Suara.com - Kepala Staf Angkatan Darat Andika Perkasa menyatakan penelitian sel dendritik di RSPAD Gatot Soebroto tetap dilanjutkan, dan bukan menjadi kelanjutan dari tahap uji klinis vaksin Nusantara.
Langkah ini sebut didukung untuk memenuhi rasa keadilan bagi pasien Covid-19 yang tak bisa disuntik dengan vaksin massal.
Pekan lalu, sejumlah polisi melakukan pengambilan darah di RSPAD untuk uji vaksin Nusantara untuk apa yang mereka sebut langkah nasionalisme.
Namun, seorang ahli kesehatan menilai langkah itu diambil sebagai jalur kompromi di tengah polemik vaksin yang digagas mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto.
Baca Juga: Pratu Lukius yang Membelot ke OPM Ternyata Mantan Pasukan Elite
- BPOM sebut relawan uji vaksin Nusantara mengalami nyeri otot hingga gatal-gatal, sejumlah ahli mengatakan 'tak layak disebut vaksin'
- Apa yang terjadi pada vaksin Covid-19 yang tak terpakai?
- Mayoritas lansia belum terima vaksin, dari bingung proses daftar hingga cemaskan efek samping. Apa solusinya?
Sementara itu, seorang peneliti vaksin Nusantara dan pejabat Kementerian Kesehatan masih enggan berkomentar banyak.
Di sisi lain, peneliti dari lembaga pemerhati kesehatan CISDI Olivia Herlinda melihat kajian sel dendritik di RSPAD Gatot Soebroto hasilnya tak banyak manfaatnya untuk masyarakat.
Terapi imun melawan Covid
Metode penggunaan sel dendritik untuk membangun imun seseorang dari serangan virus SARS-CoV-2 ini sebelumnya digunakan dalam vaksin Nusantara.
Namun, vaksin Nusantara tak mendapat izin untuk dilanjutkan ke tahap II oleh BPOM. Salah satunya karena 20 dari 28 relawan uji tahap I mengalami Kejadian Tak Diinginkan seperti mual hingga masalah kolesterol.
Andika mengatakan penelitian berdasarkan MoU terbaru dengan Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, tidak bertujuan menciptakan vaksin seperti sebelumnya. Tetapi, ditujukan sebagai terapi imun melawan Covid-19.
Baca Juga: DPR Apresiasi Kerjasama Menkes dan BPOM dalam Penelitian Vaksin Nusantara
"Penelitian kali ini adalah penelitian berbasis pelayanan, yang menggunakan sel dendritik, jadi sama, untuk meningkatkan imunitas terhadap Sar-Cov 2 atau Covid-19. Jadi, lebih sederhana, sehingga tidak juga menghasilkan vaksin seperti yang dilakukan uji klinis fase I, kemarin di (RS) Kariadi."
"Ini tidak ada hubungannya dengan vaksin sedemikian rupa, sehingga tidak perlu izin edar. Karena memang dilakukan menggunakan metode yang autologus, dan tidak ada produksi massal," kata Andika kepada wartawan, Selasa (20/04).
Menanggapi hal itu, Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Masdalina Pane mengatakan sudah benar sel dendritik diteliti terpisah, karena penerapannya yang individual, bukan massal.
Menurutnya, penelitian sel dendritik ini berguna untuk memberikan rasa keadilan bagi pasien Covid-19.
"Vaksin yang sekarang ini kan tidak semua bisa dapat, orang yang komorbit berat tidak terkontrol, tidak boleh. Mungkin vaksin yang sekarang diteliti ini bisa untuk mereka. Kan, mereka juga arus dilindungi," kata Masdalina kepada BBC News Indonesia, Selasa (20/04).
Bagaimana kelanjutan uji klinis vaksin Nusantara?
BBC menghubungi seorang peneliti Muhammad Karyana dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, namun ia enggan berkomentar banyak.
"Tapi saya sudah nggak boleh ngomong. Tanya ke biro komunikasi pelayanan masyarakat Kemenkes, biar mereka yang jawab," kata Karyana kepada BBC News Indonesia, Selasa (24/04).
Saat ditanya mengenai apakah nanti akan ada aturan khusus untuk penelitian sel dendritik di RSPAD, Karyana menjawab singkat, "Ada", namun tak menjelaskan lebih rinci.
Sementara itu, Juru bicara Vaksin Covid-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi belum mau berkomentar.
Jalan tengah meredam konflik
Ahli Patologi Klinik dari Universitas Sebelas Maret Tonang Dwi Ardyanto menilai MoU penelitian sel dendritik di RSPAD Gatot Subroto sebagai jalan tengah untuk meredam polemik vaksin Nusantara.
"Saya sebut jalan tengah, karena berpolemik terus," katanya.
Dokter Tonang menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32/2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel.
Pelayanan sel punca adalah tindakan medis yang dilakukan dalam rangka pengambilan, penyimpanan, pengolahan dan pemberian terapi sel.
Berdasarkan aturan ini, kemungkinan penelitian sel dendritik berbasis pelayanan ini wajib harus memiliki protokol penelitian, ethical clearance, tim pengawas independen, persetujuan komite Sel Punca, persetujuan kepala rumah sakit, persetujuan pasien sebagai subjek penelitian, dan penelitian yang dapat diakses oleh masyarakat dan pasien.
Fokus pada vaksin Merah-Putih
"Termasuk berarti permenkes sel punca ini juga harus dibuktikan dulu keamanannya, harus ada proses untuk membuktikan," kata Dokter Tonang, yang menambahkan, "Kalau ini masih penelitian dari awal, masih perlu pembuktian beberapa hal, dan personal memang secara logika tidak tepat untuk tujuan pandemi."
Dokter Tonang menilai sebaiknya pemerintah fokus pada vaksin Merah-Putih yang sedari awal jelas dengan penggunaan prosedur yang ilmiah.
"Vaksin Merah-Putih yang kita punya, walau pun itu masih perlu waktu tapi minimal track record-nya dari awal sudah ketahuan," katanya.
Pemerhati masalah kesehatan dari CISDI, Olivia Herlinda ikut menimpali. Menurutnya, penelitian sel dendritik ini tak sepadan dengan kemaslahatan publik.
"Tujuannya ini, kurang memenuhi kaidah public health. Dan, cost effectiveness-nya juga sangat kurang."
"Jadi sebenarnya, melihat ini dari sudut pandang kebijakan publik, ini sangat tidak efisien, karena lagi-lagi terapinya sangat orang per orang. Kemudian, dana yang dikeluarkan sangat besar. Jadi tidak melihat manfaatnya sangat besar untuk masyarakat banyak," kata Olivia.
Sebelumnya, program vaksin Nusantara yang digagas mantan menkes Terawan Agus Putranto mendapat polemik di masyarakat. Pasalnya, mesti BPOM tak mengizinkan uji klinis fase II, sejumlah politikus memamerkan diri menjadi relawan vaksin Nusantara.
BPOM bahkan menyarankan penelitian ini dikembangkan dulu di pra-klinik sebelum masuk uji klinik untuk mendapatkan konsep dasar yang jelas, "Sehingga pada uji klinik pada manusia bukan merupakan percobaan yang belum pasti."