Suara.com - Masuk dalam daftar pencarian orang Jozeph Paul Zhang semakin aktif dalam penyebaran konten-kontennya di media sosial. Di sela kesibukannya yang nonstop online, DW berbincang dengannya.
Nama Jozeph Paul Zhang mendadak ramai dibicarakan publik di tanah air. Sejumlah tokoh agama, tokoh nasional, politikus hingga menteri mengecam pernyataan pria yang bernama asli Shindy Paul Soerjomoelyono.
Desakan agar ia segera ditangkap semakin menguat. Kepolisian RI menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan penodaan atau penistaan agama dan memasukannya dalam daftar pencarian orang.
Mengenai situasinya yang tengah dihadapinya, Deutsche Welle berbicara dengan pria yang disebut-sebut bermukim di Jerman ini.
Baca Juga: Jozeph Paul Zhang: Saya Minta Maaf ke Menag Gus Yaqut Sudah Ngatain Gendut
DW: Mengapa ganti nama dari Shindy Paul Soerjomoelyono?
Paul Zhang: Saya ingin menggunakan nama marga Tionghoa saya, dulu saya takut. Saya kemudian menambahkan Jozeph sebagai nubuatan kenabian bagi saya.
Posisi Anda di kota mana di Jerman?
Saya tidak diizinkan oleh penasihat hukum saya untuk bicara masalah lokasi.
Paspor Anda yang masih Indonesia, kabarnya ákan dicabut. Bagaimana jika tidak punya paspor?
Baca Juga: Wasiat Jozeph Paul Zhang: Kalau Saya Tewas Dibacok di Jalan, Jangan Berduka
Biarkan saja, saya tidak berencana kembali ke Indonesia.
Sama sekali tidak mau kembali ke Indonesia suatu saat kelak? Keluarga besar Anda masih di Indonesia, bukan?
Saya tidak ada rencana kembali ke Indonesia, sekalipun ada anggota keluarga saya meninggal dunia. Ini bagian dari harga yang harus dibayar.
Kepolisian Indonesia kabarnya meminta bantuan interpol mencari Anda, Anda tidak takut?
Itu prosedur yang rumit dan setahu saya interpol tidak urus masalah agama.
Anda sendiri kenapa merasa menjadi nabi ke-26?
Ya, kata nabi sebenarnya berasal dari kata navi atau navigator. Artinya, seorang yang melihat jauh ke depan sehingga menjadi tuntunan bagi orang yang mengikutinya. Saya sebagai seorang hamba Tuhan. Maka, Tuhan memberi saya karunia kenabian itu.
Karunia kenabian itu membuat kita mampu untuk melihat benar dan salah secara jelas dan kita melihat ketimpangan-ketimpangan sosial, politik, agama, dan bukan hanya kita mengkritik tetapi kita memberi tahu harus bagaimana kita sekarang ini. Itulah karunia kenabian.
Sebenarnya apa tujuan Anda dalam penyebaran konten-konten semacam itu?
Sebenarnya konten saya untuk seluruh dunia. Makanya saya selalu menyapa seluruh dunia, seperti Amerika, Kanada, Rusia, karena penonton YouTube saya dari seluruh dunia dan 65% di Indonesia.
Tetapi kebetulan yang menjadi keributan sekarang ini adalah yang ada di Indonesia. Di Indonesia, saya menyerukan suara kenabian karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan kepada minoritas. Termasuk kalau kita ingat, penutupan gereja GKI Yasmin yang sudah konstitusional, dokumennya lengkap ditutup.
Ada 200 gereja di zaman Jokowi yang ditutup dan 1.000 gereja ditutup sejak reformasi. Kemudian kita ingat (kasus) Meliana yang karena minta (ed- suara) toa untuk dikecilkan masuk penjara.
Dan ada tujuh rumah ibadah dibakar dan rumahnya Meliana sendiri juga dibakar. Ada tindakan semena-mena dari mayoritas kepada minoritas, maka dari itu konten saya yang berapologia ini akhirnya saya arahkan untuk menyuarakan suara kenabian.
Khalifah berkuasa di Indonesia, mengubah pembukaan UUD 1945 dengan memaksakan mengubah kata Tuhan menjadi kata Allah. Sehingga berkesan bahwa Indonesia didirikan oleh Islam. Sampai sekarang masuk ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Saya membongkar para khalifah yang menyusup ke tubuh nasionalis.
Saya menyerukan dan membongkar terus bahaya khalifah ini
Kan di Indonesia, selain umat Islam, juga boleh pakai kata Allah, sementara khalifah tidak berkuasa di Indonesia?
