Rumah Achmad Soebardjo dan Polemiknya: Kami Sudah Tidak Mampu Merawatnya

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 28 April 2021 | 14:11 WIB
Rumah Achmad Soebardjo dan Polemiknya: Kami Sudah Tidak Mampu Merawatnya
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keluarga tokoh proklamasi Indonesia, Achmad Soebardjo, berkukuh menjual rumah berumur ratusan tahun yang pernah jadi kantor pertama Kementerian Luar Negeri, termasuk jika pemerintah berniat mengubahnya sebagai museum.

Kalangan pemerhati sejarah berharap rumah era kolonial Belanda yang berada di kawasan Cikini, Jakarta, itu tidak dihancurkan, tapi seorang anggota Tim Cagar Budaya DKI ragu pemerintah bersedia membelinya.

"Kami tidak mampu mengurus rumah ini lagi, ya sudah kami lepas saja," kata Laksmi Pudjiwati Insia, anak pertama Soebardjo.

Laksmi berusia sembilan tahun saat bersama ayah, ibu, dan tiga saudara kandungnya pindah ke rumah itu tahun 1942.

Baca Juga: TACB Metro akan Terbitkan Buku Sejarah Lokal dan Cagar Budaya Lampung

Laksmi menyaksikan dengan matanya sendiri kesibukan Soebardjo pada hari-hari jelang dan sesudah proklamasi.

"Dulu kami menyewa rumah di Jalan Palem, tapi karena sewanya sudah habis, kami harus pindah," ujar Laksmi.

"Waktu itu pasukan Jepang baru saja datang, jadi di daerah ini banyak rumah yang ditinggalkan pemiliknya.

"Rumah ini waktu itu kosong dan kelihatannya terlalu besar. Rupanya dulu yang punya orang Inggris, lalu dijual ke orang Belanda. Pemilik terakhir ini ditahan Jepang," ucapnya.

Peran sentral Soebardjo untuk kemerdekaan Indonesia diakui secara resmi. Dia diangkat menjadi pahlawan nasional tahun 2009.

Baca Juga: Merenovasi Cagar Budaya Bunker Tegalsari, Disulap Jadi Public Space

Pada 16 Agustus 1945, Soebardjo beranjak dari rumahnya untuk menjemput golongan tua di Rengasdengklok. Dia lalu turut menyusun naskah proklamasi yang dibacakan Sukarno di Pegangsaan Timur keesokan harinya.

Rumah Sukarno dan Soebardjo berjarak sekitar satu kilometer. Namun rumah Sukarno itu kini sudah berubah rupa menjadi Tugu Proklamasi.

Laksmi ingat pula bagaimana rumahnya hiruk-pikuk dengan urusan diplomasi saat ayahnya ditunjuk menjabat menteri luar negeri.

Namun masa-masa itu sudah berlalu. Rumah itu kini lowong. Halaman depan dan belakangnya tidak terawat.

Bangunan di sisi samping dan belakang rumah Soebardjo juga remuk di beberapa bagian, termasuk yang pernah diinapi Tan Malaka, tokoh pergerakan nasional era kolonial.

Fakta soal Tan Malaka itu ditulis Achmad Soebardjo dalam memoarnya yang berjudul Kesadaran Nasional, Sebuah Autobiografi.

Rumah Soebardjo dikelilingi sejumlah pohon besar yang menjulang tinggi. Dibandingkan bangunan di sekitarnya, rumah berarsitektur kolonial itu terlihat sangat mencolok.

Jalan Cikini Raya kini dijejali bangunan berbagai komersial, termasuk apartemen setinggi nyaris 40 lantai. Dua restoran cepat saji internasional juga hanya beberapa langkah dari rumah keluarga Subardjo.

Mengapa dijual?

"Sebelum ibu kami meninggal, dia menulis wasiat bahwa rumah ini sebaiknya dijual untuk kesejahteraan anak-anak dan cucunya," kata Laksmi.

"Saya juga semakin tua. Kami tidak bisa memeliharanya. Mahal.

"Saya sekarang janda, saya tidak kuat membiayainya. Jadi lebih baik memang dijual. Saya punya anak dan cucu yang perlu saya pikirkan juga," ucapnya.

Soebardjo dan istrinya, Raden Ayu Poedji Astuti, memiliki lima anak, dua di antaranya sudah wafat. Dari anak-anaknya, Soebardjo dikaruniai 12 cucu.

Anak kelima Soebardjo, Dewi Seribudiarti, menyebut keluarganya telah mengontak pemerintah terkait rencana menjual rumah itu.

