Suara.com - Satgas TNI/Polri hingga kini masih melakukan pengejaran terhadap kelompok pro-kemerdekaan Papua yang terlibat baku tembak dalam konflik bersenjata terbaru di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, yang membuat jenderal bintang satu TNI meninggal dunia.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk "mengejar dan menangkap seluruh anggota" dari apa yang disebutnya sebagai kelompok kriminal bersenjata, seraya menegaskan "tidak ada tempat" bagi kelompok tersebut di Papua.
Namun, Ketua Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adriana Elisabeth, mengatakan insiden terbaru dalam konflik bersenjata antara TNI dan kelompok pro-kemerdekaan Papua, berpotensi memicu "aksi balasan" yang membuat siklus kekerasan terus berulang.
Kendati begitu, ia mengatakan insiden ini bisa jadi momentum bagi pemerintah untuk "mengevaluasi pendekatan" dan menentukan cara yang tepat untuk menyelesaikan konflik bersenjata di wilayah itu.
Baca Juga: Gugur Ditembak KKB, Berikut Profil Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha
- Kekerasan bersenjata di Papua 'meluas', Polri-TNI dan OPM diminta 'hentikan baku tembak'
- Wacana OPM ditetapkan jadi kelompok teror diduga bakal picu berbagai kesewenang-wenangan yang korbankan warga sipil
- Pemerintah akan tambah dana dan jumlah provinsi, ‘Untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan?'
Perwira tinggi TNI pertama yang meninggal di Papua
Kepala BIN Daerah Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha tewas ditembak dalam insiden yang terjadi pada Minggu (25/04). Mendiang merupakan perwira tinggi TNI pertama yang meninggal dalam konflik di Papua.
Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka mengeklaim "bertanggung jawab" atas penembakan itu, seperti diutarakan oleh juru bicara TPNP-OPM Sebby Sambom.
"TPNPB bertanggung jawab atas penembakan itu karena wilayah itu wilayah perang dan TPNPB sudah umumkan bahwa wilayah perang kami adalah Puncak Jaya, Lani Jaya, Ndugama, Timika dan Tembagapura," ujar Sebby via sambungan telpon.
Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi sekaligus juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengungkapkan kontak tembak tersebut terjadi ketika apa yang disebutnya sebagai "Kelompok Separatis dan Teroris" Papua, melakukan penghadangan dan penyerangan terhadap rombongan kepala BIN Papua.
"Kehadiran Kabinda Papua di Kampung Dambet adalah dalam rangka observasi lapangan guna mempercepat pemulihan keamanan pasca aksi brutal Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua di wilayah tersebut," ujar Wawan.
Baca Juga: Pemakaman Kabinda Papua di TMP Kalibata akan Berlangsung Tertutup
Ia menambahkan kunjungan tersebut juga bertujuan sebagai upaya untuk "meningkatkan moril dan semangat" warga yang selama ini terganggu oleh "kekejaman dan kebiadaban Kelompok Separatis dan Teroris Papua".
Lebih lanjut, Wawan menjelaskan bahwa insiden tersebut bermula saat patroli Satgas BIN bersama dengan Satgas TNI/Polri melakukan perjalanan menuju Kampung Dambet di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.
Sekitar pukul 15.50 waktu setempat, rombongan itu dihadang oleh kelompok TPNPB-OPM yang dikepalai Lekagak Telenggen, sehingga terjadi aksi baku tembak di Kampung Dambet.
"Akibat kontak tembak tersebut Kabinda Papua tertembak dan gugur sebagai pahlawan di lokasi kejadian," kata Wawan.
Menanggapi penembakan terhadap Kabinda Papua, Ketua Kajian Papua dari LIPI Adriana Elizabeth mengatakan "pertama kali ada perwira yang kemudian menjadi korban" dalam konflik Papua. Ia menyatakan kekhawatirannya atas potensi "aksi balasan" yang mungkin terjadi.
"Seperti juga sering berulang kali terjadi di wilayah Pegunungan Tengah itu bahwa kalau ada aparat keamanan yang jadi korban, pasti akan langsung dicari pelakunya. Itu nanti akan terus seperti itu siklusnya," ujar Adriana.
"Apalagi ini seorang Kabinda, pejabat negara pula yang bertugas di Papua."
Ditetapkan jadi kelompok teror
Akhir Maret lalu, wacana menetapkan TPNPB-OPM sebagai kelompok teror sempat mengemuka dan menuai pro dan kontra. Sebab, dinilai akan memicu kriminalisasi banyak warga sipil dengan tuduhan terlibat separatisme.
Selama ini, TPNPB-OPM dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Label "kelompok separatisme dan terorisme" digaungkan kembali oleh juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto.
Ia beralasan lembaganya mengategorikan TPNPB-OPM sebagai kelompok separatis dan teror. Sebab, menurutnya, kelompok itu telah membunuh sejumlah warga sipil dan guru, serta membakar rumah dan sekolah selama tiga pekan konflik berkepanjangan di Beoga.
"Yang jelas itu sudah bukan hanya menyerang aparat keamanan semata, maka kami lihat ini sudah bukan lagi kriminal biasa, sudah teror ini, teroris."
