Suara.com - Orang dengan pekerjaan menguras tinja dari septic tank seringkali diremehkan sebagian masyarakat. Cukup beralasankah orang meremehkan bidang pekerjaan mengurusi kotoran manusia?
Baru-baru ini saya ngobrol dengan Tamin, seorang spesialis pembersih feses di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari pengalaman Tamin, saya tersadar tidak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap rendah pekerjaan menguras tempat penampungan kotoran manusia.
Coba bayangkan, apa jadinya dengan kehidupan ini -- katakanlah di perkotaan -- seandainya para petugas sedot tinja tidak ada. Ketika saluran WC di rumah atau tempat-tempat publik mampet karena tersumbat atau septic tank sudah penuh tahi dan kalau tak ada orang-orang seperti Tamin, tentu saja akan terjadi masalah lingkungan. Terutama perkara pencemaran air tanah yang diakibatkan oleh air tinja tak terolah secara baik.
SAYA ngobrol dengan Tamin di depan rumahnya yang sederhana di Kecamatan Gunung Putri pada pekan kedua bulan Ramadhan tahun 2021. Kebetulan siang hari itu belum ada panggilan dari warga yang membutuhkan jasanya sehingga Tamin terlihat santai.
Baca Juga: Kisah Cinta Dua Orang Tunanetra
Sebuah truk tangki penyedot tinja diparkir di depan rumah Tamin, dekat bangku-bangku kayu tempat kami duduk dan ngobrol.
Sebelum benar-benar menekuni pekerjaan sedot tinja, Tamin seorang supir angkutan umum. Pada waktu itu dia hanya menjadikan pekerjaan ini sebagai sampingan. Dia bantu-bantu adiknya yang memang lebih dulu total di bidang pertahian orang.
Sampai pada suatu hari, saudara Tamin mengalami kecelakaan kerja dan meninggal dunia.
Saudara Tamin tersengat listrik bertegangan tinggi pada waktu membobok keramik untuk menangani saluran pembuangan tahi yang tidak berfungsi.
Semenjak itu, Tamin totalitas mendedikasikan diri di bidang penyedotan berak, meneruskan apa yang sudah dirintis saudaranya.
Baca Juga: Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik
“Sebenarnya ini bukan cita-cita karena memang keadaan kalau saya mah,” kata Tamin.
Awal jadi penyedot tinja
Sambil ngobrol, sesekali mata Tamin menoleh ke layar telepon seluler, mungkin dia ingin memastikan apakah ada pelanggan yang menghubunginya atau tidak.
Sejurus kemudian, ingatannya menuju pada masa-masa awal membantu adik bekerja sebagai penyedot tinja.
Tamin menjadi kenek kala itu. Walaupun sebutannya kenek, sebenarnya peran Tamin sama saja dengan adiknya.
Dia tidak hanya membantu memegangi selang, tetapi juga ikut memeriksa isi septic tank, memasang pipa penyedot, setelah pengurasan selesai ikut memastikan apakah bak penampung tahi benar-benar sudah kosong atau belum, ikut memeriksa apakah ada kebocoran klep pada closet atau tidak, sampai ikut membantu mengirim lumpur tinja ke instalasi pengolahan.
Dari sekian pengalaman pada periode pertama pekerjaannya, ada salah satu peristiwa yang paling diingat Tamin. Waktu itu, dia membantu menangani kasus saluran WC tak berfungsi. Tahi pemilik rumah tidak mau masuk ke dalam septic tank, walau sudah diguyur dengan banyak air.
Setelah diperiksa sana sini, barulah ketahuan penyebab saluran WC mampet.
Septic tank ternyata sudah benar-benar penuh. Tamin menyaksikan dari dekat sekali pemandangan tahi di dalam septic tank, ditambah lagi aroma tahi yang belum lama masuk ke sana -- nanti dia akan cerita wujud tinja serta beda bau tahi yang masih baru nyemplung dan yang sudah lama.
“Kalau mampet kan di dalam di closet itu udah penuh. Itu kan kotoran semua. Kita kan nggak sanggup waktu dulu, jember.”
“Pertamakalinya mah kita geli aja gitu. Karena nggak biasa gitu.”
Saya penasaran dan tanya ke Tamin, pernah tidak pada waktu sedang tugas sampai mandi air tinja.
“Nggak pernah. Biasanya Itu bukan dari septic tank itu mah. Kadang-kadang kalau karetnya copot kita bisa kesemprot. Tapi kita belum pernah sih, kan kita hati-hati ngiketnya ini, harus keras, harus bener-bener kenceng. Ini kan tendangannya keras,” kata dia.
