Suara.com - Seperti apa pengalaman bekerja di balik kostum badut dan menghibur orang-orang di jalanan? Bagaimana rasanya seharian berdiri di tepi jalan dalam balutan kostum tebal? Dan bagaimana dia memandang kehidupan?
AHMAD (bukan nama sebenarnya) kini berusia 56 tahun. Dia seorang pekerja di balik kostum badut. Hampir tiap hari berdiri sambil bergoyang atau melambai-lambaikan tangan untuk menarik perhatian orang-orang yang melintasi bundaran Pasar Pocong, Desa Bojong Kulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Pada waktu saya temui di teras rumah kosong, dia sedang persiapan pertunjukan. Tangannya sibuk memakai kostum badut karakter Boboiboy. Kepala kostum boneka Boboiboy masih tergeletak di lantai penuh debu, belum sempat dia pasang.
Membadut -- demikian Ahmad menyebutnya -- dilakoni karena terdesak oleh keadaan.
Baca Juga: Kisah Penyedot Tinja: Rezeki dan Malapetaka di Balik Tahi
Lelaki dengan tujuh anak dan tujuh cucu ini percaya, membadut barangkali menjadi salah satu jalan untuk lepas dari kesulitan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Dia percaya sudah jalannya untuk waktu sekarang menjalani pekerjaan yang penuh peluh sepanjang hari di balik kostum badut, dan mungkin besok atau lusa datang kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Mengingat masa lalu
Jauh sebelum menjadi pekerja badut karakter tokoh film animasi, lelaki asal Lampung ini bekerja untuk perusahaan garment di salah satu kawasan industri Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Basic pekerjaannya tata udara.
Kemudian dia beberapakali pindah perusahaan dengan posisi yang bagus.
Baca Juga: Kisah Cinta Dua Orang Tunanetra
Pada 2000, banyak perusahaan, terutama yang bergerak di bidang shoes dan garment, gulung tikar karena dilibas krisis moneter berkepanjangan.
Sampai kapan pemulihan ekonomi akibat krisis moneter terjadi, ketika itu tak ada yang dapat memastikannya.
Yang diketahui Ahmad dan juga banyak orang yang senasib dengannya, kebutuhan hidup tak bisa menunggu sampai krisis ekonomi berlalu. Mereka harus kembali bekerja dan melupakan sejenak harapan dapat kembali ke perusahaan dengan posisi seperti semula.
Semenjak itu, selama bertahun-tahun dia menjadi pekerja lepas: mengerjakan proyek-proyek mekanikal elektrikal di gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan.
Krisis ekonomi kembali menghantam Tanah Air mulai Maret tahun 2020. Kali ini akibat pandemi Covid-19.
Semenjak datang pagebluk yang dengan cepat sekali menjungkirbalikkan perekonomian, banyak proyek terhenti dan Ahmad kembali menerima kenyataan pahit.
“Semenjak pandemi kadang-kadang aja dapat kerjaan. Kadang seminggu ada, kadang sebulan nganggur sehingga alternatif yang bisa saya kerjakan ya inilah, ngebadut,” kata Ahmad sambil tangannya membetulkan posisi topi putih bertuliskan Indonesia Merdeka yang dia pakai.
Mencari jalan keluar
Ahmad tidak termasuk kategori orang yang gampang menyerah dengan keadaan, sesulit apapun.
Setelah banyak industri tutup karena bangkrut pada tahun 2000 dan membuatnya kehilangan pekerjaan, Ahmad segera memeras otak untuk mendapatkan sumber ekonomi baru.
Dia berprinsip tak akan memilih-milih pekerjaan. Apapun itu, selama halal, dia akan lakoni.
Sambil tak putus-putus mencari informasi proyek yang sesuai dengan keahlian -- bidang mekanikal elektrikal -- Ahmad menjadi pengamen di terminal Bekasi sampai muka gerbang tol Bekasi Timur.
“Ya semenjak mentok ini juga, semenjak nggak kerja di PT itu kerja serabutan. Kan kerja serabutan itu belum tentu ada. Sedangkan kebutuhan kan harus ada, wajib itu, nggak ada alasan itu, kita mau kerja atau nggak, nggak ada alasan itu. Sehingga kalau kita keluar, pulang harus bawa duit. Ngamen saya,” kata Ahmad.
Dia mengajak kawan yang kurang lebih bernasib sama. Dia teringat mula-mula kawannya meragukan kemampuannya dalam menghibur orang, tetapi pada akhirnya Ahmad berhasil meyakinkan dan mereka pun bekerjasama.
“Saya punya skill punya suara lumayanlah. Makanya ayo ajalah. Ya alhamdulillah. Dia juga kaget waktu kami berdua ngamen itu. Saya emang nggak bisa gitar dan nggak bisa main musik. Cuma punya suara gitu. Ya alhamduillah, nggak sengaja sih. Start jam 14.30 WIB, sampai jam 17.00 WIB itu bisa dapat Rp80 ribu lebih.”
Di lain kesempatan, pernah pula dia menjadi tukang pijat.
Memutuskan jadi badut
Ahmad hanya satu dari sekian banyak orang yang tak punya banyak pilihan jalan keluar dari himpitan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Keadaan yang demikian membuat dia memegang prinsip: sangat menghargai setiap kesempatan pekerjaan yang ada.
Tapi Ahmad barangkali hanya sedikit orang terjepit keadaan yang bersedia menekuni pekerjaan menjadi badut.
“Karena memang sudah nggak kecari lagilah (pekerjaan), mau kerja apa. Saya nggak pernah milih-milih kerja,” kata Ahmad.
Menengok ke belakang, menjadi badut sesungguhnya tak pernah terpikirkan oleh Ahmad.
Mula-mula dia diajak keponakan yang sudah lebih dulu menekuni perbadutan, karena melihat Ahmad lebih banyak menganggur di rumah.
Dia diajarkan bagaimana membuat sebuah pertunjukan di jalan dengan kostum badut.
Bermodalkan kostum boneka karakter kelinci pinjaman dari keponakan, dia memulai langkah pertama dengan uji coba selama seminggu.
Pekan pertama menjadi pengalaman yang kelak tak akan pernah bisa dilupakan Ahmad.
Setiap hari di bawah terik matahari dan di tengah udara penuh debu, dia mesti sekuat tenaga bergoyang-goyang dan melambaikan tangan ke arah pengguna jalan.
“Berat. Keringet ngalir. Kepala juga banjir keringat. Panas banget (di dalam kostum). Sampai saya sakit setengah bulan, baru sembuh tiga hari ini,” kata Ahmad.
Jalan untuk lepas dari jepitan ekonomi terlalu sulit bagi dia. Itu sebabnya, walau pernah sakit dan benar-benar tidak ada rasa nyaman berlama-lama mengenakan kostum badut, Ahmad tetap tabah menjalani pekerjaan.
“Habisnya daripada di rumah. Kalau mikirkan diri sendiri sih nggak terlalu pusing saya. Saya punya keluarga,” kata Ahmad.
Keluarga tak tahu jadi badut
Sampai sekarang, keluarga Ahmad tak tahu perjuangannya: setiap hari menghibur para pengguna jalan dari balik kostum badut.
Dia merahasiakan pekerjaannya, dengan mengatakan sedang menjajaki peluang kerja atau untuk bertemu koneksi, setiap kali ada anggota keluarga yang bertanya-tanya kemana dia seharian pergi.
“Rezeki kan datang dari sesama kita. Kalau kita di rumah aja bagaimana Tuhan mau kasih rezeki ke kita,” begitu kata Ahmad setiap kali memberikan penjelasan kepada keluarga.
Tetapi lama kelamaan keluarga menaruh curiga padanya.
“Ini kok tiap pulang ke rumah bawa duit receh-recehan. ‘Ah udah pokoknya halal’ saya bilang gitu. Insya Allah halal.” Ahmad tertawa.
Ahmad tak mau mengatakan kepada saya kenapa tak berterus terang saja kepada keluarga perihal pekerjaannya. Bukankah berterus terang dengan orang-orang terkasih, jalan terasa lebih enteng.
Dia hanya mengatakan, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk tidak langsung memberitahu mereka.
“Ya cepat atau lambat mereka pasti tahu sih.”
Dari tujuh anak Ahmad, tiga orang di antaranya sudah berkeluarga. Dua anak masih lajang dan belum bekerja, sedangkan dua anak lagi masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah.
Ketika Ahmad bercerita tentang kondisi keluarganya, mimik mukanya menjadi lebih serius.
“Yang saya yakin, Allah pasti ngasih jalan, walaupun sedikit, ya tetep ada jalan insya Allah. Yang penting saya nggak milih-milihlah kerja itu.”
“Apapun. Yang penting itu halal dan tidak rugikan orang lain, tidak berbahaya buat diri saya dan orang lain. Yang penting saya tidak menjahatin orang. Lebih baik saya yang dijahatin daripada saya menjahati orang. Lebih baik saya yang dizalimi daripada saya zalimi orang. Itu prinsip saya. Makanya ya ginilah, mau bagaimana lagi yang penting selalu bersyukur dalam segala situasi.”
Penghasilan
Penghasilan menjadi badut tidak selalu sama seperti ketika bekerja menjadi karyawan perusahaan. Adakalanya setelah hampir seharian berada di jalanan, dia bisa membawa pulang uang Rp80 ribu, tetapi lebih sering penghasilannya jauh di bawah angka itu.
“Pernah saya dapat Rp12 ribu sehari. Waktu itu sebelum saya sakit. Pernah juga dapat, kemarin hampir Rp100 ribu, itu dari siang. Pernah juga dari jam tujuh pagi sampai sore cuma dapat Rp48 ribu.”
Selama saya ngobrol dengan Ahmad, dia berkali-kali mengucapkan rasa syukur atas berapapun rezeki yang diterimanya.
Menerima uang recehan Rp100 atau Rp200 dari pengguna jalan selalu dijadikannya sebagai penyemangat.
Dan dia memang selalu menanamkan pada dirinya, menjadi badut tujuannya untuk menghibur, berarti harus selalu menunjukkan semangat, rileks, senang, dan yang paling penting ikhlas.
“Apapun yang orang respons ke kita, entah hanya lewat, anak-anak minta tos aja, kita harus senang hati. Kita percaya bahwa Allah nggak tidur. Kita anggap semua itu adalah ujian.”
“Kalaupun nggak ini (memberi uang), rezeki Allah yang atur, yang penting kita berusaha, soal banyak sedikit itu Allah lebih tahu. Mungkin kalau dikasih banyak kita akan dikasih sesuatu hal lain, lebih baik sedikit asal berkah daripada banyak, tapi nggak berkah.”
“Mau ngasih atau nggak, ikhlas aja. Kalau kita mangkel sendiri, manfaatnya nggak ada sudah begitu kerugian ada pada kita sendiri. Akan menjadi penyakit hati nanti.”
Ketika berkata demikian, wajah Ahmad menjadi berseri-seri.
Menjawab pertanyaan saya mengenai bagaimana caranya tetap gembira dan ikhlas menjadi pekerja badut jalanan yang kadangkala tak dihargai orang, Ahmad berkata:
“Ikhlas dengan segala sesuatu. Kalau kita ridho mudah-mudahan Allah juga ridho. Kalau Allah sudah ridho, apapun, walaupun kita dalam keadaan sakit sekalipun adalah nikmat sebenarnya, bukan merupakan malapetaka. Sakit itu adalah nikmat. Karena apa, orang dalam senang itu itu jarang sebut Tuhan. Tapi kalau dalam sakit, pasti (sebut Tuhan).”
Ahmad menyebut dirinya sebagai badut mandiri. Artinya, dia tidak terikat sewa kostum atau terikat aturan kelompok.
Dia sangat terbantu pertolongan keponakan yang memberikan kostum badut kepadanya sehingga dapat menjadi pekerja badut mandiri.
Seperti apa rasanya di dalam kostum tebal?
Perlengkapan kerja menjadi badut tidak banyak. Saya melihat perlengkapan utama yang digunakan Ahmad adalah kostum karakter tokoh animasi.
“Sama kotak amal (tertawa). Insya Allah, kalau ikhlas ya mereka dapat pahala,” kata Ahmad. Dia menunjukkan sebuah kotak kardus yang nanti akan dipakai untuk menadahi sumbangan para dermawan.
Sambil ngobrol siang hari itu, saya memperhatikan Ahmad sering menyeka keringat, padahal dia belum memakai kepala boneka dan kami duduk di tempat teduh.