Dewi berkata, mereka membahasnya saat beberapa kali berjumpa Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.

Sebuah surat dari keluarga besar Soebardjo juga diklaimnya sudah dikirim ke Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Tak lama usai kabar penjualan rumah Soebardjo viral di media sosial, Dewi berkata Kepala Dinas Kebudayaan DKI, Iwan Wardhana, mendatangi mereka.

Iwan, kata Dewi, yakin rumah Soebardjo pantas diberi status cagar budaya. BBC Indonesia telah berusaha mengonfirmasi ini kepada Iwan, tapi belum mendapat tanggapan.

"Kalau pemerintah berniat menjadikan rumah ini museum atas nama ayah kami, kami bersyukur, karena masyarakat bisa mengenang dan mengetahui perjuangan ayah," kata Dewi.

"Tapi kalau tidak, ya kami menunggu pihak swasta saja," tuturnya.

Pada seremoni napak tilas Kementerian Luar Negeri tahun 2016, Menlu Retno Marsudi menyebut kediaman Achmad Soebardjo sangat bersejarah.

Retno berkata, rumah itu menjadi saksi bagaimana Soebardjo merekrut sejumlah pegawai pertama Kemlu. Seperti dilansir Kompas.com, Retno menilai rumah itu vital dalam diplomasi kemerdekaan Indonesia.

"Langkah diplomasi Indonesia merdeka dimulai dari rumah ini," kata Retno.

"Tugas pertama bapak Achmad Soebardjo saat itu mendapatkan pengakuan dan dukungan untuk Indonesia. Tentunya informasi kemerdekaan disampaikan seluasnya kepada seluruh negara di dunia,"

Cucu Soebardjo, Hutomo Said, menyebut tagihan pajak bumi dan bangunan bukan faktor yang mendorong keluarganya menjual rumah itu.

Isu ini mencuat di publik merujuk kasus penjualan rumah bergaya kolonial lain di Jalan Cik Di Tiro, Menteng beberapa tahun lalu. Sari Shudiono, pemilik lama rumah itu, mengaku tak sanggup membayar PBB sebesar Rp16 juta per tahun.

Sejak tahun 2019, rumah Soebardjo tidak lagi dibebankan pajak, seiring kebijakan Anies Baswedan membebaskan keluarga pahlawan dari PBB.

"Kami sudah bayar lunas tagihan pajak yang tersisa. Aturan baru itu berlaku sampai keturunan ketiga atau anak saya," kata Hutomo.

"Tapi tinggal di rumah sebesar ini untuk keluarga zaman sekarang kurang ada manfaatnya. Selain segi pemeliharaan, kawasan ini juga sudah untuk komersial. Kurang layak untuk hidup layak.

"Apalagi kami semua masing-masing sudah punya rumah," ujarnya.

https://twitter.com/hikmatdarmawan/status/1381469710106062851

Laksmi mempersilakan pemerintah maupun swasta membeli rumah itu. Walau tak memaksa, ia merasa rumah itu pantas menjadi pengingat jasa ayahnya, seperti kediaman sejumlah pahlawan nasional lain.

"Siapa saja yang duluan membeli. Adik saya sakit. Dia perlu berobat secara serius. Biayanya mahal," kata Laksmi.

Tapi mungkinkan pemerintah membeli dan dan menjadikan rumah Soebardjo sebagai museum?

"Agak susah kalau pemerintah provinsi yang membeli," kata Chandrian Attahiyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.

"Membeli rumah itu harus pakai APBD dan perlu persetujuan dewan. Jadi perlu waktu dan kesabaran.

"Tapi kalau akhirnya rumah itu tetap dijual dan pembelinya punya niat untuk melestarikan, tidak akan ada masalah," ujar Chandrian.

Anggota Komisi A DPRD DKI, William Sarana, bilang bahwa APBD tahun 2021 tidak memuat anggaran pembelian bangunan cagar budaya.

Walau menilai rumah Soebardjo patut dilestarikan, dia menyebut Pemprov DKI harus berhati-hati memanfaatkan anggaran jika memang berencana membeli rumah tersebut.

"Setahu saya belum ada pengalokasian anggaran khusus untuk itu," kata William.

"Pada prinsipnya saya setuju bahwa sejarah dan budaya harus dijaga. Namun karena anggaran yang harus dialokasikan cukup besar, maka benar-benar harus diperhatikan penghitungannya dan mengedepankan prinsip kehati-hatian," ucapnya.