"Maka dari hasil analisis Badan Intelijen Negara menyebutnya sebagai kelompok separatis dan teroris Papua," jelas Wawan, seraya menambahkan "aksi brutal" tersebut adalah "pelanggaran berat".
Dalam keterangan tertulis menanggapi insiden terbaru di Beoga, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah segera "mengambil sikap tegas" dan "mempertimbangkan status KKB di Papua menjadi kelompok teroris".
Ia beralasan, kelompok tersebut telah mengancam keamanan masyarakat dan menciptakan rasa takut bagi warga sipil dikarenakan tindakan teror yang dilakukan oleh KKB.
"Seperti tindakan berupa ancaman kekerasan dan penggunaan senjata api yang menimbulkan efek ketakutan yang luas di tengah masyarakat," ujar Bambang.
Maka dari itu, menurutnya, KKB harus ditindak berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketika dimintai tanggapan, juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengaku "bangga" dengan label kelompok separatis, sebab tujuan perjuangan kelompoknya adalah untuk memisahkan diri.
"Tapi kalau disebut teroris itu kan tidak mungkin, dunia tidak mungkin akui Indonesia juga kata-kata itu," cetusnya.
Akan tetapi, Ketua kajian Papua di LIPI, Adriana Elizabeth menegaskan "mengubah nama tidak otomatis menyelesaikan persoalan".
"Kalau menurut saya lebih baik kita memahami akar separatis Papua. Di mana-mana, di banyak negara yang alami kasus serupa, itu biasanya akarnya politik dan ekonomi," ungkap Adriana.
Lebih lanjut, Adriana mengatakan adanya perubahan pelaku pada anggota kelompok-pro kemerdekaan belakangan dengan banyak anggota usia muda "lebih militan".
"Apakah semua itu berbasis pada ideologi merdeka? Saya melihat aksinya lebih banyak kriminalitas dan premanisme. Apakah sudah tepat menamai kelompok itu sebagai teroris?," katanya.
Alih-alih mengubah nama, kata Adriana, yang terpenting adalah mengetahui akar masalah dan mengevaluasi pendekatan penyelesaian konflik.
"Karena kalau kita lihat kan ini sudah dari 2018 dari kasus Nduga, kasus Tembagapura di Intan Jaya, kemudian sekarang sudah ke Kabupaten Puncak. Ini eskalasinya meningkat. Ada apa? Melihat kondisi ini saja kita harus berpikir kritis apakah kemudian mengubah nama ini menjadi solusi?."
"Harus dievaluasi pendekatan seperti ini apakah masih efektif, kalau mau ditingkatkan seperti apa," ujar Adriana.
'Kejar dan tangkap'
Presiden Joko Widodo menyatakan "duka cita mandalam" atas tewasnya Brigjen TNI I Gusti Putu Danny serta menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal.
Dalam kesempatan yang sama, ia telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap seluruh anggota kelompok kriminal bersenjata.
"Saya tegaskan tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata di tanah Papua maupun di seluruh pelosok tanah air," tegas Jokowi ketika memberikan pernyataan secara daring pada Senin (26/04).
Adapun, juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan saat ini Satgas BIN dibantu unsur keamanan lainnya terus melakukan pengejaran terhadap kelompok tersebut.
"Kita terus melakukan pengejaran bersama aparat kemanan terkait di wilayah Papua, mengidentifikasi dan melakukan terus langkah-langkah mempersempit gerak mereka," kata Wawan.
Wawan mengatakan, "akan ada evaluasi" penambahan pasukan yang dikerahkan di daerah konflik Papua. Sebab, menurutnya ada pertimbangan kepentingan dan kebutuhan lapangan yang mendesak.
"Selanjutnya tetap ada tindakan atau gerakan pengejaran lanjutan dan langkah-langkah yang lebih terstruktur," katanya.
- Masa Pra-Paskah yang 'suram' bagi para pengungsi Intan Jaya
- Masyarakat adat Biak yang terancam tersingkir proyek bandar antariksa pertama Indonesia
- Bayi bernama Pengungsi itu lahir di bawah pohon - fakta dari konflik di Nduga, Papua
Konsekuensi ruang gerak semakin sempit karena pengerahan pasukan yang lebih agresif, dipahami oleh juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, yang menyatakan "siap melayani" aparat Indonesia.
"TNI mau tambah pasukan seribu kah, seratus ribu kah, pasukan satu juta kah, silakan datang. TPNPB-OPM punya tanah kami punya sendiri, kami punya hutan, kami punya alam. Jadi TNI Polri silakan datang, TPNPB siap melayani dan sangat siap sekali," kata dia.
Adriana Elizabeth dari LIPI menegaskan bahwa masyarakat di Papua yang telah lama berkelindan dengan konflik bersenjata antara TNI dan kelompok pro-kemerdekaan, akan semakin tertekan dengan aksi balasan yang kerap terjadi jika serangan satu pihak telah menyebabkan korban jiwa pada pihak lain.
"Masyarakat di daerah sangat khawatir dengan aksi balasan, situasinya akan semakin tidak aman. Tapi mungkin ini momentum untuk pemerintah mengevaluasi pendekatan apa yang tepat untuk menyelesaikan konflik bersenjata di wilayah itu," katanya.