Dari situ terbayang seperti apa rasanya mencari nafkah dengan memakai kostum tebal.
“Ini yang pegel banget (sambil menunjuk ke pundak). Karena keteken sama kepala boneka. Kepalanya kan nggak ngantung, dia duduk di sini (pundak). Pegel banget karena mikul kiri kanan.”
“Kepala kita keluar air keringat banyak, apalagi kan kemarin waktu masih baru-baru ya jadi drop.”
Sekarang Ahmad sudah tahu selahnya. Seandainya leher sudah terasa pegal-pegal, dia segera “turun panggung” untuk melepas lelah sejenak.
“Akhir-akhir ini saya kuat sampai satu jam (berdiri). Tadinya seperempat jam kepala puyeng,” kata dia.
Kepala boneka Boboiboy yang dia pakai sekarang, berukuran lebih lebar sehingga lega. Berbeda dengan kepala boneka kelinci yang dulu membuatnya sakit karena ukurannya kecil.
“Itu (kepala) ada sirkulasi udara. Di bagian mata ada lubang dua. Di mulut juga ada lobang dua. Memang nggak maksimal ya sirkulasi. Maunya sih direkayasa ada exhaust fan, kipas kecil. Tetapi ya memang akan mengubah desain kepala.”
Beban memakai kostum badut terasa lebih berat pada musim panas seperti sekarang. Tetapi umumnya badut memiliki cara masing-masing dalam mengatasi beban.
“Banyak bergeraklah. Dulu waktu masih sekolah kata guru olahraga kalau misal upacara berdiri lama, gerak jalan, gerak-gerakan aja tangan atau apa. Jari kaki dalam sepatu pegel, tangan. Jadi mesti digerak-gerakin supaya nggak kaku.”
Karena panas sehingga keringat tiada henti bercucuran, pekerja badut menjadi cepat haus.
Walau sering minum, mereka jarang kebelet kencing dan hal ini menjadi keuntungan tersendiri karena tidak perlu sering berlari-lari mencari tempat buang air.
“Karena keringatan terus, minum terus keringetan. Kalau nggak keringetan itu kencing mulu.”
Tapi di bulan Ramadhan ini, Ahmad mengatakan dapat merasakan kebesaran Allah. Walaupun memakai kostum di tengah cuaca panas, dia merasa tak kehausan seperti hari-hari biasa.
“Memang Allah Maha Kuasa, keringet nggak terlalu ngucur di bulan puasa ini. Tapi waktu sahur memang mesti dibanyakin minum.”
Lokasi menentukan penghasilan
Kalau ditanya lebih enak mana mencari uang, menjadi badut atau mengamen, menurut pengalaman Ahmad, lebih enak menjadi pengamen.
Alasannya, menjadi pengamen, dia tidak perlu memakai kostum tertutup seperti ketika menjadi badut.
Tetapi sama seperti mengamen, penghasilan membadut juga ikut ditentukan lokasi.
“Apa sebab, karena kalau ramai ya insya Allah akan ramai juga (penghasilan). Dasarnya dulu. Kalau sepi ya sepi. Jadi walaupun sepi (pendapatan) kalau dia ramai, ada semangat kita, ada harapan. Masa sih besok nggak (dapat penghasilan). Siapa tahu besok lebih baik. Jadi selalu ada harapan.”
Ahmad menjadi badut pertama yang menggelar pertunjukan di bundaran Pasar Pocong.
Jalur tersebut, menurut penilaiannya, tergolong ramai dan hal itu memberinya sebuah harapan.
“Tapi kalau misalnya memang betul-betul di sini sulit untuk mendapatkan penghasilan, mungkin akan cari tempat lain lagi.”
Sejak kapan ada badut karakter?
Sulit dipastikan sejak kapan badut karakter tokoh animasi muncul. Tetapi seingat Ahmad, badut karakter sudah muncul sejak 1990-an.
Akan tetapi peran badut pada masa itu berbeda dengan sekarang. Menurut cerita Ahmad, dulu, badut biasanya tampil di acara-acara pesta, seperti ulang tahun anak.
“Dulu tidak seperti sekarang ini. Ondel-ondel juga nggak seperti sekarang. Nggak keluar kalau nggak ada acara-acara penting. Kalau sekarang kan jadi seperti pasaran. Dulu badut cuma untuk pesta-pesta dan bajunya juga lucu-lucu.