Bagian yang paling diwaspadai agar air tinja tidak nyemprot ke luar biasanya pada waktu menembakkan air ke saluran yang sedang mampet atau ketika mengeluarkan isi tangki ke instalasi pengolahan.
“Kalau pas nyedot dari septic tank sih nggak (tidak rawan), kan airnya ngalir lewat pipa langsung ke tangki.”
Tapi kalau pun sekarang misalnya sampai kesembur kotoran manusia, bagi Tamin bukan lagi masalah.
“Ke sini - ke sini kan kita udah biasa. Kita pakai taktik. Buka septic tank, lihat isinya, udah. Setelah itu, vacuum dihidupkan, ya udah tinggal masukin selang ke septic tank. Udah itu, nyedot sendiri dia. Nggak usah dimain-mainin.”
Tapi memang untuk mencapai tingkatan hilang rasa jember pada isi septic tank membutuhkan proses.
“Sekarang mah udah kebiasaan, udah ilang dah jembernya.”
Apa syarat jadi penyedot tinja?
Dari pengalaman Tamin, untuk menjadi seorang petugas penguras tinja tidak membutuhkan kualifikasi tertentu.
Umumnya, mereka menguasai bidang pekerjaan ini dengan cara belajar dari orang lain. Seperti Tamin, dia menjadi mahir karena belajar dari adiknya.
“Cuma ngikutin sama yang ahli aja. Pertama-tama ya belajar aja, ngeliatin orang nyedot bagaimana, gitu. Oh nyedot tuh begini, oh begitu,” kata Tamin.
Selain memperoleh kepandaian dari adik, Tamin juga menyerap pengalaman teman-teman seprofesi yang lain. Misalnya dengan mendengar cerita tentang bagaimana cara menghindari semburan cairan yang memenuhi septic tank saat proses penyedotan, kemudian bagaimana memastikan bak penampungan kotoran sudah benar-benar kosong.
“Dulu pernah juga diajarin sama orang Batak. Itu pas disedot. Dipegang dari jauhan (selang). Terus setelah habis (tahi di septic tank). Disentor lagi (septic tanknya) pakai air bending, baru pakai sabun. Gitu aja.”
Untuk menangani satu unit septic tank, idealnya dibutuhkan dua orang yang disebut Tamin sebagai “kenek sama supirnya.”
“Sendiri juga bisa. Harusnya sih berdua. Kenek ama supirnya aja. Kalau saya kadang berdua ama kenek.”
Pekerjaan menguras septic tank tak membutuhkan banyak sumber daya manusia karena sebenarnya -- dalam situasi normal -- tidak terlalu rumit dan tak butuh banyak peralatan kerja.
“Hanya ini aja. Kan itu ada mesin buat nyedot, mesin vacuum. Pokoknya mesin hidup, tinggal buka keran, udah nyedot,” kata Tamin sambil menunjuk ke arah kendaraan tangki penyedot tinja yang diparkir di depan rumah.
“Septic tank itu kalau udah penuh ya kelihatan, begitu dibuka tutupnya. Udah. Kita sedot.”
Biaya sedot tinja
Biaya jasa penyedotan tinja bervariasi, biasanya ukuran besarannya tergantung tingkat kesulitan yang dihadapi. Ada yang mematok harga Rp350 ribu, ada juga yang Rp450 ribu, bahkan bisa lebih dari itu.
Kalau Tamin biasanya membuka harga dari Rp350 ribu (untuk kondisi normal). Tamin kemudian menjelaskan kenapa harga jasanya sampai sebesar itu. Pertimbangan, antara lain dia mesti mengeluarkan biaya selama perjalanan sampai biaya di tempat pengolahan kotoran.
“Kan begini, kalau buangan di sono (tempat pembuangan/pengolahan kotoran) kan udah mahal. Kadang kita ngasih ke kantor (tempat pembuangan/pengolahan) kan Rp100 ribu bisa buang ke tempatnya. Kadang di jalan kan ada juga yang (minta-minta) namanya juga di jalan. Ya Rp5.000 keluar dah (sekali minta).”
Tapi sebagian warga mengatakan harga tersebut kemahalan dan umumnya mereka akan menawar-nawar sampai mendapatkan harga serendah mungkin.
Mereka yang maunya membayar harga murah untuk mendapatkan layanan mengeduk kotoran dari septic tank, boleh jadi karena mereka belum mengerti lika liku pekerjaan ini.
Besar risikonya
Kita beberapakali membaca atau menyaksikan berita di media tentang kecelakaan kerja yang menimpa penyedot WC.
