Kecelakaan Ketiga Libatkan Kapal Tua TNI, Apa Dampaknya Bagi Keamanan Laut?

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 23 April 2021 | 11:16 WIB
Kecelakaan Ketiga Libatkan Kapal Tua TNI, Apa Dampaknya Bagi Keamanan Laut?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hilangnya satu dari lima kapal selam Indonesia, KRI Nanggala-402 (21/04), disebut akan berdampak pada sistem pengamanan laut Indonesia yang telah memiliki "celah rawan", kata peneliti.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi menyebut idealnya Indonesia memiliki 12 kapal selam, mengingat luasnya laut Indonesia.

Di lain sisi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan akan melakukan investasi lebih besar dalam bidang alutsista yang disebutnya "mahal", "tanpa memengaruhi usaha pembangunan kesejahteraan."

Sementara itu, peneliti menyoroti anggaran Kementerian Pertahanan yang jauh lebih banyak digelontorkan untuk program-program di luar pengadaan alutsista.

Baca Juga: Bantu Cari KRI Nanggala 402 yang Hilang, Basarnar Kerahkan KN SAR Arjuna

Saat ini Indonesia hanya memiliki lima kapal selam, dengan dua di antaranya sudah tua.

Kapal berusia 44 tahun, mengapa masih bisa dipakai?

Dalam tiga tahun terakhir, ini adalah kecelakaan ketiga yang melibatkan kapal TNI yang sudah tua.

Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan KRI Nanggala, yang selesai dibangun 44 tahun silam di Jerman, masih dalam keadaan baik dan telah menerima surat kelaikan sebelum digunakan berlatih.

Yudo Margono mengatakan kapal itu sudah beberapa kali digunakan untuk menembakkan torpedo.

Baca Juga: Tak Empati! Roy Suryo Samakan Hilangnya KRI Nanggala dengan Harun Masiku

"Jadi KRI Nanggala dalam keadaan siap tempur sehingga kita kirim, libatkan, untuk latihan..." kata Yudo dalam konferensi pers Kamis (22/04), sebagaimana dilaporkan wartawan di Bali Muhammad Khadafi untuk BBC News Indonesia.

Di tahun 2020, kapal juga sudah dirawat (di docking) di PT PAL, sehingga "masih sangat layak."

Namun, Riefqi Muna, Co-founder dan peneliti dari Research and Operations on Technology & Society menyebut peristiwa ini seharusnya membuat Indonesia lebih ketat dalam menggunakan alutsista yang tua.

"Dalam 10 tahun terakhir ini, ada kasus-kasus yang berkaitan dengan alutsista yang sudah tua dan berisiko kecelakaan, hilangnya prajurit TNI. Perlu ada safety rule yang strict demi kehati-hatian," kata Rieqfy.

Meski kecelakaan yang melibatkan kapal selam baru pertama kali terjadi, sebelumnya sempat terjadi kecelakaan kapal AL yang sudah tua.

Tahun 2020 lalu, kapal perang TNI AL, KRI Teluk Jakarta-541 tenggelam di perairan arah timur laut Pulau Kangean, Jawa Timur.

Kapal buatan Jerman Timur itu tenggelam di usia 41 tahun. Semua penumpang selamat dalam kecelakaan ini.

Pada tahun 2018, KRI Pulau Rencong terbakar dan tenggelam di perairan Sorong, Papua Barat. Semua penumpang selamat dalam insiden yang menimpa kapal buatan 1979 itu.

Apa pentingnya kapal selam untuk Indonesia?

Melihat kecelakaan-kecelakaan itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan hilangnya KRI Nanggala 402 adalah "momentum kesekian" yang harusnya membuat Indonesia berbenah terkait armada lautnya.

Kurang memadainya armada untuk melakukan penjagaan di laut disebutnya berakibat pada "celah keamanan" di laut Indonesia.

Ia mengatakan Indonesia harusnya memiliki 12 kapal selam.