Badut beda dengan pengemis
Badut dan pengemis sama-sama berada di jalanan untuk mencari nafkah.
Walau sama-sama hidup di jalanan, menurut Ahmad, dua jenis pekerjaan tersebut tidak dapat disamakan.
“Kalau pengemis itu dia tidak ada modal apa-apa, dia hanya modal 10 jari ini. Memohon belas kasihan orang. Kalau ini kan kita seperti organ tunggal, pakai modal, mereka jual suara dan dibayar. Kita juga jual penampilan, menghibur, kita dikasih syukur nggak juga nggak apa-apa,” kata Ahmad.
Bahkan, kata dia, badut yang terorganisir hanya tampil ketika mendapat undangan menghibur di sebuah acara.
“Hanya kita ini kan mandiri (badut mandiri). Jadi kalau dikatakan pengemis saya nggak setuju, beda. Pengemis itu beda dengan badut,” katanya.
Sambil berkata demikian, Ahmad menjelaskan bahwa meskipun menjadi badut, dia tetap sambil mencari-cari kesempatan kerja di bidang lain, syukur-syukur yang yang sesuai dengan keahliannya.
“Kalau ada yang ngajak kerja yang halal saya jabanin kok, saya bukan nggak berusaha. Bahkan segala segi pekerjaan itu saya ikuti yang penting itu pantas dikerjakan manusia,” kata dia.
Badut dan pandangan publik
Bagaimana perspektif pekerja badut terhadap pandangan masyarakat terhadap mereka? Ahmad berpikir sejenak sebelum menjawabnya.
Berangkat dari pengalaman yang dirasakan selama ini, Ahmad kemudian menyampaikan pandangannya.
“Nggak bisa ambil satu kesimpulan. Hanya saja yang pasti, sebagian orang masih suka, sebagian orang acuh, sebagian orang mungkin nggak peduli. Sebagian orang mengejek (pekerjaan membadut).”
“Tapi diakan nggak tahu bagaimana kehidupan kita, dia hanya tahu kehidupannya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana sulitnya orang pengen kerja, bagaimana begitu banyak orang pengen kerja, tapi nggak bisa. Kepedulian itu sudah jarang. Mereka hanya berpikir bagaimana cara saya bisa hidup. Orang lain mau mati mau nggak, sudah masa bodoh. Itu (pandangan) sudah pada umumnya.”
Bagaimana kalau nanti dilarang?
Ahmad belum pernah terkena razia yang dilakukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja.
Selama ini dia selalu mencari tempat untuk bekerja yang kecil kemungkinan ditertibkan petugas pemerintah daerah.
“Ponakan pernah (dirazia) di samping kantor polsek, daerah Kemang, Rawalumbu. Pas keluar dari perumahan dia ditangkap Satpol PP dan nginap satu malam. Alasannya macam-macam.”
Dia berharap andaikata ada larangan praktik badut di jalan raya, harus diterapkan tanpa pandang bulu dan alasannya jelas serta memberikan solusi bagi orang-orang kecil.
“Jangan begitu ada orang ini (badut) ditangkap, padahal orang mengganggu, tidak bikin macet, tidak membuat orang ketakutan. Tidak ada yang merasak terusik dengan adanya badut.”
Dia berharap praktik badut jangan pernah dilarang-larang, apalagi dalam kondisi ekonomi sekarang, karena ada begitu banyak orang yang tidak punya pilihan.
Tak terasa cukup lama kami ngobrol.
Pelan-pelan, Ahmad mengangkat kepala badut tokoh film Boboiboy dan kemudian memakainya. Lalu dia berjalan menuju bagian tengah persimpangan jalan dekat bundaran. Setelah melambai-lambaikan tangan tanda salam kepada saya, Ahmad segera tenggelam dalam kesibukan di tengah lalu lalang kendaraan.
Sambil membalas lambaian tangan Ahmad, saya teringat ucapannya. “Yang saya yakin pasti, Allah pasti ngasih jalan, walaupun (rezeki) sedikit, ya tetep ada jalan insya Allah. Yang penting saya nggak milih-milihlah kerja.”