Merujuk UU 11/2010, cagar budaya dapat beralih kepemilikan dan dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan, dari pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata.

Chandrian berkata, timnya tengah menelaah apakah rumah Soebardjo dapat ditetapkan sebagai cagar budaya.

Kalau status itu nantinya melekat, dia menyebut pemilik harus selalu berkonsultasi Pemda DKI saat hendak melakukan perubahan bangunan maupun fungsi.

Jika perubahan dilakukan tanpa konsultasi, pemilik dapat dijatuhi pidana maksimal lima tahun atau denda paling maksimal Rp1 miliar.

Namun dalam berbagai kasus hilangnya berbagai bangunan cagar budaya di Jakarta, Chandrian menyebut tidak pernah ada orang yang dijatuhi hukuman tersebut.

Padahal, menurutnya, tidak sedikit sejumlah bangunan bersejarah di ibu kota yang 'hilang' seiring bertumbuhnya kebutuhan ruang bisnis Jakarta.

"Perubahan terjadi cepat seiring kebutuhan ekonomi. Tapi kami ingin cagar budaya tetap dipertahankan meski diberi fungsi baru," kata Chandrian.

"Seumur hidup saya, saya belum pernah melihat sanksi itu dijatuhkan kepada yang melanggar," ucapnya.

Bagaimana pelestarian rumah bersejarah lain di Jakarta?

Dua kilometer dari rumah Soebardjo berdiri Museum Sumpah Pemuda. Rumah di jalan Kramat Raya ini pada 28 Oktober 1928 adalah lokasi Kongres Pemuda Kedua yang dihadiri lebih dari 700 orang.

Atas masukan sejumlah tokoh yang hadir dalam kongres tersebut, pada tahun 1972 rumah milik Sie Kong Lian itu ditetapkan sebagai cagar budaya.

Yang mengeluarkan keputusan adalah Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin.

Saat ini pengelolaan museum itu diambil alih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Eko Septian Saputra, Kurator Museum Sumpah Pemuda.

Eko berkata, ketika dijadikan museum, kepemilikan rumah dan tanah tetap dimiliki ahli waris Sie Kong Lian. Mereka tidak menerima keuntungan apapun dari status cagar budaya ataupun operasional museum.

Belakangan, kata Eko, para ahli waris menghibahkan kepemilikan itu kepada pemerintah.

"Dulu belum ada serah terima dari keluarga ke Pemda DKI. Tapi mereka senang saja rumah mereka jadi museum," ujar Eko.

"Baru tahun 2000-an ini keluarga mengurus agar tanah dan bangunan diserahkan ke pihak Museum Sumpah Pemuda. Sekarang sertifikasi sedang berjalan,"

Pertanyaannya kini, apa dampaknya bagi publik jika rumah Achmad Soebardjo diubah atau bahkan dirubuhkan? Dan akankah dampak itu juga dirasakan generasi penerus keluarga Soebardjo?

BBC Indonesia menanyakan ini pada Sven Verbeek Wolthuys. Dia adalah penulis bukuLost Jakarta.

Buku itu merupakan hasil riset selama hampir 30 tahun tentang jejak leluhurnya di Batavia.

Kakek buyutnya adalah Wim van Garderen, direktur perusahaan asuransi Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ).

Sven berkata, ia harus tenggelam dalam berbagai arsip dan melakukan riset lapangan berbiaya mahal dari Belanda ke Jakarta untuk menemukan sejarah leluhurnya.

Kesulitan yang paling menghambat risetnya, kata Sven, adalah hilangnya banyak bangunan bersejarah di Jakarta.

Sven khawatir generasi mendatang harus melalui beragam rintangan itu saat ingin mengetahui kisah Achmad Soebardjo atau masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.

"Saya kenal banyak orang yang tidak tahu siapa kakek-nenek mereka, pekerjaan bahkan di mana mereka tinggal," ujarnya.

"Memang ada orang-orang yang sama sekali tidak tertarik pada masa lalu. Mereka hanya peduli pada apa yang mereka hidupi sekarang.

"Tapi saya menghabiskan banyak waktu untuk riset. Saya tidak punya waktu untuk menonton film seperti teman-teman sebaya saya. Saya tidak tahu banyak banyak hal. Itu pengorbanan saya," kata Sven.

"Rumah itu mungkin tidak cocok lagi jadi rumah tinggal, tapi bisa jadi museum agar generasi mendatang bisa mempelajari peran Subardjo dan diplomasi Kemlu untuk kemerdekaan Indonesia," ucapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI