Hidup di Singapura, Tempat Tinggal Terbaik selama Wabah Covid-19?

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Sabtu, 01 Mei 2021 | 19:28 WIB
Hidup di Singapura, Tempat Tinggal Terbaik selama Wabah Covid-19?
ILUSTRASI - Merlion Tertinggi di Singapura (Google Maps)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tatkala banyak negara menghadapi lonjakan kasus covid-19, satu pulau kecil di benua Asia muncul sebagai tempat terbaik untuk ditempati selama pandemi corona global.

Pekan ini, Singapura memuncaki Peringkat Ketahanan Covid yang disusun Bloomberg, mengalahkan Selandia Baru yang menguasai peringkat itu selama berbulan-bulan sebelumnya.

Parameter dalam daftar itu meliputi jumlah kasus Covid-19 dan keleluasaan dalam gerak sosial.

Bloomberg menyebut program vaksinasi yang efisien di Singapura dibandingkan dengan vaksinasi yang lambat di Selandia Baru sebagai alasan utama perubahan posisi teratas peringkat itu.

Baca Juga: Makin Menggila, India Catat Lebih Dari 400 Ribu Kasus Baru Corona Sehari

Jadi, bagaimana rasanya tinggal di tempat terbaik di dunia selama masa Covid yang tidak pasti ini?

Oke, sebagian besar benar. Kehidupan di Singapura bisa disebut sangat baik - meskipun saya mengatakan ini dengan beberapa catatan.

Dalam beberapa bulan terakhir, selain wabah kecil yang dengan cepat diberantas, hampir tidak ada kasus Covid-19 harian - meskipun baru pekan ini beberapa kasus baru muncul dan pembatasan segera diperketat.

Aturan perjalanan yang ketat dan keamanan perbatasan berarti bahwa kasus-kasus dari luar negeri biasanya langsung dicegah ketika mereka yang tiba dan dinyatakan positif Covid-19 langsung dibawa ke tempat isolasi.

Selain penerapan kebijakan "pemutus sirkuit" selama dua bulan di awal tahun lalu, kami tidak pernah harus mengunci diri lagi.

Baca Juga: Menaker Minta Peringatan May Day Diisi dengan Kegiatan Positif

Hidup ini hampir normal: Saya bisa bertemu keluarga saya kapan saja atau bertemu teman untuk makan malam di restoran, meski kami tidak bisa berkumpul dengan lebih dari delapan orang.

Masker wajib dipakai di mana-mana, bahkan di luar ruangan, meski Anda bisa melepasnya saat berolahraga atau makan.

Banyak dari kami kembali bekerja di kantor dengan menerapkan jaga jarak sosial, dan Anda dapat menonton film, menonton konser, atau berbelanja - selama Anda mengenakan masker dan mendaftar di aplikasi pelacakan kontak.

Sekolah dan pusat penitipan anak buka, dan pada akhir pekan saya dapat membawa anak-anak saya ke mana saja - meskipun banyak tempat telah mengurangi kapasitas untuk memastikan jarak sosial.

Jadi merencanakan akhir pekan sama seperti mempersiapkan latihan militer (saya adalah prajurit yang malang, anak-anak saya adalah jenderal).

Sekitar 15% dari populasi kami telah divaksinasi penuh sejak awal tahun.

Statistik ini sebagian disebabkan oleh jumlah penduduk yang kecil - Singapura hanya memiliki enam juta penduduk - tetapi juga karena program vaksinasi yang berjalan dengan baik, kepercayaan yang tinggi pada pemerintah, dan berkurangnya keraguan akan vaksin.

Jadi kami aman, dan baik-baik saja - kewajiban mengenakan masker, pelacakan kontak yang agresif, dan pembatasan perjalanan dan pertemuan besar yang berkepanjangan telah membantu, seperti halnya fakta bahwa kami adalah pulau dengan perbatasan yang mudah dikendalikan, cadangan keuangan yang besar, dan sistem yang sangat efisien.

Namun pada saat yang sama, ada ketidak-nyamanan yang mendalam terkait gagasan bahwa Singapura adalah tempat terbaik untuk ditinggali saat ini.

Banyak warga Singapura menikmati keleluasaan bergerak, tetapi itu tidak terjadi pada ratusan ribu pekerja migran yang sebagian besar masih terkurung di tempat kerja dan asrama mereka, menyusul wabah massal tahun lalu karena kondisi ruang hidup yang sempit dan tidak sehat.

Mereka harus mendapat izin dari bos mereka jika mereka ingin meninggalkan asrama, dan kebanyakan hanya bisa bersosialisasi di pusat rekreasi yang disetujui pemerintah.

Semua ini diperlukan untuk melindungi seluruh negeri karena ada risiko "nyata dan signifikan" dari wabah lain di komunitas mereka, kata pemerintah.

Ini tidak salah, mengingat banyak pekerja terus tinggal di permukiman yang lebih padat daripada kebanyakan warga Singapura, bahkan setelah upaya untuk memperbaiki akomodasi mereka.

Tapi hal itu juga menggarisbawahi fakta pahit bahwa dari semua pembicaraan tentang kesetaraan, Singapura masih merupakan masyarakat yang sangat menerapkan segregasi.

Ini "memalukan dan diskriminatif", kata aktivis hak-hak migran Jolovan Wham.

