Suara.com - Tanggal 28 April diperingati sebagai hari Puisi Nasional, Hari yang selalu diidentikan dengan kepergian salah satu penyair termasyur tanah air yakni Chairil Anwar. Bagaimana sejarah Hari Puisi Nasional terjadi?
Pada 28 April tahun 1949 Indonesia berduka melepas kepergian salah satu pujangga terbaik yang pernah dimiliki, Chairil Anwar meninggal pada usia yang sangat muda yakni 26 tahun karena tuberculosis.
Berikut adalah ulasan yang akan membahas tentang Hari Puisi Nasional.
Sejarah dan Perayaan Hari Puisi Nasional
Baca Juga: Profil Chairil Anwar, Penyair Legendaris Meninggal Hari Ini 72 Tahun Silam
Sejarah hari puisi nasional sendiri bermula saat pemerintah Jepang yang melarang adanya perkumpulan atau organisasi yang dibuat oleh rakyat Indonesia, kala itu para seniman tanah berkumpul untuk menemui Soekarno dengan tujuan meminta bantuan agar para seniman memiliki wadah dimana mereka bisa menuangkan karyanya.
Tepatnya pada tahun 6 Oktober 1942 Soekarno menunjuk Sanusi Pane untuk memimpin pendirian Pusat kesenian Indonesia yang bertujuan untuk memperbaiki dan menyesuaikan kesenian yang sudah ada menjadi kesenian Indonesia Baru.
Karena Jepang merasa masih membutuhkan hubungan timbal balik yang cukup baik mereka pun mendirikan pusat kebudayaan pada 1 April 1943 untuk tetap bisa memantau kegiatan kesenian di bawah naungan Jepang.
Perayaan yang murujuk pada hari kematian Chairil Anwar yang dirayakan dalam setahu sekali ini umumnya akan diperingati dengan sayembara puisi yang diikuti oleh penyair dari seluruh penjuru tanah air untuk mengenang perjuangan Chairil Anwar melalui pusi-puisinya
Sosok Chairil Anwar
Baca Juga: Hari Puisi Nasional: 4 Penyair Indonesia yang Wajib Kamu Baca Bukunya
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang lahir di Medan pada 26 Juli 1992, ia adalah anak semata wayang dari pasangan Toeloes dan Soleha. Ayahnya adalah seorang Bupati Indragiri yang tewas pada salah satu peristiwa berdarah tanah air yang kita kenal degan pembantaian Rengat.
Chairil Anwar memulai pendidikan dasar pada Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau yang dikenal dengan sekolah dasar orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Kemudian ia melanjutkan jenjang selanjutnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Hal yang cukup mengejutkan keluar dari Mulut Chairul Anwar saat ia berusia 15 tahun, ia berkata kepada ibunya bahwa ia tidak ingin melanjutkan sekolah dengan alasan ia ingin memantapkan diri untuk fokus menjadi seniman.
Karena sedari kecil ia terbiasa mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tuanya maka ia diperbolehkan untuk memilih hal tersebut.
Sedari kecil sampai remaja Chairil Anwar menetap di Medan sebelum akhirnya ia dan ibunya berpindah ke Jakarta 1940, perlahan tapi pasti ia mulai menekuni hal tersebut.
Buku demi buku pun ia lahap, pasalnya tak hanya buku karangan orang Indonesia sendiri, buku-buku dengan bahasa asing pun juga ia baca. Faktanya Chairil Anwar menguasai 3 bahasa asing yaitu, Belanda, Inggris dan jerman.
Memiliki wawasan bahasa asing yang cukup luas membuat Chairil Anwar mengidolakan sosok penulis kenamaan di seluruh penjuru dunia seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron, tidak mengherankan jika secara tidak langsung gaya penulisan yang ia miliki terpengaruh oleh sosok-sosok di atas.
Kecintaanya pada dunia sastra Ia buktikan dengan meriliskan puisi pertamanya yang ia riliskan tepat dua tahun semenjak kepindahannya dari Medan, yakni pada tahun 1942 dengan judul “Nisan”
Puisi Chairil Anwar – “Nisan”
Nisan
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Oktober, 1942
Itulah sejarah Hari Puisi Nasional yang diperingati setiap tanggal 28 April, bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Chairil Anwar.
Kontributor : Dhea Alif Fatikha