Misalnya yang terjadi pada awal November 2019 di Jatinegara, Jakarta Timur. Tak lama setelah septic tank dikuras dan kemudian diperiksa dengan cara memasukkan koran yang telah dibakar, tiba-tiba meledak dan menewaskan seorang penyedot tinja.
Kasus yang menimpa adik dari Tamin menjadi contoh lain pekerjaan sedot tinja bukanlah kegiatan tanpa risiko yang mengancam keselamatan. Dia membobok keramik untuk menangani saluran pembuangan yang mampet, tapi tanpa disadarinya, ada aliran listrik di situ dan kemudian merenggut nyawanya.
Awal Maret 2020 juga pernah kejadian lagi di Jakarta Timur, tepatnya di Kelurahan Munjul, Cipayung. Truk tangki penampung tinja meledak. Tidak ada korban jiwa kali ini, tapi kotorannya menyembur ke rumah-rumah warga yang berdiri di sekitarnya.
Itu baru kejadian yang ada di Jakarta dan Bogor, belum lagi di daerah-daerah, yang barangkali tidak terpublikasi di media massa.
Kasus tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan mengurus limbah manusia merupakan pekerjaan penuh risiko.
“Kalau nyedot sih, enak, tinggal buka dan tutup,” kata Tamin ketika saya minta ceritakan kejadian yang menimpa adiknya.
“Udah bagian kali (adik meninggal), udah kodrat dari Allah begitu. Kalau dibilang risikonya ya yang namanya kerja emang harus waspada. Gitu aja.”
Tak banyak pemilik rumah yang menyadari kalau septic tank mengandung berbagai macam gas yang bisa menimbulkan ledakan. Dua kasus di Jakarta Timur menjadi buktinya.
Menurut para ahli, gas seperti metana dihasilkan dari proses penguraian kotoran manusia. Kandungan gas dalam septic tank inilah yang berbahaya kalau tidak hati-hati memperlakukannya.
Tapi dari pengalaman Tamin, terkadang ada salah perhitungan, misalnya ketika ada warga yang meminta petugas membakar koran dan memasukkannya ke dalam septic tank untuk memastikan semua kotoran telah dikuras.
Septic tank dikira sudah tidak ada gasnya lagi, padahal ternyata masih ada dan begitu koran yang dibakar tadi dimasukkan, terjadilah hal yang tak diinginkan.
Seandainya saja kandungan gas di dalam septic tank sudah benar-benar dikeluarkan sebenarnya tidak akan jadi ancaman, walaupun dimasuki api.
“Dulu saya juga sering begitu. Cuma kita ya harus punya perhitungan. Kalau mau bakar pakai kertas koran itu, uap harus udah abis semua. Jadi, setelah septic tank disedot isinya sampai habis, lalu kita biarkan dulu, setelah udah lama baru disenter, baru berani bakar.”
Tamin menduga kasus septic tank meledak di Jatinegara terjadi karena adanya kesalahan perhitungan semacam itu tadi.
“Jadi nggak dikira-kira dulu. Harusnya jangan begitu. Harusnya siram dulu dari closet. Kan air turun, ke septic tank, kan gas keluar tuh. Biarkan agak lama dulu. Lalu sedot lagi uapnya. Udah kering, baru dibakar kalau mau dibakar,” kata Tamin.
Bekerja menjadi penyedot tinja mau tidak mau harus berhati-hati, apalagi yang tidak punya asuransi jiwa.
Segala langkah yang diambil di lapangan, kata Tamin, harus memakai perhitungan agar tidak membahayakan jiwa.
Seandainya ada konsumen belum percaya kotoran dalam septic tank telah dikuras semua, Tamin menyarankan kepada rekan-rekannya lebih baik memberi alternatif dengan cara menyorot septic tank pakai lampu senter.
“Kalau memang nggak percaya juga ya sudah kita sedot sekali lagi hawanya. Setelah itu, diamkan dulu, kalau mau dibakar ya silakan setelah itu, kalau mau dironjok ya pakai bambu. Ada nggak airnya. Kalau septic tank belum kosong kan ujung bambunya ada airnya. Ya itu aja udah.”
Kejadian ledakan septic tank di Jatinegara diakui Tamin telah membuatnya takut memeriksa septic tank dengan memakai cara lama: membakar koran dan melemparkan ke dalam lubang septic tank.
Suatu hari dia hampir celaka gara-gara kasus semacam itu. “Baru apinya dimasukin aja udah wus gitu. Nyembur gitu apinya, tapi nggak sampai meledak.”
