Suara.com - Jeff Smith menjadi artis pertama yang ditangkap polisi karena pemakaian ganja, dan berani menyatakan mariyuana tak pantas digolongkan sebagai narkoba. Penegasan itu memantik polemik lama tentang legalisasi ganja.
AWALNYA, pernyataan Jeff Smith biasa-biasa saja, sama seperti artis-artis terdahulu yang ditangkap karena persoalan narkoba, yakni meminta maaf dan menyatakan diri bersalah.
"Pertama-tama saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada keluarga besar dan orang yang saya sayangi," kata Jeff Smith.
Baca Juga: Komentari Pernyataan Jeff Smith soal Ganja, DPR: Dilarang dan Berbahaya!
Ia juga meminta maaf kepada masyarakat, "Karena memberikan contoh tidak baik." Jeff menyatakan hal itu dengan tangan terborgol dan sudah memakai rompi tahanan.
Tapi, setelah melontarkan pernyataan-pernyataan 'standar' itu, Jeff Smith mengutarakan hal yang sama sekali baru itu terjadi.
"Lalu, menurut saya, ganja tidak layak untuk dikategorikan sebagai narkotika golongan satu. Secepatnya Indonesia harus melakukan penelitian," kata Jeff Smith.
Pernyataan Jeff Smith sontak membuat aparat kepolisian memegang mik untuknya beraksi. Si polisi menepuk dan memegang tengkuk sang artis.
Selanjutnya, polisi itu mematikan mik, memberitahukan kepada awak media bahwa konferensi pers telah selesai. Ia lantas menggiring Jeff Smith keluar dari ruangan.
Baca Juga: DPR: Indonesia Bisa Disorot Dunia Kalau Ganja Dikeluarkan dari Golongan I
Yohan Misero, Direktur dan Kebijakan Yayasan Sativa Nusantara, mengakui kaget sekaligus mengapresiasi Jeff Smith yang mengafirmasi ganja tak layak masuk golongan narkoba.
"Sangat berani dan patut diapresiasi. Sangat berbeda dengan banyak hal yang sudah terjadi sebelum ini," kata Yohan Misero kepada Suara.com, Kamis (22/4/2021).
Yayasan Sativa Nusantara adalah rganisasi yang fokus mengadvokasi pemanfaatan tanaman-tanaman Indonesia termasuk ganja untuk medis. Mereka gencar mendorong pemerintah dapat segera merevisi undang-undang narkotika.
Afirmasi Jeff, menurut Yohan, sedikit banyak bisa mengubah peta polemik tentang pemanfaatan ganja di Tanah Air.
"Kita semua tahu, setiap ada penangkapan selebritis biasanya selalu diiringi dengan panggung permintaan maaf. Seakan-akan selebritis ini memiliki kesalahan besar kepada publik dengan mengkonsumsi nafza apapun zat atau tanamannya," kata dia.
Yohan menilai, penangkapan selebritis kerap dijadikan bahan kampanye oleh aparat kepolisian atau Badan Narkotika Nasional. Harapannya, mungkin untuk mengurangi kasus penyalahgunaan narkotika.
"Permasalahannya kemudian, kita cek saja datanya, apakah benar seperti itu atau justru sebaliknya," tantang Yohan.
Berdasar data BNN beberapa tahun terkahir maupun situasi riil, akses peredaran narkotika masih massif.
Artinya, kata Yohan, ada problem lain yang semestinya menjadi fokus pemerintah dan penegak hukum untuk kemudian mencari jalan lain penyelesaian.
"Di lain sisi, kita justru harus menghargai keberanian Jeff Smith. Harapannya keberanian Jeff juga disambut masyarakat yang punya antusiasme terhadap isu ini, dan juga oleh pemerintah serta parlemen," imbuh Yohan.
Perjuangan Ganja Medis
"Soal ganja tidak tepat dikategorikan narkotika golongan I itu sangat menarik, dan permintaan Jeff Smith ini sebenarnya sangat relevan dengan berbagai kasus sebelumnya," kata Yohan, memulai pembahasan soal pentingnya pemanfaatan ganja untuk medis.
Tahun 2017, Fidelis Ari Suderwato harus mendekam di penjara atas kasus kepemilikan 39 batang ganja untuk kepentingan medis istri tercintanya, Yeni Riawati.
Yeni menderita penyakit langka bernama syringomyelia, dan kondisinya sempat berangsur membaik seusai mengonsumsi ekstrak ganja racikan Fidelis.