Kata Allah diadopsi dengan kerendahan hati oleh Kristen, namun kemudian digugat kembali di Malaysia dan sekarang di Indonesia sedang digunjang-ganjing.
Khalifah sudah hadir dalam Perda Syariah, aturan seragam sekolah, wanita berjilbab yang menjadi identitas budaya menggantikan budaya lokal, pasar mualamalat, bank syariah, dan sebagainya.
Tata berbusana, memilih bank, bukankah jika atas kemauan pribadi patut dihormati?
Bukan. Maksud saya busana di sekolah yang menjadi kewajiban dan bahkan di beberapa yang non-Islam diwajibkan juga.
Sementara pasar muamalat adalah bentuk pemberontakan terselubung. Pasar muamalat adalah bentuk pemberontakan kedaulatan ekonomi dalam negara Pancasila. Bank syariah sudah pernah di bahas juga di YouTube saya, bahwa bank syariah di dunia rata-rata menjadi sumber dana teroris.
Penerapan bank syariah adalah upaya mengubah sistem keuangan dipersiapkan untuk negara khalifah. Tapi selama ini orang bebas memilih banknya. Dan tidak ada bukti bank di Indonesia buat terorisme.
Kalau tidak, sudah pasti dilarang, bukan?
Bukan, bank syariah pendana teroris di seluruh dunia sudah terbukti. Kalau di indonesia, baru perintisan dan belum berhasil namun pemaksaan sistem akan segera terjadi bila sistemnya sudah ada. Jadi sebetulnya kalau mau kembali ke Pancasila, maka harus benar-benar membersihkan semua aspek kehidupan dari atribut agama tertentu saja. Diganti dengan yang universal.
Tetapi mengapa Anda dalam menyampaikan opini Anda tadi dengan cara provokatif?
Sebetulnya saya sudah menyampaikan ini dari zaman saya di Facebook, sebelum saya berada di YouTube, dan saya cukup keras (ed: di Facebook) namun tampaknya kurang cukup keras. Sejak saya masih di Indonesia tahun 2016 itu, konten saya sudah cukup keras, tetapi tidak cukup keras tampaknya.
Sudah sempat viral, tetapi kurang viral, sehingga pemerintah tidak dengar. Kalau Anda lihat, teman-teman semua sudah banyak yang bicara tetapi bisik-bisik, ada sedikit yang teriak langsung hilang. Seperti Apollinaris Darmawan teriak, langsung masuk penjara.
Saifuddin (ed- Ibrahim) teriak, langsung masuk penjara, dan masih banyak lagi. Maka saya bicara lebih keras lagi, bukan hanya untuk orang-orang atau ormas ini dengar, tetapi supaya pemerintah dengar dan saya berhasil dengan cara saya agar pemerintah dengar.
Coba kalau dulu, mantan wakil presiden Bapak Jusuf Kalla teriak-teriak belajar dari Indonesia toleran, siapa bilang? Saya lebih dari 40 tahun tinggal di Indonesia, tidak ada toleransi di Indonesia, semua itu hanya kemunafikan.
Maka, saya perlu teriak dengan keras dari dunia internasional. Pernah terpikirkah oleh Anda bahwa pernyataan-pernyataan
Anda justru memperkeruh hubungan antaraagama?
Tidak ada yang namanya hubungan baik antaragama di Indonesia. Adanya hubungan satu arah: mayoritas mendikte dan mem-framing minoritas.
Kalau kamu diam maka baik-baik saja, asal jangan bicara mengkritik penindasan mayoritas. Jadi bukan keruh, memang sudah tidak benar.
Ini adalah hubungan penindasan. Saya hanya menyuarakan dengan lantang kebenaran ini dari dunia internasional. Jika Anda Kristen, Anda pasti tahu ajaran:
Jika ditampar pipi kiri beri pipi kanan.
Mengapa yang terjadi sebaliknya? Anda tampak keras menyerang kelompok-kelompok lain?
Yesus ditampar dan bertanya: mengapa kau tampar Aku? Rasul Paulus ditampar dan ia bertanya: Mengapa kau tampar aku? Gereja ditampar dan digebuk hanya diam, tapi hatinya mengomel dan mengeluh. Saya yang menyerukan dengan lantang: Mengapa kalian tampar kami?
Sekarang desakan penangkapan Anda makin kencang. Anda punya niat meredakan suasana?
Yang setuju dan mendukung saya juga banyak, dan makin banyak. Sudah saatnya menyebarkan roh keberanian, selama ini kami ditindas dan dibelenggu roh ketakutan.
*Wawancara dengan Jozeph Paul Zhang dilakukan via Zoom dan email oleh Ayu Purwaningsih dan telah diedit sesuai konteks.