Bentuk isi septic tank
Barangkali ada di antara kita yang masih penasaran seperti apa wujud isi septic tank. Apakah bentuknya masih sama seperti pada waktu dikeluarkan dari tubuh atau bagaimana.
Saya tanyakan itu kepada Tamin sebagai orang yang telah bertahun-tahun lamanya menekuni bidang sedot tinja.
“Ya air warna hitam. Cuma kan warnanya item kalau udah bertahunan mah. Kadang-kadang ada lumpur kalau dah tahunan.”
Dia meminta saya membayangkan empang atau got di pemukiman-pemukiman padat penduduk. Empang atau got umumnya penuh air berwarna hitam pekat.
Cairan tinja di dalam septic tank kalau yang sudah berusia tahunan hilang bau busuknya. “Jadi kayak bau empang, bau lumpur, kayak empang zaman dulu.”
Beda sekali dengan bau ketika baru pertamakali dikeluarkan, orang yang mengeluarkan saja sampai tutup hidung kadang-kadang.
“Apalagi kalau orangnya rajin, tiap bulan sekali dikucurin air deterjen kan nggak bau. Kayak air cucianlah, gimana. Kalau air cucian ditampung lama kelamaan kan item,” kata dia.
Tetapi kalau umur tinja baru terhitung hari atau di bawah tiga bulan, umumnya masih memunculkan bau asli.
“Saya juga sering nangani tinja yang di bawah tiga bulan (umurnya),” kata dia.
Isi septic tank ada juga yang sudah mengeras sehingga membutuhkan penanganan tersendiri untuk mengurasnya.
Tapi sekarang kebanyakan berbentuk cair, terutama yang closet duduk, karena kadang ada yang bocor klepnya sehingga air merembes terus ke septic tank.
“Kadang kan septic tank cepet penuh itu bisa jadi karena klepnya bocor. Air ngucur terus, kan, dikit-dikit lama-lama kan jadi banyak dan cepet penuh kan,” kata Tamin.
Pernah dimaki
Lika-liku pekerjaan menguras tinja sudah dirasakan Tamin. Mendapatkan apresiasi, bahkan dimaki warga pernah diterimanya.
“Ya namanya kita kerja kadang orang komplen. Dimaki-maki, kita dibilang penipulah, inillah, itulah, pernah. Kita biarin aja, orang begitu. Kalau kita layanin sama juga ngalayanin orang gila,” katanya.
Saya tanya kenapa sampai dimaki-maki orang kalau memang sudah bekerja dengan benar?
“Misal nih sedot sekarang, kadang-kadang ada yang seminggu septic tank penuh lagi. Itu sering kejadian. Karena kan (warga) nggak sadar. Kadang bocor dari itu tadi, klep toiletnya bocor sehingga air netes terus ke septic tank.”
Kalau menemukan kasus seperti itu, biasanya Tamin akan menyarankan kepada pemilik rumah untuk meminta bantuan tukang bangunan atau yang biasa bongkar pasang closet untuk mengganti klep.
Tinja dikirim kemana?
Banyak orang yang bertanya-tanya, dibawa kemana cairan tahi sehabis dikuras dari septic tank.
Setelah tinja yang bertahun-tahun ditampung dalam septic tank rumah-rumah warga atau tempat-tempat publik disedot, selanjutnya dibawa ke instalasi pengolahan lumpur tinja atau kalau bahasa Tamin: “dibuang ke pengolahan.”
Tujuan pengolahan lumpur tinja, antara lain untuk menurunkan jumlah bakteri coli maupun zat tersuspensi supaya tidak mencemari lingkungan.
Tamin biasa mengirimkan muatan tangki truknya ke instalasi pengolahan lumpur tinja Sumur Batu, Kota Bekasi.
“Di sana bayar. Kita pakai kartu kayak kartu tol, ditempelin gitu.”
Dia sekaligus meluruskan informasi yang berkembang di tengah masyarakat yang menyebutkan tinja sehabis disedot dari rumah warga akan dibuang begitu saja ke sungai.
“Bukan dibuang ke sungai. Kan banyak yang salah paham. Tinja dilarang dibuang ke sungai,” katanya.
Ketika menjelaskan hal itu, Tamin sekaligus mengkritik adanya dugaan pembiaran aktivitas pembuangan limbah beracun (dari pabrik tertentu) ke daerah aliran sungai.
“Tetapi dari sono limbah ngocor ke sungai, kan ikan pada mati. Nggak tahulah, kita orang kecil bodo amat, cara gimana. Ketika (petugas sedot tinja) ada buangan resmi ya sudah di situ aja.”