Nahas, di tengah kebahagiaan yang dirasakan Fidelis atas perkembangan kesehatan istri, BNN menangkapnya. Sampai akhirnya dia divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar.
Tak henti di situ, Fidelis juga harus menerima kenyataan pahit. Istri tercintanya meninggal dunia setelah tak lagi menjalani pengobatan ekstrak ganja yang diraciknya.
Kisah lain datang dari Musa Ibnu Hassan Pedersen. Dia meninggal dunia akhir tahun 2020, seusai menderita penyakit cerebral palsy selama 16 tahun.
Kondisi Musa seperti diutarakan ibunya Dwi Pertiwi, sempat membaik saat menjalani pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia pada tahun 2016.
Namun, sekembalinya ke Indonesia, kondisi Musa berangsur menurun. Dwi tak berani melanjutkan pengobatan menggunakan ganja di Tanah Air khawatir akan berujung pidana seperti yang dialami Fidelis.
Dwi kemudian mengambil jalur perjuangannya ke Mahkamah Konstitusi. Dia mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Salah satu pasal yang diuji, yakni larangan penggunaan narkotika golongan I seperti ganja untuk kepentingan medis.
"Selama ganja dikategorikan narkotika golongan I dengan regulasi saat ini, maka enggak bisa atau tidak mungkin ganja dimanfaatkan untuk medis secara legal di Indonesia," ungkap Yohan.
Dalam Pasal 6 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setidaknya terdapat tiga golongan narkotika:
- Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
- Narkotika golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; dan
- Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Klasifikasi penggolongan tersebut bisa dinaik-turunkan atau diubah melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Sayangnya, Menteri Kesehatan belum melakukan itu, agar ganja bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
"Ini sangat berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh Jeff Smith di kalimatnya yang kedua, yakni 'Indonesia harus segera melakukan penelitian'," jelas Yohan.
Buku disita dan Upaya demonisasi
Strategi Gerakan Lingkar Ganja Nusantara; Hikayat Pohon Ganja; Dunia Dalam Ganja; dan, Kriminalisasi Ganja. Empat buku pengetahuan tentang ganja itu disita oleh aparat kepolisian dari Jeff Smith.
Keberanian yang diutarakan oleh Jeff Smith di hadapan awak media dan aparat kepolisian bukan soal nyali semata. Aspirasi yang dia sampaikan nyatanya memang berbekal literasi.
Wajar saja jikalau Jeff Smith tak lantas diam ketika aparat kepolisian menepuk-nepuk lehernya usai dia menyatakan 'ganja tak layak dikategorikan narkotika golongan I'.
Dia justru melanjutkan berbicara, 'secepatnya Indonesia harus melakukan penelitian' hingga aparat kepolisian bergegas menarik mik.
"Saya sebenarnya ketika melihat rekaman (video Jeff Smith) itu cukup terkejut juga," ucap Yohan.
Salut atas keberanian Jeff Smith dan miris atas sikap aparat kepolisian. Itu yang dirasakan Yohan.
"Kebijakan narkotika atau ganja yang ada saat ini seakan-akan menjadi hal yang tidak patut dipertanyakan, tidak patut kita cari tahu lebih jauh. Kemudian seakan-akan juga kalau memiliki buku-buku soal ganja ini adalah sebuah hal yang amat bermasalah dan bisa menimbulkan masalah kejahatan di kemudian hari," keluh Yohan.
Pembungkaman dan penyitaan buku-buku pengetahuan soal ganja seperti yang dialami Jeff Smith dinilai Yohan sebagai upaya mendiskreditkan atau mendemonisasi.
Khususnya, terhadap gerakan yang mempertanyakan kebijakan narkotika termasuk ganja di Indonesia.
Pendiskreditan dan demonisasi ini barangkali penting bagi mereka yang tidak menyukai arah kebijakan ganja atau napza untuk kepentingan medis. Sebab, jikalau kebijakan itu terealisasi maka penggunaan napza tidak layak dipenjara.
Alhasil, secara otomatis akan menggangu atau menghilangkan 'lahan pendapatan' oknum nakal seperti yang terjadi dalam sekema aturan yang berlaku saat ini.
"Tapi Yayasan Sativa Nusantara atau seruan Jeff Smith sebenarnya sedang fokusnya tidak bicara ke arah sana. Saat ini ada fokus yang sangat penting terhadap keberadaan kebijakan ganja medis di Indonesia. Kebijakan ganja medis tidak mengubah struktur atau skena pemidanaan narkotika di Indonesia secara maksimal. Tapi dia akan menghindarkan kasus-kasus seperti Fidelis atau kematian Musa," kata Yohan.