"Karena pekerja migran tidak memiliki kekuatan politik, entah bagaimana menjadi dapat diterima secara sosial bahwa mereka menanggung beban kegagalan kebijakan kami.

"Selandia Baru mungkin juga berada di dekat bagian atas daftar Ketahanan Covid, tetapi tidak menginjak-injak hak-hak masyarakat. Ini bukan hanya tentang hasil, tetapi cara kita sampai di sana."

Pandemi juga terus meninggalkan bekas luka pada keluarga kurang mampu dan berpenghasilan rendah.

Pemerintah telah menggelontorkan jutaan dolar untuk menopang ekonomi dan membantu keluarga yang membutuhkan, namun tingkat pengangguran tetap rendah.

Akan tetapi angka-angka itu tidak menceritakan kisah lengkapnya.

Beberapa pekerja mengalam pemotongan gaji, dan banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan kini bekerja sebagai pengantar makanan atau supir.

"Ini genting, dan perasaan tidak tahu berapa banyak yang bisa Anda hasilkan hari itu, itu bisa sangat membuat stres. Mereka juga mudah tergantikan. Jadi, ini karena kurangnya jaminan sosial," kata pekerja sosial Patricia Wee.

Stres ini kemudian dapat berdampak pada keluarga dengan "cara yang berbahaya", tambahnya.

Kasus kekerasan dalam keluarga, misalnya, semakin meningkat, bahkan setelah karantina wilayah.

Sangkar berlapis emas

Bahkan bagi kami yang menikmati hak istimewa akan kebebasan dan penghasilan yang stabil, ada beberapa kerugian.

Privasi yang kami miliki sebelum pandemi di negara yang sangat diawasi ini semakin berkurang.

Kami menerima bahwa kemanapun kami pergi, kami harus menggunakan aplikasi atau membawa token yang melacak keberadaan kami dan orang-orang yang kami hubungi, meskipun pemerintah mengatakan datanya dianonimkan.

Covid-19 telah menyebabkan peningkatan pengawasan lebih lanjut tanpa banyak perdebatan publik.

Banyak yang setuju dengan argumen pemerintah bahwa hal itu diperlukan dalam krisis, tetapi beberapa telah memperingatkan potensi penyalahgunaan data yang begitu besar.

Ketika pemerintah baru-baru ini mengakui bahwa mereka mengizinkan polisi menggunakan data ini untuk tujuan selain pelacakan kontak, meskipun ada jaminan privasi sebelumnya, kurangnya transparansi ini membuat marah beberapa orang.

Banyak juga yang merasa berada di apa yang disebut sebagai sangkar berlapis emas, berkat aturan karantina yang ketat di Singapura dan di tempat lain yang telah mengesampingkan perjalanan yang mudah untuk saat ini.

Artinya, banyak dari kami masih belum bisa melihat langsung orang yang kita cintai di negara lain.

Hidup di negara kota yang padat tanpa pedalaman, membuat banyak orang di Singapura terbiasa bepergian ke luar negeri, bahkan jika itu hanya perjalanan akhir pekan ke pulau terdekat di Indonesia atau ke kota-kota perbatasan Malaysia yang berdekatan.

Hal ini tidak mungkin lagi, jadi puluhan ribu warga Singapura bepergian dengan kapal pesiar entah kemana, sementara hotel dipesan untuk "staycation".

Kabar bahwa Singapura membuka perjalanan dengan Hong Kong, setelah percobaan yang gagal tahun lalu, disambut dengan kegembiraaan.

Namun ada perasaan fatalisme setelah adanya laporan kasus baru di kedua kota pada pekan ini.

Rasa bersalah orang yang selamat

Sulit untuk mengeluh tentang kejenuhan, mengingat bagaimana virus masih menyerang beberapa bagian dunia.

Beberapa dari kami, seperti penulis Sudhir Thomas Vadaketh yang memiliki keluarga di India - negara yang sedang diterpa gelombang kedua yang parah - merasakan sesuatu yang mirip dengan "rasa bersalah orang yang selamat" saat mereka menyaksikan orang yang mereka cintai menderita dari kejauhan.

"Rasanya aneh bahwa situasi di beberapa negara di planet ini benar-benar seperti neraka, sementara di sini kita menantikan gelembung perjalanan.

"Rasanya tidak bermoral bahwa kita melakukannya dengan sangat baik dan menikmati hidup kita sementara kita telah terlindungi, dan negara lain melakukannya dengan sangat buruk," ujarnya.

"Singapura adalah kota yang menjadi kaya karena globalisasi. Mengingat konektivitas dan sifat pembangunan ekonomi kami, saya merasa bahwa kami memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar [untuk peduli dengan negara lain]."

Banyak orang di Singapura akan mengatakan bahwa, untuk saat ini, kami hanya bersyukur dan lega menghadapi pandemi global yang berbahaya dalam gelembung kecil yang aman ini.

Pemerintah Singapura telah berulang kali menekankan bahwa negara tersebut harus dibuka kembali demi kelangsungan ekonomi, dan telah mulai melonggarkan pembatasan bagi pelancong dari beberapa tempat seperti China daratan dan Australia.

Singapura akan sepenuhnya bergabung kembali dengan seluruh dunia suatu hari nanti - dan itu akan menjadi ujian sejati kami untuk ketahanan Covid.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI