Suara.com - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera menutup pintu masuk bagi seluruh orang dari India dan memperketat aturan perjalanan internasional.
Dicky mengatakan lonjakan kasus pandemi Covid-19 di India dalam satu bulan terakhir terjadi akibat mutasi virus B.1.617 yang dinilai lebih cepat menular dan berbahaya, sehingga terjadi tsunami Covid-19 yang drastis di sana.
"Sangat penting ketika kita tahu kondisi seperti ini ya ditutup dulu pintu masuk dari India, ini demi keamanan di dalam negeri, apalagi di sana ada strain baru yang kita belum tentu sanggup menghadapi strain India ini," kata Dicky saat dihubungi Suara.com, Jumat (23/4/2021).
Selain itu, pemerintah juga harus memperpanjang masa karantina pelaku perjalanan dari luar negeri, dari yang sebelumnya hanya 5 hari menjadi 10 sampai 14 hari.
Baca Juga: Update 22 April: Warga Indonesia Positif Covid Kini Capai 1.626.812 Orang
"Dia tidak boleh kemana-mana harus dikarantina, harus minimal 10 hari karantina, tapi kalau bisa 14 hari, atas tanggungan yang datang, jangan pemerintahnya, habis uang pemerintahnya nanti," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, 135 Warga Negara India dilaporkan masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, Banten pada Rabu (21/4/2021).
Mereka tidak bisa ditolak masuk ke Indonesia, sebab semuanya memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan aturan pemerintah hanya mewajibkan mereka untuk dikarantina.
Sementara, dalam satu bulan terakhir India selalu berada di posisi terbanyak penambahan kasus Covid-19 harian, bahkan negara itu pecah rekor lagi untuk kesekian kalinya, dengan laporan infeksi harian mencapai 315.802 kasus pada Kamis (22/4/2021).
Perdana Menteri India Narendra Modi, menggambarkan situasi lonjakan kasus Covid-19 di negaranya sebagai 'tsunami'.
Baca Juga: Sejak Awal Pandemi: 60 PNS DKI Jakarta Meninggal karena Covid-19
Beberapa ahli menyebut tsunami Covid-19 itu disebabkan varian virus corona baru yang dikenal sebagai B.1.617 yang terdeteksi di India.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), varian tersebut muncul pada akhir 2020. Para pejabat WHO menyebut varian itu sebagai "mutan ganda".
Pertama kali dilaporkan ke publik pada 24 Maret 2020, ketika telah ditemukan lebih dari 200 sampel di negara bagian Maharashtra, India.