Suara.com - Ketika kuliah di Amerika Serikat, Tawanda Kanhema ditanya di mana ibunya tinggal di negara asalnya, Zimbabwe. Namun ia tidak bisa menemukan rumah keluarganya, dan juga kampung halamannya di peta digital.
Di tengah kebingungan ini, Tawana yang memang belajar fotografi, mencari kampung halamannya di Google Street View dan aplikasi lain, namun tak menemukan banyak tempat di seputar kampung halamannya.
Kenyataan ini yang sangat sulit dia terima.
"Peta adalah sesuatu yang bukan hanya penunjuk jalan dari satu tempat ke tempat lain, namun sebagai bentuk cerita," katanya kepada BBC.
Baca Juga: RI Setuju Hibah ke Mozambik dan Zimbabwe, Retno: Kita Perlu Berbagi Beban
Misinya adalah mencantumkan kampung halamannya di peta. Tawanda menghabiskan US$5000 (Rp73 juta) uangnya sendiri untuk membidik sejumlah tempat indah di Zimbabwe.
Baca juga:
- 'Peta tiga dimensi berusia 4.000 tahun' di atas lempengan batu ditemukan di Prancis
- Kisah jurnalis perang yang berkelana sejauh 12.000 km dengan berjalan kaki
- Satelit-satelit merekam dataran es di Arktika terbelah
Dua miliar orang tak tercantum tempat tinggalnya di peta digital
Peta digital seperti Google Street View membantu kita mencari alamat serta membantu pengiriman barang di seluruh dunia.
Tetapi miliaran orang yang tinggal di kota-kota dan desa di negara-negara berkembang masih belum tercakup dalam operasi komersial ini.
Organisasi amal Humanitarian OpenStreetMap (informasi tentang organisasi ini akan lebih lanjut dijelaskan) memperkirakan ada sekitar "dua miliar orang di dunia yang alamatnya tak tercantum di peta."
Baca Juga: Uang Tunai di Zimbabwe Langka, Warga Transaksi Keuangan Lewat Ponsel
"Bila Anda cari sejumlah tempat di online, Anda tak akan menemukan apa-apa. Tempat kosong ini menunjukkan ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan manusia, dan hal ini bisa dihindari," kata Rebecca Firth dari Humanitarian OpenStreetMap team.
Orang-orang yang tempat tinggalnya tak tercantum di peta akan sulit terjangkau bila terjadi bencana atau insiden, sehingga akan menyulitkan tim penyelamat.
Jadi orang-orang seperti Tawanda dan perusahaan besar seperti Google dan badan amal termasuk OpenStreetMap bekerja sama untuk membantu mencantumkan di peta, tempat-tempat yang masih belum ada.
Membidik tempat-tempat yang sulit
Untuk mencantumkan satu tempat di peta digital, yang diperlukan adalah gambar satelit dan juga foto di lapangan.
Inilah yang dilakukan Tawanda. Ia mengambil banyak foto tempat-tempat indah di seputar kampung halamannya.
"Yang paling sulit adalah mengambil foto Air Terjun Victoria di Sungai Zambesi," kata Tawanda.
Ia berjalan jauh dengan memasang kamera di ranselnya dan mengendara dengan mobil serta menggunakan drone.
"Kapal bot tak stabil, menerbangkan drone juga sulit, saat bergerak. Jadi alat mudah hilang."
Sebagian besar proyek Tawanda dilakukan antara 2018 dan 2019. Ia bekerja sama dengan Google yang meminjamkannya kamera 360 untuk perjalanan dua minggu memetakan daerahnya.
Ia membidik setidaknya 480.000 foto dan sekarang tersedia di Google Street View dan Google Earth.
Namun proses menjadikan foto menjadi peta digital bukan pekerjaan mudah.
Bagaimana menyusun peta?
OpenStreetMap didirikan pada 2006 mengikuti model Wikipedia, sehingga siapapun bisa membuat, memperbarui dan mengedit peta.
Langkah pertama untuk membuat peta ini adalah dengan menyusun gambar-gambar satelit dan diubah menjadi peta.
Faktor kuncinya adalah penduduk setempat ikut membantu mengidentifikasi gedung-gedung dan tempat-tempat penting yang tak bisa diperkirakan dari gambar satelit.