Mumpung ketemu ahli sedot tinja, saya tanyakan juga soal kenapa sih penempelan stiker promosi jasa sedot tinja di tiang listrik atau telepon atau dinding selalu menimpa stiker yang sudah ada sebelumnya.
Menurut penjelasan Tamin, bisa jadi motivasi pelakunya karena persaingan bisnis.
“Itu mah tergantung itunya, oknum yang nempel. Namanya manusia, terkadang ada yang ngiri yang ini yang itu, tumpuk lagi-tumpuk lagi. Gitu,” kata Tamin.
Tamin sendiri sekarang sudah tidak promosi layanannya lewat penempelan stiker, tetapi lebih mengandalkan kepercayaan dari pelanggan sebelumnya atau bahasa dia “hanya dari mulut ke mulut, orang percaya sama saya.”
Beberapa waktu sebelum saya menemui Tamin, dia baru memenuhi permintaan untuk menguras septic tank di kawasan Citra Indah Jonggol. “Ya itu dari orang juga (mulut ke mulut). Yang namanya sedot begini mah ngandelin orang nelepon.”
Usaha sedot tinja di tengah pandemi
Sampai awal tahun 2020 lalu, bisnis jasa sedot air tinja terhitung sehat. Dari pengalaman Tamin, setiap pekan, rata-rata menerima lima kali panggilan.
“Sebelum pandemi sih lumayan ya. Ada ajalah buat makan mah gitu. Buat sehari-hari ketutup kebutuhan mah,” kata Tamin.
Begitu pandemi Covid-19 datang dan menjungkirbalikkan perekonomian, ditambah lagi persaingan dengan jasa penyedot tinja yang dikelola pemerintah daerah yang jumlah armadanya semakin semakin banyak, Tamin mulai jarang menerima order.
Pengelola salah satu tempat wisata alam di Kabupaten Bogor yang biasanya rutin meminta jasa Tamin, sekarang sudah tidak lagi memanggilnya karena destinasi wisata tersebut tutup.
“Kadang-kadang di tempat wisata itu tiga bulan sekali ngangkat (tinja). Sekarang mah udah susah dah. Pabrik-pabrik juga saya udah nggak sekarang, padahal dulu saya mah paling banyak di PT, nyedot limbah gitu.”
Akibat terkena dampak perekonomian yang morat-marit akibat pagebluk, kini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petugas sedot tinja seperti Tamin mesti memutar otak.
“Sekarang kan kadang seminggu sekali kadang, satu kali tarikan, kadang nggak pisan. Sebulan kemarin aja cuma narik satu rit. Abis mau dikata apa kalau emang udah nggak ada. Kita kan cari sampingan yang lain, apa aja dikerjain gitu.”
Setelah duduk cukup lama untuk menceritakan pengalaman, Tamin baru ingat tadi merebus air di atas tungku berbahan kayu bakar untuk persiapan berbuka puasa.
Dia bersyukur, meskipun keuangan sedang kurang sehat, untuk memenuhi kebutuhan air minum tak perlu membeli, tetapi cukup menyedot air tanah di pekarangan rumah. “Air tanah aja bagus di sini mah,” katanya.
Dipandang sebelah mata
Dari cerita Tamin, juga warga yang telah merasakan manfaatnya, dapatlah disimpulkan peran petugas sedot tinja sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Tapi sampai sekarang Tamin masih merasakan pekerjaannya dianggap sebelah mata oleh sebagian orang. Tapi anggapan itu bagi dia bukanlah hal yang mesti dianggap serius.
“Tetapi sesama tukang sedot tinja mah udah biasa. Ya banyak yang meremehin, menyebut ‘yah tukang sedot kotoran,’ kadang-kadang ada yang bilang ‘tukang tahilah, tukang gitulah.’ Bodo amatlah. (diulang lagi dengan penekanan) Buuodo amatlah,” kata Tamin yang kemudian disusul tawa terbahak-bahak.
Seandainya petugas sedot tinja tidak ada, sulit membayangkan apa jadinya kalau septic tank penuh, sementara produksi tahi tak bisa dihentikan.
“Mau buang kemana. Gitu aja dasarnya,” kata Tamin.
Ketika saya minta pendapat mengenai apakah para petugas sedot tinja bisa dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, Tamin berkata:
“Lha iya. Sebetulnya bisa dibilang satu kebersihan juga, tanpa ada tukang sedot tinja orang bingung. Itu kan untuk kehidupan rumah tangga, nggak bisa ditinggalin. Satu petugas sampah, dua petugas sedot tinja.”