indonesia malah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atas penduduk sipil yang membom masyarakat dataran tinggi Papua Barat di Ndugama, Intan Jaya, Puncak Jaya, Paniai , Deiyai, Dogiyai, Timika dan daerah lainnya.
- Oleh karena itu OPM mencari intervensi militer dari Pasukan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mencari dukungan moral dan material dari Uni Eropa, negara-negara Afrika-Karibia-Pasifik, dan semua anggota PBB seperti yang diadvokasi dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2621 (XXV) 'Program Aksi untuk Implementasi penuh dari Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Kolonial.
- Berbeda dengan militer Indonesia, pejuang kemerdekaan TPNPB tidak pernah menyerang penduduk sipil Indonesia, namun jika Indonesia melanjutkan program teror dan genosida terhadap penduduk sipil Papua Barat (seperti yang telah terjadi selama hampir enam puluh tahun sekarang) dan masyarakat internasional tidak melakukan intervensi. Pejuang kemerdekaan TPNPB OPM akan mengumumkan kampanye untuk memusnahkan tidak hanya militer Indonesia yang menduduki secara ilegal tetapi juga orang Jawa ilegal dan pemukim Indonesia lainnya yang semakin mencuri tanah suci dan sumber daya orang Papua Barat.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjanjanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera menangkap anggota KKB yang terlibat dalam aksi penembakan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Mayjen Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha (25/4) di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.
Jokowi juga menegaskan, tidak ada tempat bagi kelompok kriminal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk Papua.
Sementara pada Kamis (29/4), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengumumkan pemerintah secara resmi menyatakan KKB Papua sebagai kelompok teroris.
Keputusan tersebut, menurut Mahfud, didasarkan pada sejumlah penyerangan dan perbuatan kriminal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil.
Selain itu keputusan pemerintah menurut Mahfud sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018.