Inilah yang dilakukan Tawanda di Zimbabwe saat ia bekerja sama dengan Google, walaupun proses raksasa internet itu berbeda dengan OpenStreetMap.
OpenStreetMap mengatakan tujuan mereka bukan komersial dan informasi dari penduduk setempat merupakan elemen penting. Informasi penting ini termasuk submer air, saluran pembuangan dan informasi tentang dokter-dokter di sekitar.
"Salah satu kekuatan OpenStreetMap adalah kita dapat menandai satu tempat dengan sejumlah nama, seperti nama lokal, nama resmi, nama terkait budaya dan sejarah, dengan berbagai ejaan dan dalam berbagai bahasa. Memadukan informasi lokal lebih akurat," kata Rebecca Firth dari badan amal OpenStreetMap.
Target besar
Target keseluruhan adalah memperoleh peta jalan secara rinci mencakup sekitar satu miliar orang yang tinggal di daerah yang rentan bencana di 94 negara.
Untuk menciptakan peta ini, para sukarelawan dilatih menggunakan aplikasi di telpon pintar dan terkadang drone serta kamera canggih untuk membentuk peta yang lengkap.
Penggunaan praktis
Sejak 2010, proyek ini mulai menghasilkan. Dalam sektiar 10 tahun, lebih dari 200.000 sukarelawan dari berbagai latar belakang seperti pengugnsi, pekerja kesehatan dan mahasiswa dapat memetakan daerah yang mencakup tempat tinggal 150 juta orang.
Melibatkan masyarakat membuat dan mengoeprasikan peta juga membantu memperbarui peta. Ini penting untuk menunjukkan perubahan tempat permukiman.
Peta-peta semacam ini terbukti diperlukan dalam upaya menangani bencana.
Peta ini juga penting untuk fasilitas kesehatan seperti memberikan informasi penting terkait vaksinasi polio di Nigeria, misalnya.
Pada akhir tahun lalu, sekitar 200 mahasiswa dari tiga universitas di Tanzania dilatih untuk membuat peta dengan tujuan memetakan daerah rawan banjir di Dar es Salaam.
Mereka bekerja selama dua bulan dengan penduduk setempat dan mengumpulkan data terkait kerusakan akibat banjir.
Dengan menggunakan alat murah, mereka untuk pertama kalinya dapat memetakan lokasi rentan banjir.
Di Peru, OpenStreetMaps digunakan utnuk menyalurkan silinder oksigen kepada yang memerlukan dan tinggal di lokasi terpencil selama pandemi virus corona.
Firth mengatakan data yang diunggah para penduduk selalu dicek dan diverifikasi. Ia mengatakan peta-peta semakin berguna bagi para petugas kemanusiaan.
Peta-peta ini juga digunakan untuk perbandingan dulu dan sekarang. Di sejumlah tempat, peta-peta ini bahkan digunakan untuk merencanakan jalur penerbangan helikopter darurat.
Namun demikan, membuat peta daerah konflik masih tetap sulit.
Yang dijadikan pertimbangan adalah, apakah membuat peta secara rinci akan membantu atau justru membahayakan warga yang tinggal di daerah konflik itu.
Keinginan Tawanda memetakan perubahan iklim
Namun bagi orang seperti Tawanda, menjadi bagian dari proses pemetaan merupakan hal istimewa. Ia mengakui bahwa keberhasilan pemetaan ini tergantung pada partisipasi komunitas.
Ia mengatakan perjalanannya membuat peta membantunya memahami bagaimana berbagai komunitas yang tinggal berjauhan, memiliki banyak hal yang sama.
Ia mengatakan ingin menggunakan peta untuk menunjukkan perubahan iklim.
"Saya belajar banyak tentang bagaimana orang di tempat berbeda di dunia berupaya beradaptasi karena perubahan lingkungan. Saya harap saya dapat berbagi cerita dan foto tentang itu."
Foto-foto Tawanda disaksikan oleh 30 juta orang di seluruh dunia. Ia mengatakan karyanya membuatnya puas karena bisa terhubung dengan orang-orang di berbagai tempat.
"Tempat-tempat itu tak punya Street View sebelum saya mulai proyek ini. Jadi saya rasa foto-foto itu membantu orang untuk mengeksplorasi dunia, khususnya pada saat seperti sekarang dengan keterbatasan," tutupnya.