"Perairan kita luas. Ada tiga alur laut yang harus dijaga dan sebagian di antaranya merupakan perairan yang dalam. Artinya, kita tidak bisa hanya mengandalkan patroli permukaan. Padahal kawasan kita ini juga ramai kegiatan di bawah permukaan," ujar Khairul.

"Secara kekuatan kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga memang bisa dibilang tangguh. Tapi dari segi kemampuan, menangkal ancaman, dan penegakan keamanan, armada kita masih jauh dari cukup.

Pada awal tahun ini, misalnya, diberitakan bahwa ditemukan kendaraan nirawak bawah laut (unmanned underwater vehicle-UUV) atau seaglider di teritorial Indonesia yang menurut pengamat militer merupakan bentuk gangguan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.

"Dan kapal selam dalam jumlah yang cukup, akan lebih mampu menghadirkan efek deterrentyang signifikan bagi keamanan dan kedaulatan di laut.

"Persoalannya, anggaran kita belum bisa menjawab kebutuhan itu," tambahnya.

Mengapa pemerintah tak membeli lebih banyak kapal selam?

Dalam konferensi pers Rabu (22/04), Menhan Prabowo Subianto mengatakan pengadaan alutsista "cukup mahal".

"Alutsista di bidang pertahanan memang cukup mahal, bahkan bisa saya katakan sangat mahal.

"Karena itu pimpinan negara selalu dihadapkan dengan dilema harus mengutamakan pembangunan kesejahteraan, tapi menjaga kemampuan pertahanan supaya kedaulatan kita tidak diganggu," kata Prabowo.

Ia mengatakan banyak alutsista, yang karena "keterpaksaan dan karena mengutamakan pembangunan kesejahteraan", belum dimodernisasi dengan cepat.

Kementerian Pertahanan, kata Prabowo, sudah menyusun rencana induk 25 tahun untuk membenahi urusan pertahanan.

"Tapi intinya memang, kita akan investasi lebih besar tanpa memengaruhi usaha pembangunan kesejahteraan. Kita sedang merumuskan pengelolaan pengadaan alutsista untuk lebih tertib, lebih efisien," kata Prabowo.

Bagaimana pembagian anggaran di AD, AL, dan AU?

Berdasarkan data APBN 2021, Kementerian Pertahanan adalah kementerian kedua dengan anggaran terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yakni dengan anggaran mencapai hampir Rp137 triliun.

Di tahun 2021, anggaran pengadaan alutsista adalah sekitar Rp9,3 triliun, sebagaimana dikutip dari Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran tahun anggaran 2021.

Untuk perawatan dan modernisasi alutsista, Angkatan Darat mendapat sekitar Rp3,8 triliun, Angkatan Laut sekitar Rp8 triliun, dan yang terbesar Angkatan Udara sebesar Rp8,1 triliun.

Sementara itu, di tahun 2020, Kementerian Pertahanan sempat dikritik akibat membeli 500 kendaraan militer Pindad di tengah pandemi virus corona.

Selain tidak mendesak dan jumlahnya terlalu banyak, peneliti mengatakan kebutuhan keperluan alat utama sistem pertahanan atau alutsista yang diperlukan Indonesia adalah di laut dan udara.

Peneliti Khairul Fahmi juga menyorot besarnya anggaran belanja non-alutsista, seperti untuk gaji pegawai, yang besarnya lebih dari 50% dari total anggaran.

"Kalau porsi non-alutsista ini bisa lebih kecil, maka porsi untuk kebutuhan alutsista kan bisa diperbesar. Begitu juga untuk riset," ujarnya.

Meski demikian, Sugiono, anggota Komisi I DPR dari Partai Gerindra, mengatakan tak sepakat jika anggaran di pos-pos lain selain alutsista perlu diirit.

"Selain alutsista, profesionalitas dan kesejahteraan prajurit juga harus diperhatikan. Masa sih gaji dan kesejahteraan prajurit yang sudah kecil harus diperkecil lagi?" ujarnya.

Menurutnya, yang harus dilakukan adalah peningkatan anggaran pertahanan.

"Menurut saya anggaran pertahanan harus diperbesar jika kita memang concern terhadap pertahanan kita," kata Sugiono.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI